Bab 17. Hidup Sebagai Budak

8 2 0
                                    

Begitu sampai ke markas Ralph sang Alpha, Luke bergabung dengan para budak. Pemuda itu merasa terhina. Bagaimanapun, dia ditakdirkan sebagai pemimpin. Dia dididik sebagai alpha. Lebih baik, dia meninggalkan kawanan ketimbang menjadi budak, mengerjakan pekerjaan kotor bagi mereka. Namun, Luke tak memiliki pilihan. Ketika ia menolak perintah, tubuhnya memprotes, kepalanya berat, dan segalanya terasa menyakitkan, walau tak tahu bagian mana yang sakit.

Luke sudah memasukan jemarinya ke mulut, berharap obat yang terlanjur tertelan keluar. Namun, usahanya sia-sia. Hanya cairan kuning pekat yang dimuntahkannya.

"Sudah terlambat," kata seorang pemuda mendatanginya. Tubuhnya kurus, matanya cekung, dan rambutnya kusam. Dia tampak seperti orang yang kekurangan gizi. Ia mengangsurkan sebotol minuman untuk Luke, sembari menjelaskan, "Obat yang kita telan berasal dari bulu Cora. Dia bisa mengendalikan kita hanya dengan satu bagian tubuhnya berada di tubuh kita. Hanya alpha yang berkarakter kuatlah yang bisa melawannya."

Seharusnya dia bisa, pikir Luke. Namun, kenapa tidak? Rasanya sia-sia melawan suara Cora yang berkata dalam kepalanya. Ia tak bisa menolak. Apakah menjadi lone werewolf tidak membuat Luke kian kuat, tetapi malah melemah? Luke kecewa terhadap dirinya sendiri.

Ia pernah memiliki kemampuan untuk melawan, yaitu saat hendak meninggalkan desa para perampok. Suara Cora hilang, digantikan suara Tessa yang memohon. Namun, tetap saja itu bukan suaranya, bukan keinginannya. Luke tidak merasakan suatu perasaan terhadap Tessa. Ia tak merasa tertarik, seperi kata Theron yang menjelaskan tentang takdir pasangan. Katanya, jika dia berjodoh dengan seseorang, dia akan merasakan suatu ketertarikan yang sulit dilawan. Ia bakal merasa hanya ada gadis itu yang ada di matanya, sementara dunia perlahan menghilang, suara-suara bakal lenyap. Ia seakan ada di kegelapan, tetapi tidak kesepian karena ada gadis itu di sana, menunggu, mencumbu, dan membutakan kita. Luke tidak merasakan semua itu tatkala bersama Tessa.

Jadi, jelas, gadis itu bukan takdirnya. Namun, kenapa Luke terpengaruh oleh permohonan Tessa? Apakah karena janjinya? Apakah karena perjanjian mereka? Apakah karena rasa tanggung jawab yang dia obral kepada sang gadis? Luke tidak mengerti.

"Bersiaplah," kata pemuda kurus tadi. "Kau akan bekerja sebagai budak untuk pertama kalinya." Setelah botol minuman itu diterima Luke, pemuda itu kini meraih sikat dan menyodorkannya pada Luke. "Bersihkan istal dan beri makan kuda-kuda sebelum malam menjelang. Cora tak suka kuda-kudanya kelaparan."

Luke menyahut sikat itu. Ia lantas bangkit. Dengan ekspresi terpaksa, serta jijik, ia masuk ke istal.

 Istal tersebut lebih luas dari perkiraannya dan baunya sungguh mengganggu, lebih buruk dari bau kumpulan serigala setelah bersenggama. kotoran kuda tamak menumpuk, menyumbat lubang pembuangan. Jerami-jerami berserakkan. Air kekuningan menggenang.

Sesaat setelah Luke masuk istal, pemuda tadi ikut masuk. Ia membawa ember berisi air bersih. Karena melihat Luke yang kikuk saat membersihkan kotoran kuda-kuda, pemuda tadi memberinya contoh. Ia mengajari Luke sakan-akan lelaki itu bayi yang sedang belajar berjalan, membuat wajah Luke semakin menekuk.

"Ayolah! Aku tidak tahu kau itu apa sebelum bergabung dengan kawanan, tetapi setelah bergabung, kau harus beradaptasi. Terimalah nasibmu dan kerjakan pekerjaanmu," pemuda itu kesal mendapati Luke yang tidak serius.

Luke malah meradang. Ia menggertakkan gigi dan berkata, "Aku tidak ditakdirkan sebagai pekerja kotor seperti ini."

Pemuda tadi mendengkus. "Omong kosong dengan takdir," balasnya tak kalah galak.

Luke kian murka. Ia berteriak di depan muka sang pemuda, "Aku ditakdirkan sebagai--"

"Masa bodoh dengan takdirmu!" Pemuda itu balas berteriak. Wajahnya memerah dan Luke melihat matanya berapi-api. "Menurutmu, adilkah takdir itu?"

Luke hendak membalas tetapi pemuda itu memotong, "Kalau memang dewa itu adil, kenapa sebagian dilahirkan sebagai alpha, dan yang lain dilahirkan sebagai budak? Kenapa budak harus menjadi pelayan untuk kawanan? Kenapa kami harus mengurus mereka? Kenapa mereka tidak mengurus diri sendiri? Kenapa mereka memperlakukan kami sebagai sesuatu yang kotor, menjijikkan, dan pantas menerima perlakuan kasar hanya karena dilahirkan sebagai anak budak? 

"Kalau aku bisa memilih, tentu aku akan memilih menjadi anak alpha. Apakah menurutmu anak budak dan anak alpha ketika baru lahir berbeda? Tidak. Mereka sama saja. Sama-sama bodoh, sama-sama rentan, sama-sama berkaki empat. Apa yang membedakan mereka? Ayahnya. Dan bagaimana ayahnya menjadi alpha? Tentu karena ayahnya sebelumnya seorang alpha. Begitu terus hingga ke kakek moyang mereka. Apakah itu adil?"

Luke terdiam. Ia tak tahu mengapa ada budak dan bagaimana mereka menjadi budak. Theron tidak mengajarkannya hal-hal seperti itu. Pikiran bahwa mereka budak dan dia boleh memperlakukan mereka semena-mena sudah menjadi hal lumrah, seolah-olah tak ada alasannya.

Luke menggenggam gagang sikatnya, kemudian turut menggosok lantai istal. "Maafkan aku," ujarnya pelan. "Aku tak pernah memikirkan hal itu sebelumnya."

Pemuda tersebut lebih kurus darinya. Sekali Luke memukul, pemuda tersebut pastilah roboh. Luke lebih tinggi, lebih besar, lebih kuat. Namun, dia tak mau memukul. Rasanya ada sesuatu yang membuat pemuda itu tidak terintimidasi olehnya. Ekspresinya begitu keras, seolah-olah tak peduli lagi tentang nasibnya selanjutnya. Ia seakan tak takut apa pun karena pernah merasakan penderitaan yang paling parah sebelumnya, dan yakin tak ada sesuatu yang lebih parah dari sebelumnya yang mungkin bakal menimpa.

Sang pemuda mengangguk. Ia tampak membersit hidungnya. "Zev," katanya. "Namaku Zev."

"Luke," timpal lelaki itu. Mereka menggosok lantai istal bersama-sama.

Zev merupakan pemuda yang bernasib sial. Dia lahir sebagai budak. Dari kecil, dia sudah dituntut untuk mengabdi. Dia juga hidup dalam kekurangan. Ia tak bisa merasakan makan dengan puas, tidur dengan nyaman, dan bermain tanpa batas. Membersihkan kandang adalah pekerjaan teringan yang pernah ia kerjakan. Sebelumnya, ia menjadi umpan, atau garis terdepan sebagai korban, atau samsak dalam latihan.

Kawanannya dahulu memperlakukannya dengan kejam. Ia mengais makan sisa agar dapat hidup. Setiap hari, ia dijadikan samsak sebagai latihan. Jika ada perayaan, ia dan budak-budak lain diadu untuk hiburan, dengan hadiah berupa daging sisa. Ia pernah diadu dengan sahabatnya. Ia mengalah agar sahabatnya menjadi juara. Namun, sebagai gantinya, ia dipukuli sampai hampir mati oleh para serigala yang kalah dalam taruhan.

Ketika kawanannya diserang, ayah dan ibunya meninggal. Ia diberikan kepada Ralph sang Alpha sebagai permohonan ampunan bagi pemimpinannya yang dulu. Dan di sini pun sama saja. Ralph sering menjadikan para budaknya untuk memeriksa wilayah yang menjadi targetnya. Tak jarang, Zev nyaris mati karena dikeroyok, sebelum prajurit Ralph datang dan melumpuhkan mereka.

Namun setidaknya, Ralph memperlakukan kawanannya dengan adil. Dia mematok harga untuk menebus harga mereka. Jika budak-budak itu mampu membawakan hasil jarahan sebesar harga yang dipatok, maka dia bisa bebas. Dia juga bisa memilih untuk bergabung dengan kawanan Ralph, tetapi tentu jabatannya lebih tinggi, tugasnya pun lebih mudah.

Selesai memberi makan kuda-kuda, Zev memberi Luke daging. Mereka makan bersama sebelum Cora datang. Wanita itu meminta Luke datang menghadap Ralph. Mereka akan memberinya harga.

***


Redemption of Fallen AlphaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang