Never Ending
by Poetry Lune
Laki-laki satu ini tampak gusar, berulang kali mengecek ponselnya. Dari kemarin malam, tak ada balasan dari gadis itu. Ia berpikir, apa memang sekecewa itu ia padanya? Menghela napas frustasi, menyandarkan dirinya pada punggung kursi seraya melihat langit-langit ruangan. Mendadak sesuatu terlintas di benaknya. Dengan segera ia kembali membuka ponsel.
Marshel
aku ke rumah ya|
Buru-buru ia keluar dari kelas. Meninggalkan tanya bagi sang teman, Bara. Hanya menatap Marshel dengan dahi mengkerut. Untungnya, kelas sudah selesai sepuluh menit yang lalu.
Sementara itu, seorang gadis berambut sebahu sedang berbaring di atas kasur. Mengambil malas ponselnya untuk membuka pesan masuk dari seseorang. Matanya melebar sempurna saat membaca deretan pesan itu. "LOH!" Telinganya yang mendengar deruman motor familiar semakin membuatnya kalang kabut. "LOH! BENERAN DATENG!"
Marshel yang sudah sampai, mengetuk pintu rumah Arora. Saat pintu itu terbuka, terpampang jelas wajah Gino.
"Siapa?"
"Gue mau ketemu Arora."
Mendengar nama sang adik disebut, garis wajahnya berubah dingin. "Lo siapa?"
"Calon pacar," sahut Marshel tak kalah dingin.
Arora yang tadinya berlari justru memelankan langkahnya melihat dua laki-laki itu sedang berhadapan. Ia meringis merasakan atmosfer dingin berselimut di sekitar. "Mampus gue." Menggigit jarinya gelisah. Bagaimana tidak, mereka berdua seperti singa dan harimau yang sedang memperebutkan mangsa.
Masalahnya selama ini, saat Marshel mengantarnya pulang, tidak benar-benar sampai di depan rumah. Mau bagaimana lagi? Ia tidak siap kalau harus disidang dengan kedua kakak laki-lakinya itu. Bisa-bisa ia tidak akan pernah bertemu Marshel lagi. Arora tak heran kalau Marshel akan senekat ini, ketika mengantarnya saja ia juga bersikeras, namun dengan susah payah Arora baru bisa menahannya.
Arora menarik napasnya dalam-dalam sebelum mendekati mereka. "Bang Gino--"
"Masuk!"
Gadis itu mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Gino kembali menatap Marshel.
"Mau ngapain lo ketemu adek gue?"
Marshel melipat kedua tangannya di depan dada. Menunjuk Arora menggunakan dagu. "Ngajak jalan."
"Ke mana? Penting?"
Laki-laki bermata cokelat mengangguk. "Ya, penting. Terserah dia mau ke mana."
Arora merasa situasi jadi semakin tegang. "Bang gue--"
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Ending
Teen Fiction"Kiss me." Arora menggeleng. "No." "Why?" "Karna..." Arora menggantung ucapannya, membuat Marshel mati penasaran. "Pipi kamu bekas bibir cewek lain." Arora Elania, remaja SMA tingkat akhir itu tidak pernah menyangka takdir akan mempertemukannya kemb...