Bab 16. Pembebasan

7 3 0
                                    

Tessa berjalan dalam diam. Tangannya masih dibelenggu, lehernya pun. Padahal, andai belenggu itu dibuka, toh tidak mungkin dia bisa melarikan diri. Meski sesama perempuan, gadis itu tampak kuat. Otot pada lengannya tercetak saat dia menekuk siku. meski begitu, otot itu tidak lebih besar dari otot laki-laki manapun. Namun, jelas, dibanding punya Tessa, otot tersebut lebih kuat.

Lagi pula, gadis yang membeli Tessa cukup berani. Nyatanya, dia tak takut pergi sendirian. Ia yakin gadis itu bukan gadis biasa. Ia sempat mendengar nama Varek disebut tadi. Pasti gadis ini memiliki hubungan khusus dengan serigala itu. Apakah dia calon makanannya, seperti Tessa? Atau jangan-jangan, dia adalah pasangannya. Kalau begitu, Tessa mungkin tengah menuju kematiannya.

Tessa terus berjalan, mengikuti gadis yang membelinya tanpa berkata. Ia takut gadis itu berbalik dan lalu menerkamnya, menjadikannya makanan alih-alih membawanya kepada pasangannya. Dengan begitu, kesempatannya hidup menjadi nol persen. Lain halnya dengan ia menahan komentar. Mungkin, nanti ia memiliki kesempatan untuk melarikan diri.

Namun, gadis yang membelinya, sama bungkamnya. Ia menarik rantai yang membelenggu tangan Tessa. Jika dipikir-pikir, mereka seperti manusia dan anjing yang tertukar. Seharusnya, Tessa yang memegang kendali si anjing, bukan dirinya yang dikendalikan. Lucu sekali. Gadis itu terkekikik. Situasinya membuatnya terkikik.

Wajah gadis yang meyeretnya menekuk. "Apanya yang lucu?" tanyanya pada Tessa, dengan wajah merah padam. Sepertinya ia marah.

Namun, bagi Tessa itu lucu sekali. Ia tertawa, dan tak bisa mengendalikan dirinya.

Gadis berambut pendek yang membelinya tadi berhenti di depan Tessa. Ia meninju muka Tessa hingga hidungnya bengkok, kemudian berdarah. Tessa terkekeh, dan tawanya reda. Ia masih menyeringai saat berkata, "Tidak ada apa-apa, sialan. Kenapa kau memukulku?" Ia mengusap darah yang keluar dari hidungnya.

"Kau menertawaiku, ya?"

"Tidak," dusta Tessa. "Untuk apa aku menertawaimu?"

Gadis berambut pendek itu menaruh tangannya di pinggang. Ia menatap Tessa dengan kebencian. "Karena kau mengasihani diriku, kan?"

Tessa mengernyit. "Untuk apa pula aku mengasihani dirimu? Aku bahkan tidak mengenalmu. Dan lihat," ia menyodorkan belenggunya, "apakah keadaanku pantas untuk mengasihani orang lain?"

Gadis berambut pendek tadi masih mengamati Tessa dengan penuh curiga. Ia menumpukan bobotnya di satu kaki. "Kalau begitu, kenapa kau tertawa?"

Tessa mengedikkan bahu. "Aku hanya ingin menghibur diriku sebelum kau membunuhku."

"Menghibur diri?" Gadis berambut pendek itu mendengkus. Ia berbalik, dan kembali menyeret Tessa. Mereka telah keluar hutan, dan kini tengah menyeberangi bukit. "Kenapa kau yakin aku bakal membunuhmu?"

"Kau menyebut-nyebut Varek tadi."

"Oh, itu." Kini giliran gadis itu yang tertawa. Tessa menggeleng pelan. Gila, pikirnya.

Gadis berambut pendek itu menjelaskan, "Aku hanya menggertak lelaki tua itu tadi. Begitulah caranya menawar. Luke mengajariku dulu."

"Oke," sahut Tessa mencoba mengimbangi langkah gadis itu. Namun, ia terseok-seok karena kelelahan. Mereka berjalan setengah hari tanpa istirahat.

"Apa kau benar-benar takdir Luke?" tanya gadis tadi tiba-tiba.

Tessa memutar bola matanya. Sejujurnya, ia tak tahu. Namun, mengingat kebohongannya tadi telah menyelamatkannya, akhirnya ia kembali berdusta. "Kurasa begitu."

"Kurasa?" Gadis tadi menoleh sekejap. "Apa yang kaurasakan? Apa kau benar-benar merasakan momen itu? Momen saat Sang Goddess memilih kalian?"

Tessa tak mengerti apa yang dimaksud gadis itu, tetapi ia mengangguk saja, "Sedikit."

Gadis tadi kembali mendengkus. "Sedikit," ulangnya. mendadak ia berbalik, menghadap Tessa. "Kau berbohong."

"Ti-tidak," Tessa gelagapan. "A-aku manusia, ja-jadi ti-tidak tahu kalau yang kurasakan itu semacam ... well ... semacam momen yang ... yang, kau mengerti maksudku?"

Gadis tadi mendengkus. Ia menarik kunci dari saku dan membuka borgol Tessa. "Kupikir kau benar-benar takdirnya," katanya berbalik, meninggalkan Tessa.

Tessa mengerjap bingung. Apa maksdunya? kenapa ia ditinggalkan? Apakah ia tak lagi berharga? Apakah ia benar-benar bisa bebas? Namun, setelah bebas, justru Tessa ketakutan. Ia tak tahu mesti ke mana dan makhluk apa yang mungkin ia temui nanti. Jadi, ia berlari menyusul gadis itu.

Si gadis berambut pendek tadi menoleh, kemudian berkata, "Kau cukup pintar untuk terus mengikutiku dan bukannya lari."

Tessa mengernyit. "Kau tidak akan membawaku kembali pada Varek. kenapa? Apa karena aku bukan takdir Luke, sehingga tidak berharga di mata kalian?"

Gadis berambut pendek itu menggeleng. "Aku membelimu bukan karena kau takdir Luke. Justru karena aku yakin kau bukan takdir Luke, aku membelimu. Aku tak tahu kenapa Luke berkata demikian tentang kau, di hadapan sang Alpha pula. Ya, aku mendengar semuanya dari lelaki tua tadi."

Ia berhenti, menatap Tessa yang hendak menginterusinya, lantas memotongnya sebelum bicara, "Luke mendatangiku. Dia memintaku membantunya merebutmu dari Varek. Aku penasaran kenapa Luke butuh kau, dan bukan aku."

Tessa menangkap kecemburuan dalam suara gadis itu. Namun, ia memilih diam saja.

"Jadi, saat kudengar kabar bahwa Luke tertangkap kelompok Daisy, aku segera ke sana dan berniat membelinya sebelum Varek datang. Dia sedang menunggu kalian keluar dari desa satu aturan, asal kau tahu. Luke memang cerdik."

"Yeah." Tessa mengangguk-angguk.

"Aku kecewa ketika lelaki itu bilang Luke sudah dijual ke sang Alpha. Lantas, dia memberitahuku tentangmu. Jadi, aku membelimu. Sebab, aku tahu Luke membutuhkanmu."

"Jadi, sekarang kau hendak ke mana?" tanya Tessa penasaran.

"Membebaskan Luke, tentu saja."

"Oh," Tessa sedikit kecewa. Dia pikir dia memiliki kesempatan meminta gadis itu mengantarnya pulang ke Grimvale. "Kenapa?"

"Karena Luke satu-satunya harapanku hidup."

"Maksudmu?"

Gadis itu mengibaskan bola matanya. "Tidak penting."

Tessa tak mendesak lagi. Ia mengamati gadis itu dengan saksama. Warna rambut gadis itu cokelat terang, dan semakin terang saat cahaya matahari sore yang keemasan menyinarinya. Ia jadi teringat sesuatu. "kau serigala itu, kan? Yang memperingatkan Luke agar menyerah? Sebelum kami jatuh ke ngarai?"

"Lyra," gadis itu menjawab. "Namaku Lyra."

"Oke," sahut Tessa. "Jadi, bagaimana kau akan menyelamatkan Luke?"

Lyra mendesah, kemudian menjelaskan, "Sang Alpha memiliki bisnis, yaitu menjarah wilayah yang berkonflik. Dia memanfaatkan perang untuk memperkaya diri. Para budak--mereka yang dibelinya--dituntut untuk saling berkompetisi dengan mendapatkan harta sebanyak-banyaknya dari wilayah yang menjadi target. Sang Alpha menjanjikan kebebasan bagi mereka yang mampu membeli dirinya sendiri."

"Jadi, kau berniat membantu Luke mendapatkan harta sebanyak-banyaknya?"

"Itu tak akan berhasil. Kita harus membebaskannya sebelum diberi label."

Tessa mengernyit. "Kita?"

"Kalau kau tak mau, silakan pergi. Kita sudah tiba di wilayah mereka. Jadi, kalau terjadi apa-apa, aku akan bilang pada Luke aku tidak berhasil menjagamu meski sudah berusaha keras."

Mendengar frasa wilayah mereka, membuat Tessa trauma. Ia tak mau terbebas dari mulut serigala untuk kembali ke mulut serigala lain. Ia merapatkan diri kepada Lyra.

***




Redemption of Fallen AlphaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang