Bab 25. Pencarian

9 3 0
                                    

Tessa kembali menengok ke belakang dan mendapati Luke mengejarnya. Ia jadi gugup. Tujuannya ikut menjarah kali ini adalah untuk mengetahui kekejaman asli lelaki itu. Sebab, beberapa orang membuatnya ragu kalau Luke orang baik. Lucu. Tentu saja dia bukan orang baik. Dia werewolf, bukan?

Namun, jujur saja Tessa tidak takut terhadap Luke. Awalanya memang takut, sedikit. Tetapi toh ia mengikutinya, bahkan menyusulnya. Padahal, bisa saja ia memilih jalan lain, atau kembali ke desanya, walau resikonya jauh lebih besar ketimbang menyusul Luke. Tetapi toh, Tessa ada di sana, bersama lelaki itu. Dia berharap Luke menepati janjinya. Dan demi harapan itu, ia rela ikut penjarahan kali ini.

Salju masih turun, tetapi tidak lebat. Untungnya Cora memberinya sepatu bot yang bagus, tidak licin dan hangat. Sesuai ukurannya pula. Kaus tangan tebal juga tersedia di sana. Kalau tidak, Tessa sudah mati kedinginan. Ia mengernyit ketika mendapati ara werewolf hanya mengenakan kemeja, atau kardigan, yang kalau untuk manusia biasa pasti sudah menggigil kedinginan di cuaca seperti ini.

Tessa memperlambat langkahnya. Ia perlu berpikir, bagaimana caranya menguji lelaki yang kini tinggal beberapa meter di belakangnya itu. Ia belum pernah berhubungan dengan werewolf sebelumnya. tahu bahwa makhluk itu benar-benar ada saja baru beberapa minggu yang lalu. Ia jadi bingung. Ia juga takut kalau-kalau kata semua orang benar, bahwa Luke kejam. Dan saat Tessa mengujinya, Luke malah membunuhnya. Gadis itu jadi bergidik ngeri. Ia masih ingin kembali ke desanya, memperingatkan Myria dan penduduk kalau tetua mereka penipu.

Tak ada perjanjian antara dewa dan nenek moyang. Mereka dibodohi. Gadis-gadis yang mati itu sengaja dibunuh karena alasan personal oleh anggota keluarga pamong desa. Tak ada tugas mulia. Semua dusta dan Tessa merasa harus menghentikannya. Ia harus mengubah nasib desanya.

"Kenapa kau ikut?" Suara Luke membuat Tessa sedikit terlonjak. Ia tengah melamunkan Myria dan ketiga adiknya ketika Luke menjajari langkahnya.

"Bukankah kita harus segera menebus kebebasanmu?" Alih-alih menjawab, Tessa malah balik bertanya.

"Menebusmu juga," sahut Luke. Tessa mesti mendongak ketika melihat mata lelaki itu. Tubuhnya begitu tinggi.

Tessa meutar bola matanya. "Aku tak perlu ditebus."

"Tapi, bukankah Ralph menghargaimu?"

Tessa mengibaskan tangan acuh. "Aku bisa pergi tanpa membayarnya. Sebab obat yang mereka paksa masuk ke perut kumuntahkan."

"Tapi--"

"Obat itu tak bekerja untukku. Jadi, lebih baik pikirkan hargamu saja lalu kita pergi. Kita harus segera mengambil artefak yang kau sebut itu."

Kening Luke mengerut. Ia menatap Tessa dengan curiga. "Aku ingin bertanya padamu. Hari itu, ketika di penjara dan aku dibawa pergi, apakah kau memohon agar aku tidak meninggalkanmu?"

Wajah Tessa menjadi merah. Ia juga salah tingkah. "Tidak," dustanya. Ia tak mau lelaki itu besar kepala, seolah-olah dialah yang membutuhkan Luke. padahal, tanpa Tessa, Luke tak bisa mengambil artefak yang dia mau. "Justru aku yang mestinya bertanya. kenapa kau bilang kalau aku takdirmu?"

"Yeah, kupikir Ralph akan kasihan dan membawamu juga."

Tessa sedikit kecewa. "Kurasa juga begitu."

Mereka kemudian terdiam. Para pengumpul mulai berpencar. Tessa yang tak tahu mesti ke mana hanya mengikuti Luke. Anggota yang lebih berpengalaman segera menuju balai kota, atau rumah-rumah para tetua untuk mencari artefak. Namun, tak jarang yang langsung ke gudang.

Ketika melewati sebuah gereja, Tessa merasa familiar. Ia seolah berada di desanya. Gereja itu amat sederhana, dibangun menggunakan dinding berupa kayu. Warnanya kusam dan atapnya sedikit miring. Ada pagar setinggi pinggang yang mengelilingi bangunan 10 x 6 meter itu. Batu-batu pualam  ditata sehingga membentuk jalan setapak ke pintu gereja yang terbuka. Di belakang gereja tampak pemakaman. Tidak banyak nisan di sana, tetapi dilihat dari batunya cukup terawat. Bunga-bunga bugenvile menjadi penghias makam.

Di Grimvale ada gereja, satu dan sama kecilnya dengan itu. Tetapi, Tessa bukanlah gadis yang taat. Ia tak pernah pergi ke sana. Myria yang selalu pergi ke sana, berdoa dan meminta berkah, katanya. Namun, ketika sang kakak memaksanya ikut, Tessa selalu menolak.

Saat melihat gereja itu, perasaan Tessa amat ganjil. Perutnya seperti diaduk-aduk dan ada kesan agar Tessa masuk ke sana. Gereja itu begitu menarik minatnya, yang bahkan tidak dilakukan oleh gereja-gereja lain sebelumnya. Dan ketika kakinya melangkah ke jalan setapak gereja, tiba-tiba saja Tessa merasa ringan. Ia juga bahagia, aman, dan hangat. Perasaan yang mestinya mustahil ia rasakan dalam situasi penjarahan.

"Apa yang kau lakukan?" tanya luke mengawasi gadis itu.

Tersenyum, Tessa menjawab, "Masuk."

Luke hendak mengikuti gadis itu tetapi ragu-ragu. Matanya mengamati dengan khawatir benda berbentuk salib di bawah atap segitiga gereja yang terbuat dari perak. "Aku akan menunggumu di sini," kata Luke memutuskan. "Cepatlah! Aku tak mau kita tertinggal."

Tessa tak menghiraukan perintah Luke. Ia masuk ke gereja. Cahaya di salam remang-remang dan anehnya tak ada lentera, obor, maupun penerangan apa pun. Mata Tessa seolah mampu melihat kursi-kursi panjang berjajar, altar, dan salib yang tertempel di tembok depan. Bau apak menyerbak di hidung gadis itu, tetapi hal tersebut tak mengganggu Tessa. Ia terus berjalan hingga altar. Ia memutari altar tersebut dengan lambat, tangannya menelusur sudut-sudut altar. perasaannya menghangat.

Gadis itu kemudian sadar apa yang membuat matanya dapat melihat. Di salah satu sudut gereja, dekat altar terdapat pintu berbentuk lingkaran di lantainya. Pintu tersebut tidak ketara dan Tessa tak akan menyadarinya kalau saja tak melihat cahaya yang keluar dari sela-selanya. Tak ada ukiran di yang menjadi pertanda. Warnanya pun menjadi satu dengan lantai.

Tessa mencoba mencungkil pintu tersebut tetapi gagal. Tenaganya kurang kuat. Terpaksa ia memanggil Luke. Serigala itu menolak. Ia takut masuk ke gereja, plus terintimidasi oleh perak-perak di sana. Namun, Tessa memaksa. Gadis itu yakin ada sesuatu di bawah gereja.

Luke mau tak mau mengikuti Tessa. Ia mencari besi dan mencungkil pintu itu hingga terbuka. Di bawah pintu terdapat tangga. Tessa dan Luke masuk ke sana.

"Tak ada apa-apa di sini," kata Luke setelah mengamati lorong di bawah pintu rahasia itu.

"Kau salah," timpal Tessa segera. Matanya menangkap kilauan benda di ujung lorong. Dari sanalah cahaya tadi berasal. "Lihat benda itu!"

Luke menoleh tak tentu arah. "Aku tak bisa melihat. Di sini terlalu gelap, dan bau, dan panas, dan lembap, dan--"

"Ayolah, Luke, tidak seburuk itu." Tessa menghampiri benda yang dia maksud. Benda itu tersimpan dalam peti kecil, tetapi Tessa mampu meihat cahayanya dari sela-sela peti. Setelah dipikir-pikir, bukankah aneh. Cahaya dari benda itu harusnya tidak memancar hingga ke ruang gereja, ke sela-sela pintu rahasia. Tetapi, Tessa merasa seolah-olah benda itu menuntunnya untuk ditemukan.

"Bisakah kau membukanya?" tanya Tessa pada Luke.

"Buka apa?"

"Peti ini," sahut Tessa mengangsurkan peti ke tangan Luke. 

Luke terkejut sekejap, dan meraba-raba kotak tersebut. "Bisakah kita keluar dulu?"

Tessa mendecakkan lidah tetapi menurut. Mereka kembali ke atas, kemudian keluar gereja. Luke mendesah lega begitu kakinya menyentuh tanah basah. Ia mengembuskan napas panjang sebelum mengamati peti yang diberikan Tessa tadi. Menggunakan besi yang sama dengan yang digunakan untuk mencongkel pintu rahasia tadi, Luke membuka paksa peti tersebut.

Di dalam peti ia melihat sebuah benda antik. Benda tersebut berupa mahkota kecil, sekecil gelang dan berhias permata, terbuat dari emas berwarna putih.

"Aku tahu benda ini," ujar Luke menganga. "Artefak milik Suku Mink. Mereka kurcaci, dan ...." Luke menatap Tessa dengan serius sebelum melanjutkan, "... bagaimana kau bisa mengetahuinya?"

"Mengetahui apa?" Tessa bingung.

"Suku Mink selalu membuat sihir untuk melindungi artefak milik mereka. Mereka kerap menyesatkan si pencari, tetapi kau ... kau seolah tahu betul ada sesuatu di dalam sana."

Tessa mengedikkan bahu. "Aku tak tahu."

Luke hanya bisa mengernyit. Mungkin, firasat Ralph benar. Tessa bukan seorang gadis biasa.

***

Redemption of Fallen AlphaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang