Robinson segera menyeret Tessa ke sebuah ruangan khusus, memisahkannya dari gadis-gadis lain. Cengkeraman tangannya pada lengan sang gadis teramat kuat sampai-sampai Tessa meringis kesakitan. Langkah lelaki itu panjang-panjang, membuat sang gadis harus berlari kecil supaya mampu mengimbanginya. Begitu sampai pada ruangan yang dimaksud, Robinson berbisik,
"Sudah kubilang kau akan menyesal menolakku."
Tessa membuka tudungnya. Ia menatap Robinson dengan curiga. "Apa maksudmu?"
Lelaki itu terkejut. Matanya membelalak lebar sekali. "Ba-bagaimana kau--tidak mungkin." Ia lantas menarik tangan Tessa, memeriksa jarinya yang terluka. "Tidak--pasti ada kesalahan."
Tessa semakin curiga. Ia lantas mendengkus. "Jadi, benar? Kau bisa membuat gadis yang tidak kau sukai terpilih menjadi Gadis Bertudung Merah?"
Robinson menggeleng kuat-kuat. "Aku tidak mengerti maksudmu."
Tessa mengibaskan tangan. "Sudahlah. Jadi, dengan apa kau membuat darah target mengental dan tidak langsung menguap ketika diteteskan pada bara api? Apakah dengan ramuan yang diberikan Althea? Atau ramuan khusus yang dioleskan pada bara? Atau dua-duanya? Apakah ayahmu tahu?" Ia mendengkus lalu melanjutkan, "Aku yakin dia tahu. Selain mereka, siapa lagi? Ibumu? Adikmu? Oh, tentu saja. Selama ini, tak ada gadis dari keluargamu yang terpilih, bukan? Aku jadi tak sabar ingin melihat reaksi penduduk desa saat tahu tentang konspirasi kalian ini."
Wajah Robinson memerah. Ia merenggut leher Tessa dan mengancamnya, "Kalau kau macam-macam, setelah kepergianmu ke hutan, aku akan membuat keluargamu menderita."
Tessa mendorong laki-laki itu hingga cengkeramannya terlepas. "Kau tidak akan punya kuasa lagi setelah semua orang tahu betapa busuknya kalian."
Robinson mendengkus. "Ya, aku punya, dan sampai kapan pun, keluargaku tetap memiliki kuasa pada desa ini karena kau tidak memiliki bukti. Kau hanya gadis kecil yang bahkan tidak pernah diperhatikan. Kau pikir, omongan siapa yang lebih dipercaya?"
Wajah Tessa menegang. Matanya membara oleh amarah. Meski begitu, ia sadar perkataan Robinson benar.
Laki-laki itu lantas mendorong Tessa masuk ke ruangan dan menguncinya. Dua orang warden ditugaskan untuk menjaga pintunya. Setelah itu, dia pun pergi.
Terkurung, Tessa meluapkan rasa frustrasinya dengan menendang satu-satunya kursi yang tersedia di sana. Ia juga menjungkirbalikkan meja yang berisi hidangan yang dipersembahkan untuknya sebelum melaksakan tugas nanti malam.
Setelah puas membuat ruangan itu berantakan, Tessa mengatur napasnya. Ia tahu tindakannya tidak dapat menyelesaikan masalah. Ia lantas mengetuk pintu dan berbicara pada warden yang menjaganya.
"Bisakah aku bertemu dengan kakakku? Myria namanya," pintanya dari balik pintu.
Para warden yang menjaganya saling berpandangan sebelum menjawab, "Robinson tidak mengizinkan siapa pun menemuimu."
Marah, Tessa menendang pintu. Ia juga mengumpat. Ia merasa tak adil. Sebab, ia merasa dipermainkan. Dan yang lebih parah lagi, para pemimpin desalah yang mempermainkannya. Bukan, bukan hanya dia yang dipermainkan, melainkan seluruh warga desa. Lantas, apa gunanya semua gadis datang ke balai desa untuk mengikuti Festival Bulan kalau sang Gadis Bertudung Merah sudah mereka tentukan?
Curang! Licik! Penipu!
Rasanya, Tessa ingin melawan, tetapi tak bisa. Ia tak memiliki kekuatan apa pun.
Sementara itu, di tepi hutan, seorang pemuda bersembunyi di balik pepohonan. Rambutnya yang keperakan tampak berantakan. Satu matanya memicing sementara mata lainnya diberi penutup. Ia tampak tengah mengawasi Desa Grimvale yang penuh dengan orang-orang berpakaian merah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Redemption of Fallen Alpha
FantasyLuke Frostbane, pemegang tahta alpha selanjutnya, melarikan diri dari kawanan karena dituduh berkhianat. Dia juga diburu. Hanya sebuah artefak kuno yang mampu membersihkan dirinya dari tuduhan tersebut. Namun, sayang, artefak itu telah dicuri ribua...