Bab 6. Para Dewa

8 3 0
                                    

Bulan tertutup awan ketika Tessa memasuki hutan. Udara dingin merayap ke lehernya, membuat rahangnya sekilas menegang. Gemerisik daun-daun yang ditiup angin membuat bulu kuduk gadis itu meremang. Langkahnya teredam dalam tanah yang bersalju. Derak roda gerobak yang diseretnya bagai peringatan kepada makhluk-makhluk hutan bahwa ada seorang asing yang memasuki wilayahnya.

Lolongan anjing terdengar dari desa yang kini sepi. Tak tampak satu orang pun berani keluar di malam persembahan. Mereka menutup pintu, hati, maupun telinga dari sinyal-sinyal yang menunjukkan keputusasaan.

Malam semakin pekat dan Tessa kehilangan arah. Ia tak tahu di mana letak kuil itu berada. Baik saat siang atau pada hari-hari biasa, ia tak pernah ke kuil. Kata ibunya dulu, hutan amat berbahaya. Ada makhluk-makhluk yang menganggap manusia layak dibunuh, layak dimangsa. Jadi, ibunya memnyuruh Tessa untuk tak dekat-dekat dengan hutan.

Semakin dewasa, sebuah pertanyaan mengusik gadis itu. Kalau memang hutan adalah tempat yang sangat berbahaya, kenapa mereka percaya dewa ada di sana?

Suara ranting patah mengejutkan Tessa. Gadis itu berhenti sejenak. Matanya menatap sekeliling dengan waspada. Ia tak melihat apa pun selain pepohonan. Jantungnya berdetak keras saat sekilas, ia melihat bayangan sepasang mata merah yang menyala dalam pekatnya hutan. Namun, ketika ia mengedip, mata tersebut hilang.

Tessa mempercepat langkahnya. Roderic memberitahunya tadi, tepat sebelum para warden mengawalnya keluar desa, bahwa Tessa hanya perlu mengikuti jalan setapak yang menuju hutan dan dia akan sampai ke kuil yang dimaksud. Namun, setelah sekian abad rasanya, ia tak juga sampai, membuatnya meragukan informasi tersebut. Jangan-jangan, mereka sengaja membuatnya tersesat.

Setelah mengetahui bahwa Roderic, Althea, Robinson, dan entah siapa lagi terlibat dalam kecurangan menentukan Gadis Bertudung Merah, Tessa memutuskan untuk membuka kedok mereka saat kembali dari tugasnya mengantar persembahan.

Saat ia kembali, penduduk desa pastilah mempercayainya karena selama ini tak ada gadis yang berhasil kembali ke desa setelah dinobatkan sebagai Gadis Bertudung Merah. Ia akan memiliki keistimewaan hingga para penduduk percaya padanya.

Maka dari itu, Tessa membulatkan tekad untuk segera membawa persembahan tersebut ke kuil dan kembali. Ia takut Robinson belum menyerah membalas penolakan Myria. Ia khawatir lelaki itu menempatkan kakaknya ke dalam kesulitan.

Tessa mengabaikan mata merah yang sempat dilihatnya tadi. Ia menduga bahwa itu pasti hanya imajinasinya. Ia menggenggam erat lengan gerobak dan menariknya. Ia memutuskan tetap menelusuri jalan setapak itu. Sebab, andai ia keluar dari jalur, akan lebih sulit untuk kembali.

Napasnya terengah saat melihat kuil yang dimaksud. Untunglah. Kuil itu berbeda dari kuil dalam bayangannya. Bentuknya seperti rumah. Dindingnya berupa batu, dengan empat pilar yang menahan atapnya yang melengkung. Tak ada daun pintu. Jalan masuknya dibiarkan terbuka. Dari luar, Tessa dapat melihat kegelapan di dalam kuil tersebut. Saat mendekati pintunya, ia melihat sarang laba-laba menggantung rusak di sudut jalan masuk kuil. Tessa yakin ada seseorang yang ke sana sebelumnya.

Hwa dingin merebak saat Tessa masuk. Bau apak tercium, membuatnya merinding. Sekilas, ia ragu masuk ke sana. Namun, tugas membuatnya tak memiliki pilihan. Ia memutar gerobak berisi persembahan dan mendorongnya lebih dulu ke dalam kuil. Derak rodanya terdengar bergema di kuil.

Setelah matanya dapat beradaptasi dalam kegelapan, gadis itu terkejut mendapati beberapa ekor serigala setinggi dinding kuil berjajar mengelilinginya. Namun, setelah diperhatikan lagi, ipara serigala itu hanyalah patung. Di bagian tengah, dekat dinding terdapat altar. Tak ada apa-apa di atasnya. Padahal, Tessa mengira bakal ada tempat sajian, lilin, atau apalah untuk wadah persembahan.

Redemption of Fallen AlphaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang