Clara dan Bilqis pun kembali ke kelas karena bel sudah berbunyi. Mereka mengikuti pelajaran seperti biasa, meskipun pikiran Clara sesekali melayang jauh, teringat pada sesuatu yang tak ia pahami dengan jelas. Hari itu terasa lebih berat dari biasanya, tapi ia tidak bisa menjelaskan kenapa.Waktu terus berjalan hingga akhirnya bel pulang sekolah berbunyi. Suara riuh siswa-siswi yang bergegas meninggalkan kelas menggema di seluruh penjuru sekolah. Clara dan Bilqis berjalan beriringan di koridor, seperti rutinitas sehari-hari mereka. Mereka melewati siswa lain yang bercanda, berbicara dengan keras, atau hanya sekadar berlalu dengan senyum tipis. Namun, hati Clara selalu terasa berat setiap kali harus berpamitan dengan Bilqis.
"Hati-hati di jalan ya, Clar," ucap Bilqis dengan senyuman lembut seperti biasanya.
Clara membalas dengan senyum yang sama, walaupun ada perasaan kosong di dalam dirinya. "Kamu juga, Qis."
Setelah mereka berpisah di gerbang sekolah, Clara memutuskan untuk berjalan kaki pulang. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, meskipun ia tidak tahu apa. Langit sore itu mulai mendung, angin berhembus lembut, seolah menambah suasana melankolis di dalam diri Clara.
Setibanya di rumah, Clara segera disambut dengan pemandangan yang tidak ia duga. Di ruang tamu, bundanya, Mia, sedang menangis tersedu-sedu. Suara tangisnya mengisi seisi ruangan, dan Clara langsung merasa cemas.
"Bunda?" Clara memanggil pelan, namun bundanya tidak menjawab. Clara mendekat, jantungnya berdegup kencang, pikirannya dipenuhi kekhawatiran. Ayah tidak ada di rumah, itu yang langsung terpikir oleh Clara. Ayah sedang berada di luar kota untuk urusan pekerjaan. Tapi kenapa Bunda menangis? Apa yang terjadi?
"Bunda, kenapa? Ada apa?" Clara bertanya lagi, kali ini lebih mendesak.
Mia akhirnya menengok ke arah Clara, wajahnya basah oleh air mata, matanya sembab. "Clara... Bunda... Bunda gagal menjadi ibu yang baik... Bunda gagal membahagiakan kamu..."
Clara terpaku. "Kenapa Bunda bicara begitu?" tanyanya, suaranya bergetar.
Mia menggenggam tisu dengan tangan gemetar. "Bunda dan ayahmu... kami selalu bertengkar... Bunda nggak bisa mempertahankan kebahagiaan di rumah ini... Setiap hari rasanya makin berat, Clara... Bunda merasa gagal sebagai seorang istri, dan lebih-lebih lagi sebagai ibu untukmu."
Air mata Clara langsung jatuh mendengar pengakuan itu. Selama ini, Clara tahu ada ketegangan di antara kedua orang tuanya, tapi ia tidak pernah menyangka itu membuat bundanya merasa seburuk ini.
"Bunda... Jangan bilang begitu...," Clara mendekat, duduk di samping bundanya, lalu meraih tangannya. "Bunda nggak pernah gagal buat aku. Aku tahu kadang-kadang Bunda dan Ayah ribut, tapi itu nggak berarti Bunda gagal. Aku tetap sayang sama Bunda, selalu."
"Tapi, Clara... Setiap kali Bunda dan ayahmu bertengkar, Bunda tahu kamu yang paling terluka. Bunda bisa lihat di matamu, kamu menyembunyikan semuanya, berpura-pura kuat di depan kami... Tapi bunda tahu kamu sedih, Clara. Bunda tahu kamu selalu diam saat kami bertengkar, dan itu bikin hati bunda hancur."
Clara hanya bisa menangis. Benar, selama ini ia memang sering merasa terjebak di tengah pertengkaran orang tuanya. Suasana rumah yang panas membuatnya sering merasa sendirian dan tidak tahu harus berbuat apa. Namun, ia tidak pernah membayangkan bahwa ibunya merasa sangat bersalah karenanya.
"Bunda..." Clara memeluk bundanya erat. "Aku tahu, aku tahu Bunda dan Ayah punya masalah. Tapi, aku nggak pernah merasa Bunda gagal. Aku cuma pengen kita semua bisa bahagia, itu saja."
Mia memeluk Clara balik, tangisannya semakin kencang. "Bunda minta maaf, Clara... Bunda nggak ingin kamu tumbuh di lingkungan yang seperti ini... Bunda cuma ingin kamu bahagia... tapi Bunda nggak tahu lagi harus bagaimana."
Clara menggeleng dalam pelukan bundanya. "Aku sudah bahagia, Bunda. Aku cuma butuh Bunda dan Ayah ada di sampingku. Aku nggak peduli sama pertengkaran-pertengkaran itu. Aku cuma pengen kita tetap bersama."
Tangisan mereka bercampur menjadi satu di ruang tamu yang sunyi. Sore itu, Clara merasakan perasaan yang campur aduk. Meski sedih melihat bundanya terluka, ada kelegaan yang muncul karena akhirnya mereka bisa saling membuka hati. Meski masalah di rumah belum selesai, Clara tahu mereka akan terus berusaha bersama.