“Ia sama seperti ibunya—jahat, dan tukang ngerusak kebahagiaan orang lain!” Clara berteriak dengan suara yang bergetar, matanya berkilat penuh amarah. Air mata sudah menumpuk di sudut matanya, siap jatuh kapan saja. “Aku nggak nyangka kamu bisa sejahat itu ngomong sama aku! Aku pikir kamu itu sahabat baru aku yang baik... ternyata kamu sama aja kayak manusia berhati iblis. Aku nyesel pernah kenal kamu, nyesel pernah jadiin kamu sahabat!”Tangisnya semakin deras, tapi Clara berusaha menahannya. Ia tahu, menangis di depan Liana hanya akan memperlihatkan kelemahannya. Namun, rasa sakit yang ia rasakan begitu nyata, menekan dadanya hingga sulit bernapas. Persahabatan yang baru dimulai ini runtuh dengan begitu cepat, terhantam oleh kenyataan pahit yang tak bisa dihindari.
Liana yang berdiri di hadapan Clara hanya terdiam sejenak, wajahnya terlihat datar, namun jauh di dalam hatinya, ia merasakan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan—perasaan bersalah yang samar. Tapi egonya yang tinggi lebih dominan, menutupi segala rasa iba yang mungkin muncul. “Gua kan nggak nyuruh lo kenal gua, apalagi jadiin gua sahabat. Kenapa lo nyalahin gua, seolah-olah lo yang paling tersakiti di sini?” Liana berkata dengan nada dingin, meskipun di dalam hatinya ada sedikit keraguan atas kata-kata yang baru saja keluar dari mulutnya.
Clara terdiam, mendengar jawaban itu. Dadanya semakin sesak, seolah-olah ada sesuatu yang menghimpit hatinya. Bagaimana mungkin seseorang yang ia anggap sahabat bisa berkata seperti itu? Hatinya hancur berkeping-keping. Clara tidak habis pikir, bagaimana mungkin Liana bisa sekejam itu.
Tanpa berkata sepatah kata lagi, Clara berlari menuju kamarnya. Tangis yang sejak tadi ia tahan akhirnya pecah begitu saja. Ia tidak peduli lagi apakah Liana akan melihatnya lemah. Langkah kakinya terdengar bergema di sepanjang lorong rumahnya, cepat dan terputus-putus, seiring dengan isak tangis yang mulai terdengar semakin keras.
Mia, ibunya, yang melihat kejadian itu dari kejauhan, segera mengikuti putrinya. Dengan hati penuh kekhawatiran, ia berjalan cepat menyusul Clara, namun tidak mengatakan apapun. Dia tahu, Clara sedang membutuhkan ruang untuk meluapkan perasaannya.
Begitu sampai di kamar, Clara melempar tubuhnya ke tempat tidur, wajahnya tenggelam dalam bantal. Tangisannya semakin kencang, seolah-olah semua beban dunia sedang menghimpitnya. Hatinya terasa begitu sakit, lebih sakit dari sebelumnya. Di balik semua masalah keluarganya, kini persahabatannya pun hancur.
Tak lama kemudian, Mia masuk ke kamar, duduk di tepi tempat tidur, dan memandang putrinya yang tengah tengkurap sambil menangis tersedu-sedu. Mia menarik napas panjang, hatinya pedih melihat anaknya dalam kondisi seperti ini. Tanpa berkata apapun, Mia merengkuh Clara dalam pelukannya, memeluk erat-erat seakan ingin memberikan ketenangan yang Clara butuhkan.
Clara merasakan pelukan ibunya, namun tangisnya tak kunjung reda. Di antara isakannya, ia berbisik, “Bu, kenapa kita nggak pernah bisa bahagia?”
Pertanyaan itu menghantam hati Mia seperti batu besar. Sebagai seorang ibu, ia selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk Clara, meskipun hidup mereka tidak mudah. Mia tahu, perpisahan dengan suaminya dan segala drama yang terjadi antara mereka sangat berdampak pada Clara. Namun, pertanyaan Clara kali ini begitu menyakitkan, karena Mia tahu ia tidak punya jawaban yang bisa meredakan rasa sakit di hati putrinya.
Mia hanya bisa tersenyum pahit, menahan air mata yang hampir jatuh. Ia ingin menguatkan Clara, namun ia sendiri juga merasa rapuh. “Nak, terkadang hidup memang nggak adil,” Mia berusaha berkata dengan suara tenang meskipun hatinya bergemuruh. “Tapi kita harus tetap kuat. Kebahagiaan nggak selalu datang cepat, tapi ibu percaya suatu hari nanti, kita akan menemukannya.”
Clara menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis yang semakin menjadi-jadi. “Tapi, Bu... kenapa semuanya terasa begitu berat?” Tangis Clara semakin keras. “Kenapa Ayah harus ninggalin kita? Kenapa aku harus kehilangan sahabat? Kenapa aku harus terus-terusan merasakan sakit kayak gini?”
Mia menatap Clara penuh kasih. Ia ingin sekali memberikan jawaban yang bisa meredakan kesedihan putrinya, tapi ia tahu bahwa hidup tidak selalu memberikan jawaban yang mudah. “Nak,” Mia berbisik lembut, “kadang kita nggak bisa mengendalikan apa yang terjadi di sekitar kita. Tapi yang bisa kita lakukan adalah bertahan dan terus berjalan. Ibu tahu, ini nggak mudah buat kamu... tapi kamu nggak sendirian. Ibu selalu ada buat kamu.”
Mendengar kata-kata ibunya, Clara memeluk Mia lebih erat. Ia tahu ibunya selalu ada untuknya, tapi rasa sakit ini terlalu dalam untuk segera sembuh. Hatinya masih terluka, kecewa, dan merasa hampa. Namun, pelukan Mia memberikan sedikit ketenangan di tengah badai emosinya.
Malam itu, Clara dan Mia tetap saling memeluk, mencari kekuatan dalam satu sama lain. Kamar yang awalnya terasa penuh dengan kesedihan kini perlahan-lahan menjadi tempat di mana mereka berdua saling berbagi rasa, tanpa perlu kata-kata panjang. Hanya kehadiran seorang ibu yang tulus yang bisa membantu Clara menghadapi hari-harinya yang penuh dengan luka.
Setelah beberapa lama, Clara mulai tenang. Tangisannya mereda, meskipun hatinya masih terasa sakit. Ia tahu, perjalanan hidupnya tidak akan mudah, tapi setidaknya ia masih memiliki ibunya—sosok yang selalu setia di sampingnya. Ia menatap Mia dan tersenyum lemah. “Terima kasih, Bu. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi kalau ibu nggak ada di sini.”
Mia tersenyum sambil menghapus air mata di pipi Clara. “Ibu selalu ada di sini, Nak. Apapun yang terjadi, kita akan hadapi bersama-sama.”
Clara mengangguk pelan. Meskipun luka di hatinya masih terasa perih, ia mulai merasa sedikit lebih kuat. Ia tahu hidupnya tidak akan selamanya mudah, tapi setidaknya, ia masih memiliki seseorang yang selalu siap mendukungnya. Dan untuk saat ini, itu sudah lebih dari cukup.