BAB 12

23 18 3
                                        


Clara dan Bilqis segera bergegas menuju kelas begitu bel berbunyi. Hari itu berjalan seperti biasa, mereka mengikuti pelajaran dengan tekun. Namun, pikiran Clara sering kali melayang, memikirkan hal-hal di luar kelas, seolah ada sesuatu yang mengganggu perasaannya. Waktu berjalan cepat, dan sebelum mereka menyadarinya, bel tanda berakhirnya jam pelajaran berbunyi. Clara menghela napas lega, seolah-olah bebannya sedikit terangkat. Bersama Bilqis, mereka segera beranjak keluar dari kelas menuju koridor.

Saat melewati koridor sekolah yang mulai lengang, tak disangka, mereka bertemu Liana, teman baru yang belum lama ini dikenalkan Clara kepada Bilqis. Liana tampak sedikit kikuk, mungkin karena masih belum terbiasa dengan lingkungan barunya. Dengan senyum ceria, Clara mengajak Liana bergabung untuk berjalan bersama mereka menuju parkiran. Liana tampak senang menerima ajakan itu.

Mereka bertiga berjalan santai sambil bercanda. Sesekali tawa lepas keluar dari mulut mereka, menyebar ke seluruh koridor yang mulai sepi. Meski lelah setelah seharian belajar, suasana ringan di antara mereka membuat langkah terasa ringan. Bagi Clara, momen-momen seperti ini adalah pelarian dari segala beban yang selalu menghantui di rumah. Di sekolah, dia bisa menjadi dirinya sendiri, tertawa dan bahagia bersama teman-temannya.

"Terima kasih Tuhan," bisik Clara dalam hati, "Kau telah mengirimkan teman-teman terbaik, yang selalu bisa membuatku tersenyum dan tertawa. Meskipun di rumah aku sering merasa sedih, tapi di sekolah, aku merasa bahagia. Rasanya aku tidak ingin pulang." Pikirannya melayang sejenak, namun dia cepat kembali sadar dan tersenyum kepada teman-temannya yang masih bercanda di sampingnya.

Tanpa terasa, mereka bertiga sudah sampai di depan gerbang sekolah. Bilqis dan Liana berpamitan kepada Clara, masing-masing menuju arah yang berbeda. Clara mengangguk dan tersenyum lembut sebelum melambaikan tangan ke arah mereka. Setelah kedua temannya pergi, Clara memutuskan untuk berjalan kaki pulang, meskipun rumahnya agak jauh. Udara sore itu terasa sejuk, langit mendung dengan rintik hujan yang mulai turun perlahan, memberikan suasana tenang yang dibutuhkan Clara.

Dengan langkah ringan, Clara melangkah menyusuri trotoar. Hujan kecil mulai membasahi seragamnya, namun dia tak peduli. Baginya, hujan adalah teman yang menenangkan, seolah membasuh semua luka dan kesedihan yang ada di hatinya. Sesekali, dia melirik ke arah bunga-bunga di sepanjang jalan, menikmati keindahan kecil yang sering terlewatkan oleh orang-orang sibuk. Clara benar-benar menikmati ketenangan ini, jauh berbeda dengan suasana di rumah yang penuh dengan tekanan dan luka.

Saat pikirannya terbuai oleh suasana damai, langkah Clara tiba-tiba terhenti. Di depan matanya, ia melihat seorang laki-laki tergeletak di pinggir jalan, tak berdaya dan penuh luka. Jantung Clara berdegup kencang. Tanpa pikir panjang, ia bergegas mendekati laki-laki tersebut.

"Hei, kamu baik-baik saja? Kok bisa sampai luka-luka seperti ini?" tanya Clara panik, sambil mencoba menolong lelaki itu duduk.

Namun, laki-laki itu tidak langsung menjawab. Matanya hanya memandang Clara dengan tajam, seolah mencari sesuatu di balik wajah cantik Clara. Merasa sedikit canggung, Clara berusaha mengalihkan perhatian.

"Ayo, sini, aku bantu kamu pindah ke pinggir jalan," ujarnya sambil menarik lelaki itu agar tidak berada terlalu dekat dengan jalan raya. Setelah berhasil memindahkannya ke tempat yang lebih aman, Clara kembali bertanya, "Nama kamu siapa?"

Setelah beberapa detik hening, laki-laki itu akhirnya menjawab dengan suara serak, "Bintang."

"Oh, salam kenal, aku Clara," jawab Clara sambil tersenyum tipis, meskipun dalam hatinya ia masih khawatir melihat kondisi Bintang.

"Kamu kok bisa sampai luka-luka begini? Ada apa?" tanya Clara lagi, kali ini dengan nada lebih lembut.

Bintang menunduk sejenak, seolah enggan menjawab. Namun akhirnya ia berkata dengan nada dingin, "Gue tadi habis dipukulin."

Jawaban singkat itu membuat Clara terkejut. "Dipukulin? Sama siapa?" tanya Clara spontan, namun Bintang hanya mengangkat bahu, seakan tidak ingin membahasnya lebih lanjut. Clara bisa merasakan bahwa Bintang bukanlah tipe orang yang mudah terbuka tentang masalah pribadinya.

Sebelum Clara bisa mengajukan lebih banyak pertanyaan, Bintang memotong, "Lo bawel banget ya. Mendingan lo obatin luka gue atau gak, telepon temen gue buat jemput." Nada suaranya terdengar tajam, namun Clara mencoba untuk tetap tenang.

"Oke, mana HP kamu?" tanya Clara, menawarkan bantuan tanpa merasa tersinggung.

Bintang mengeluarkan ponselnya dan menyerahkannya kepada Clara tanpa banyak bicara. Clara menerima ponsel itu dan mulai membuka daftar kontaknya. Aneh, pikir Clara, biasanya orang akan sedikit ragu saat menyerahkan ponsel mereka kepada orang yang baru dikenal, tapi Bintang tampak sangat percaya diri dan sama sekali tidak merasa keberatan. Mungkin dia terlalu lelah untuk peduli, atau mungkin dia hanya orang yang cuek.

Saat Clara memeriksa daftar kontak, ia melihat nama yang membuatnya sedikit tertawa dalam hati: "RafaelNjing." Clara tersenyum kecil dan langsung memencet nomor itu. Setelah beberapa dering, suara di ujung telepon menjawab dengan nada malas, "Halo, siapa nih?"

"Halo, ini Clara. Aku lagi sama Bintang, dia bilang habis dipukulin dan perlu dijemput. Kamu temennya, kan?" jawab Clara cepat.

"Oh, iya, gue Rafael. Bentar lagi gue nyusul. Bilang sama Bintang, tunggu aja di situ," jawab suara di seberang telepon sebelum menutup panggilan tanpa menunggu jawaban Clara.

Clara mengembalikan ponsel itu ke Bintang dan berkata, "Rafael bilang dia bakal nyusul. Kamu tunggu di sini aja, ya." Bintang hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ada sesuatu yang misterius tentang Bintang, sesuatu yang membuat Clara penasaran. Namun, dia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. Mungkin lain kali dia akan menemukan jawabannya.

Sambil menunggu, Clara duduk di samping Bintang, membiarkan rintik hujan yang semakin deras membasahi mereka berdua. Clara menatap langit mendung, merasakan ketenangan yang langka, meskipun keadaan di sekitarnya jauh dari tenang. Sesekali, dia melirik ke arah Bintang, yang tetap diam dan tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Cahaya yang hilang (?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang