"Mengapa aku selalu terlihat salah di mata semua orang?"
-Clara
Sesampainya di gerbang sekolah, Clara menghapus sisa air mata yang masih membekas di pipinya. Hatinya masih terasa sesak, tapi dia mencoba tersenyum, seolah meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dia melangkah dengan cepat memasuki halaman sekolah, mencari sosok yang selalu bisa membuatnya merasa lebih baik.Tak lama setelah memasuki halaman, Clara melihat Bilqis sudah berdiri menunggunya di bawah pohon besar. Dengan senyuman yang terlihat begitu tulus, Bilqis melambai ke arahnya.
Clara membalas senyuman itu, berusaha mengusir sisa kesedihannya. "Bilang apa ya tadi? Kalau aku kuat," gumamnya dalam hati, sambil mempercepat langkahnya.
"Eh, lo nggak apa-apa, kan?" Bilqis bertanya sambil memperhatikan Clara dengan cermat.
Clara menggeleng pelan. "Aku baik-baik saja," jawabnya, mencoba terdengar yakin.
Mereka berjalan beriringan menuju kelas, berbicara tentang hal-hal sepele seperti biasa. Namun, di dalam hati Clara, ada sesuatu yang masih mengganjal. Dia berusaha menepisnya, tapi perasaan itu terus menghantui pikirannya.
Sesampainya di kelas, mereka duduk di bangku masing-masing. Suasana kelas sudah mulai ramai oleh suara-suara siswa yang bercanda dan bersiap memulai hari. Namun, Clara merasa ada yang tidak beres. Perutnya terasa mual, pikirannya tidak tenang.
"Aku ke WC dulu, ya," kata Clara tiba-tiba sambil berdiri.
"Mau gua anterin?" tanya Bilqis sambil menoleh padanya.
Clara tersenyum kecil dan menggeleng. "Enggak usah, aku bisa sendiri."
Bilqis hanya mengangguk dan kembali melihat ke arah papan tulis, sementara Clara melangkah cepat keluar kelas, mencoba mencari sedikit ruang untuk menenangkan pikirannya.
Namun, ketenangan yang diharapkan Clara di WC justru berubah menjadi mimpi buruk. Begitu dia memasuki ruangan itu, dia bertemu dengan Fina, salah satu teman Bilqis. Fina berdiri dengan kedua tangan menyilang di dada, menatap Clara dengan pandangan yang penuh kebencian.
"Lo lagi, lo lagi," kata Fina dengan nada sarkastik.
Clara terkejut mendengar nada dingin dari Fina. "Maksud kamu apa?" tanya Clara pelan, mencoba mengerti situasinya.
"Maksud gue? Lo tuh ngapain selalu deketin Bilqis, hah?" Fina mendekat dengan langkah cepat. "Sejak lo dateng, Bilqis jadi jauh dari gue. Lo ngerusak semuanya!"
Clara hanya bisa terdiam mendengar tuduhan itu. Dia tidak tahu harus berkata apa. Sejak awal, Clara hanya ingin berteman dengan Bilqis, tidak lebih. Namun, sepertinya Fina merasa Clara adalah ancaman bagi persahabatannya dengan Bilqis.
"Lo tuh biang masalah! Lo yang bikin semuanya berantakan! Bilqis sekarang lebih milih lo daripada gue," seru Fina dengan amarah yang memuncak.
Clara mundur selangkah, merasa terpojok. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, tapi dia berusaha keras untuk tidak menangis. "Aku... aku nggak pernah bermaksud buat ngerebut siapa-siapa," kata Clara pelan, suaranya gemetar.
Namun, sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya, tamparan keras mendarat di pipi Clara. Plak! Suara tamparan itu memenuhi ruangan, dan tubuh Clara terhuyung mundur. Tangannya refleks memegang pipinya yang memerah karena tamparan itu.
Air mata yang sedari tadi ditahannya akhirnya jatuh juga. Fina, dengan ekspresi penuh kepuasan, hanya memandangi Clara yang terisak di pojok ruangan. "Lo nggak pantas deket-deket sama Bilqis," kata Fina dingin sebelum akhirnya meninggalkan Clara sendirian.
Clara terduduk di lantai, memeluk lututnya sambil menangis. Pipinya terasa panas, bukan hanya karena tamparan itu, tapi juga karena rasa sakit di hatinya. Kenapa semuanya jadi seperti ini? Dia hanya ingin berteman, tapi sekarang malah dihina dan disalahkan.
Sementara itu, di kelas, Bilqis mulai gelisah. Bell tanda masuk kelas sudah berbunyi, tapi Clara belum juga kembali. Perasaannya tidak enak, dan semakin lama, kecemasannya semakin besar.
Akhirnya, Bilqis memutuskan untuk mencari Clara. Dengan langkah cepat, dia meninggalkan kelas dan langsung menuju WC, tempat terakhir Clara terlihat. Begitu sampai di sana, Bilqis membuka pintu WC dengan sedikit terburu-buru.
"Clara?" panggil Bilqis.
Matanya langsung tertuju pada sosok Clara yang terduduk di pojok ruangan, menangis sambil memeluk lututnya. Pipinya tampak memerah, jelas bekas tamparan. Bilqis terkejut dan segera menghampiri Clara, berlutut di depannya.
"Clara, lo kenapa?" tanya Bilqis cemas, tangannya menggenggam lengan Clara dengan lembut.
Clara tidak menjawab, dia hanya menundukkan kepalanya, masih menangis terisak. Bilqis, tanpa bertanya lebih lanjut, langsung merengkuh Clara dalam pelukannya. Ia tahu bahwa ini bukan saatnya untuk menginterogasi, tapi untuk menenangkan sahabatnya.
"Gua di sini, Clara. Lo nggak sendiri. Udah, tenangin diri lo dulu," bisik Bilqis lembut sambil mengusap punggung Clara.
Clara perlahan mulai tenang dalam pelukan Bilqis. Setelah beberapa menit dalam diam, akhirnya Clara mulai berbicara dengan suara yang masih gemetar. "Fina... dia bilang aku ngerebut kamu darinya. Terus... terus dia tampar aku."
Mendengar itu, Bilqis menghela napas panjang. Dia tidak menyangka Fina akan bertindak sejauh itu. Bilqis tahu bahwa Fina mungkin merasa cemburu, tapi tak pernah terlintas di pikirannya bahwa temannya itu akan melakukan hal sekejam ini.
"Lo nggak salah, Clara. Gua nggak bakal ninggalin lo cuma gara-gara masalah kayak gini. Kalo Fina ngerasa kayak gitu, itu urusan dia. Lo nggak ngerebut siapa pun dari siapa pun," kata Bilqis tegas.
Clara menatap Bilqis dengan mata yang masih sembab, tapi ada kelegaan di sana. "Tapi aku nggak mau kalau gara-gara aku, kamu jadi bermusuhan sama teman kamu," kata Clara pelan.
Bilqis tersenyum tipis. "Clara, gua milih lo karena lo temen gua. Fina harus ngerti itu. Kalo dia nggak bisa nerima lo, berarti itu masalah dia, bukan masalah lo."
Mendengar kata-kata Bilqis, Clara merasa sedikit lebih baik. Meski hatinya masih terasa perih, tapi setidaknya dia tahu bahwa ada seseorang yang selalu ada untuknya, yang tidak akan membiarkannya sendirian.