Bab 13. Sang Alpha

36 5 0
                                    

Semalaman, Bob tidak tidur. Dia benar-benar menjaga para tahanan denga ketat. Bahkan, ketika ada yang berbicara, Bob menoleh dan menyuruhnya diam. Tingkat kewaspadaannya meningkat, apalagi saat mendapati dua jeruji penjara bengkok. Ia juga memindahkan gerendel kunci dari sabuknya ke depan tubuh, melindunginya dengan protektif.

Pada tengah malam, tiga perempuan desa datang. Mereka memberi baki berisi makanan dan minuman ke penjara. Para tawanan berebut dengan sengit hingga terjadi sedikit kekacauan. Namun, Bob memukulkan tongkat ke jeruji hingga membuat pekak telinga. Para tawanan berhasil ditertibkan kembali.

Tessa berhasil mendapatkan semangkuk air dan segenggam roti, walau harus berdesak-desakkan dengan tawanan lain. Ia menyodorkan air tersebut pada Luke yang lemah. Luke mereguk air itu cepat-cepat hingga tersedak dan berterima kasih. Ia juga meminta maaf karena tak menyisakannya untuk Tessa.

"Tidak apa-apa." Tessa mengulurkan rotinya pada Luke, tetapi sang werewolf menolak. Ia lantas memakannya sedikit demi sedikit dan mengernyit karena roti itu ternyata sudah tengik. Namun, saat mengamati sekeliling, ia melihat para tawanan lain makan dengan lahap.

Malam itu udara terasa menggigit. Salju turun agak lebat. Penjara itu hanya berupa kurungan berbentuk kotak besar. Atapnya terbuat dari baja yang menyambung ke dinding. jadi, saat salju turun, kepingannya mengenai para tawanan.

Tessa menggigil. Ia duduk dengan memeluk lututnya. Rambutnya yang panjang ia belitkan pada leher agar hangat, tetapi sepertinya tidak berpengaruh. Ia tetap saja kedinginan. Luke yang melihat hal itu pun menarik Tessa mendekat. Ia memeluk pinggang Tessa, merapatkan gadis itu ke tubuhnya.

Untuk sejenak, Tessa terkejut. Ia menatap sang werewolf yang mengalihkan wajah darinya.

"Jangan salah paham. Aku hanya tidak mau kau mati kedinginan. Kau masih harus membantuku mendapatkan artefak itu," ujar Luke.

Wajah Tessa memerah. "Aku tahu," sahutnya merapatkan diri. "Apa suhu tubuh semua werewolf sehangat ini?" tanyanya kemudian. Ia memeluk pinggang ramping Luke.

"Jangan dipeluk begitu." Luke mendorong Tessa supaya agak menjauh.

"Katamu kau tak ingin aku mati kedinginan?" Tessa memprotes.

Luke hanya bisa mendesah.

"Kau terluka?" tanya Tessa saat mendapati bahu Luke berdarah. Ia mencoba memeriksanya, tetapi ditepis.

"Aku tidak apa-apa."

Tessa bersikeras. Ia menyentuh bahu Luke, tetapi karena sang werewolf hendak menghindar, Tessa malah tak sengaja merobek kemejanya. Gadis itu memperhatikan luka sang werewolf menutup dengan perlahan.

Lelaki itu kesal. Ia menarik kemejanya hingga menutupi bahunya dengan kasar. "Ini hanya luka kecil," terangnya.

Tessa jadi penasaran. "Kalau ini kau anggap luka kecil, luka seperti apa yang membekas di matamu hingga perlu kau tutupi?"

"Jangan cerewet!" Luke mendecakkan lidah. "Kalau satu kata lagi keluar dari bibirmu, akan kubiarkan kau mati kedinginan."

Tessa cemberut. Meski begitu, ia menutup mulutnya rapat-rapat. Ia lantas menarik lengan Luke, mengalungkannya ke pinggangnya. Ia juga kembali merapatkan dirinya ke pelukan sang werewolf. Kepalanya ia rebahkan ke dada lelaki itu.

Sebenarnya, Tessa kesal atas sikap kasar sang werewolf. Namun, ia menduga, mungkin Luke telah melewati jalan hidup yang membuatnya trauma sehingga bersikap begitu. Entah kenapa, gadis itu ingin memahami Luke.  Ia juga mau membantu werewolf itu. Anehnya, sikap dingin Luke bukannya membuat Tessa takut, melainkan iba. Setiap menatap mata sang werewolf, gadis itu melihat rasa yang tak bisa ia definisikan, rasa yang membuatnya.

Redemption of Fallen AlphaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang