Episode 7

1 0 0
                                    

"Oisin!" wajah Zeline yang semula muram mendadak jadi cerah saat orang yang ia tunggu akhirnya muncul. Senyumnya langsung tercetak di wajah saat menyaksikan cowok itu tengah berjalan menuruni tangga, siap bergabung dengannya dan dengan yang lain. Leher Zeline sampai berputar nyaris 180 derajat karena terus mengikuti Oisin.

"Malam, Sin." Sapa Melani sambil tersenyum singkat kepada Oisin yang sedang menarik kursi, kemudian duduk bersebelahan dengan Zeline.

Oisin hanya menganggukkan kepala sekilas tanpa ada niat menyapa apalagi tersenyum balik ke perempuan itu.

"Cih, sok kayak tokoh utama aja, datengnya telat." Sindiran ini datang dari Zen, yang duduk di sebelah Melani. Jika yang lain belum menyentuh makanan sama sekali, Zen sudah mengunyah dari tadi.

"Zen." Abraham langsung mengingatkan sikap anaknya.

Zen tidak mendengarkannya. Ia malah mencomot makanan di depannya dengan tangan kanannya.

"Sudah berkumpul semuanya. Sekarang kita mulai makan malam bersamanya ya." Sabira segera membuka acara berkumpul dan makan malam bersama keluarga ini dengan senyum menghiasi wajahnya.

Diam-diam, Zeline mendekatkan diri pada Oisin. Lalu ia mengendus lengan Oisin. "Wanginya seger banget. Habis mandi pake sabun apa, Sin?"

Oisin tidak menjawab. Cowok itu langsung mengambil sendok dan garpu. Siap menyantap makanan yang sudah dimasak oleh chef khusus oleh Sabira. Zeline menarik kepalanya sambil cemberut. Tak pernah berubah. Mau sampai kapan pun, Oisin tidak akan pernah meliriknya. Apalagi melihatnya. Kadang Zeline sampai kesal dengan papanya. Ia yakin, Oisin begini karena kelakukan papa di masa lalu.

Keluarga Rakasura. Itulah mereka. Sabira sebagai yang paling tua. Nenek Oisin, ibu dari Ananta yang merupakan ibu Oisin. Selain Ananta, sudah pernah dijelaskan bahwa Sabira memiliki anak lain. Anak pertama. Anak laki-laki. Namanya Abraham. Abraham menikah dengan Melani yang melahirkan keturunan mereka. Anak mereka, seorang anak laki-laki yang kini berusia 21 tahun, bernama Zen. Anak kedua mereka yakni Zeline yang lahir empat bulan lebih awal dari Oisin.

Saat ini, mereka tidak lagi tinggal di kediaman utama bersama Sabira. Keluarga kecil itu kini tinggal di rumah lain yang memang tidak sebesar kediaman Sabira. Tapi juga tidak kalah kaya dan mewah.

Ingat juga tidak, siapa yang paling menentang kepulangan Ananta dari Swiss kala itu? Pastinya Abraham. Abraham pula yang mengusir Ananta untuk pergi dari Indonesia. Perlakuan sang kakak kepada adiknya itu, membuat Zeline jadi berpikir kalau itulah yang membuat Oisin selalu bersikap dingin kepadanya. Jelas saja itu membuat Zeline sebal sekaligus kesal. Padahal ia ingin dekat dengan Oisin. Sepupu, sekaligus crush-nya sejak pertama bertemu.

"Bagaimana kuliah kamu, Zen?" Sabira mulai bertanya pada cucu tertuanya.

"Nggak gimana-gimana." Zen menjawab dengan acuh, sambil terus mengunyah makanannya.

Sabira hanya memperhatikannya sesaat. Kemudian matanya berpindah pada Zeline. "Kalo Zeline? Bagaimana sekolahnya?"

"Nggak enak, Oma. Zeline pengennya pindah ke SMA Thamrin aja, biar bisa bareng Sin setiap hari."

"Zeline, sebentar lagi kamu lulus. Jangan macem-macem." Abraham segera mengingatkan putrinya.

Zeline langsung berdecak kesal. Kalau saja sejak dulu Abraham mengijinkan, Zeline sudah pasti akan bersekolah di tempat Oisin bersekolah. Tapi Abraham selalu melarangnya untuk bersekolah di sekolah yang sama dengan Oisin dengan berbagai alasan.

"Kalo Sin gimana? Gue pengen tau cerita Sin di sekolah." rasa kesal Zeline berubah saat ia menoleh ke arah Oisin.

"Sekolah Sin baik-baik aja. Iya kan, Sin?" Sabira mewakili Oisin menjawab pertanyaan Zeline.

Zeline pun kecewa. Padahal ia ingin mendengar suara Oisin.

Sayangnya sampai acara makan malam selesai dan sampai pulang, Zeline tidak mendengar suara Oisin sama sekali. Setelah selesai makan, Oisin segera kembali ke kamarnya di lantai dua. Alhasil, bayangan kebahagiaan di kepala Zeline segera buyar.

"Ini gara-gara Papa tau nggak?" Zeline tak bisa menahan rasa kesalnya. Ia luapkan ketika ia dan keluarganya dalam perjalanan pulang ke rumah dengan satu mobil yang sama.

"Ada apa, Zeline? Kenapa tiba-tiba kamu bicara gitu sama papa kamu?" Melani menoleh ke belakang, menatap putrinya dengan dahi mengerut.

"Kalo dulu Papa lebih baik lagi sama tante Ananta, pasti Sin nggak sedingin itu sama Zeline."

Melani segera melirik Abraham yang menyetir.

"Kamu bicara apa sih? Jangan ngelantur." Ujar Abraham.

"Jangan kira Zeline nggak tau apa yang udah Papa lakuin sama mamanya Sin."

Abraham melirik Zeline lewat spion di atasnya.

"Pa, semua kerabat kita juga udah tau soal itu. Nggak usah ngelak apalagi ditutupin deh."

"Zeline, apa yang papa kamu lakuin waktu itu nggak salah. Itu semua dilakukan demi nama baik keluarga Rakasura." Melani berusaha meluruskan pemikiran Zeline sesuai dengan keyakinannya.

Rakasura. Salah satu keluarga terpandang yang ada di Jakarta. Namanya juga terpandang, pastinya mereka itu kaya raya. Makanya ketika Ananta dianggap membuat aib, Abraham langsung sat set mengusir Ananta agar nama baik Rakasura tetap terjaga. Sayangnya keputusannya hanya menguntungkan satu pihak. Ananta yang notabene adalah adiknya sendiri malah menjadi korban dari perbuatannya. Bahkan ia sebagai kakak juga gagal melindungi adiknya yang diketahui juga sebagai korban KDRT bertahun-tahun sampai akhirnya meninggal dunia beserta dengan suaminya, menyisakan Oisin seorang diri yang kini dirawat oleh Sabira di kediaman utama.

"Apa kalo sampe suatu hari nanti Zeline bikin kesalahan yang fatal, kalian juga bakal ngelakuin itu ke Zeline?"

Pertanyaan Zeline menohok perasaan Melani dan Abraham sekaligus. Keduanya sampai tidak bisa berkata-kata.

"Bacot banget lo! Lo begini karena lo suka aja sama Sin, kan? Gih, kejar tuh anak haram! Anak yang udah bikin malu keluarga!" Zen memecah kesunyian sesaat itu dengan kata-kata kasar.

Zeline tidak membalas kata-kata sang kakak dengan kata-kata. Ia hanya melirik penuh emosi.

*

"Sin, Oma boleh masuk?"

Tak lama setelahnya, pintu kamar Oisin terbuka. Oisin mempersilahkan wanita tua itu memasuki kamarnya yang luas yang bernuansa serba putih.

"Kamu lagi belajar?" tanya Sabira sambil memperhatikan meja di hadapan Oisin yang cukup berantakan oleh buku, alat tulis, ponsel, charger beserta tablet yang menyala.

"Hm." Oisin hanya menggumam.

"Ya sudah, kalo begitu Oma kembali ke kamar ya."

"Kalo mau ngomong, ngomong aja." Suara Oisin menahan niat Sabira untuk pergi. Oisin memutar kursi belajarnya ke arah Sabira yang berdiri di belakangnya, namun kini berubah jadi di depannya. Cowok itu mendongak, menatap wajah Sabira yang makin hari terlihat makin keriput.

"Oma tau ini berat buat kamu. Tapi, apa kamu bisa sedikit lebih lunak pada sepupu, tante dan om kamu, seperti yang udah kamu lakukan pada Oma?"

"Menurut Oma?"

Sabira memperhatikan wajah Oisin baik-baik dan cukup lama. Meski tidak tersirat begitu jelas, Sabira masih bisa melihat emosi dan amarah di mata tajam Oisin. Setelahnya, Sabira menghembuskan nafas pelan sembari tersenyum tipis. Tangannya ia letakkan di puncak kepala Oisin, "Baiklah. Kalo kamu memang belum bisa, nggak papa."

Oisin hanya diam.

"Kamu belajar yang benar ya. Jangan lupa istirahat. Oma juga mau ke kamar, mau istirahat." Sabira menepuk kepala Oisin dua kali dengan lembut sebelum keluar dari kamar sang cucu.

Oisin kembali memutar kursinya ke arah semula. Pandangannya ia tujukan ke arah luar jendela yang gelap karena tidak ada bintang malam ini.

Bersikap lunak kepada sepupu, om dan tantenya? Kepada orang yang telah membuat hidupnya dan hidup mamanya menderita? Mana mungkin! Zeline memang benar, sampai kapan pun, Oisin akan terus bersikap seperti itu kepada mereka sebagai konsekuensi atas perbuatan yang pernah Abraham lakukan di masa lalu.

The Girl I Met That DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang