Never Ending
by Poetry Lune
Laki-laki tinggi itu melangkah masuk ke dalam rumah, sembari menenteng kresek berisi makanan. Melihat lampu yang masih menyala, menandakan belum ada yang terlelap. Ia mengetuk pintu kamar seseorang saat berada di lantai atas.
"Rin! Udah tidur?"
Seorang gadis menunda belajarnya mendengar pintu terketuk. "Kenapa, Bang?" tanyanya ketika membuka pintu. Menatap Marshel bingung.
"Lagi belajar?"
"Iya."
"Gue beli cemilan, ayo makan bareng!" Berjalan lebih dulu dengan Airin yang mengikutinya dari belakang. Mereka berdua pergi ke dapur.
Duduk saling berhadapan, tanpa ada yang ingin membuka suara. Si bungsu mengeluarkan kotak makanan dari plastik. Dari baunya sudah tercetak jelas bahwa ini adalah martabak manis—rasa cokelat keju.
"Gimana date-nya sama Kak Rora?" Menyuapkan martabak itu ke dalam mulut.
"Yah, lo tau jawabannya."
Benar, terpampang nyata di wajah sang kakak laki-laki. Binar kebahagiaan yang belum pudar. Masih melekat di antara senyumnya, meski samar.
"Tadi habis ke mana sama Lauren?"
Ia berhenti menyuap mendengar pertanyaan tersebut. Bingung sekaligus terkejut—dari mana Marshel tahu. "Ke mall. Kok lo tau, Bang?"
Marshel menghela napas. Seolah jawabannya bukan hal pantas untuk didengar. "Lauren chat Arora, ngirimin foto lo lagi di resto."
Ekspresi si bungsu menunjukkan kalau ia tak tahu menahu tentang apa yang Marshel katakan. "Buat apa Kak Lauren chat Kak Rora?" Marshel menceritakan kejadian beberapa jam lalu secara singkat. Namun, berhasil membuat Airin menganga tak percaya.
"Gue beneran nggak tau, Bang."
Ia tersenyum tipis, mencoba menenangkan kepanikan sang adik. "Nggak apa-apa. Kalo lo kesepian, bilang sama gue. Ajak gue jalan, lo mau ke mana kita pergi, lo mau makan apa gue beliin. Apapun itu bilang ke gue." Garis wajah si bungsu berubah. "Lo tau keadaan gue gimana saat ini. Gue berusaha buat jadi Abang yang baik. Lo bisa janji—apapun yang lo pengen, rasain, bilang ke gue?"
Airin mengangguk pelan. Akan tetapi, ia tak tahan untuk tidak tertawa. Membuat Marshel mengkerutkan dahinya heran. "Maaf, Bang. Aneh aja lo tiba-tiba gini. Soalnya dari dulu, lo orangnya gengsian." Apa benar jika seseorang lupa ingatan, maka sifat yang sukar dirubah justru ikut berubah? Sepertinya benar begitu.
Marshel menyentil pelan dahi Airin. "Intinya, jangan kehasut omongan Lauren."
"Iya-iya!" Memanyunkan bibirnya kesal—sebab sentilan Marshel. Ia terdiam, tampak ragu mengatakan sesuatu. "Bang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Ending
Teen Fiction"Kiss me." Arora menggeleng. "No." "Why?" "Karna..." Arora menggantung ucapannya, membuat Marshel mati penasaran. "Pipi kamu bekas bibir cewek lain." Arora Elania, remaja SMA tingkat akhir itu tidak pernah menyangka takdir akan mempertemukannya kemb...