Kecil, lemah, tidak berdaya. Tiga kata itu cukup untuk menggambarkan seperti apa dirinya. Tubuhnya kurus. Ia sangat lemah, mudah tumbang. Ia sering menjadi samsak kebencian maupun perlakuan kasar dari anak-anak di sekitarnya. Demi keselamatan fisik dan mentalnya dari perundungan tersebut, ia pun dipindahkan ke sekolah lain. Namun, di sekolah barunya, ia kembali mendapatkan perlakuan yang sama dan akhirnya pindah lagi ke sekolah yang baru. Sayangnya, circle kehidupannya tetap sama. Mau di mana pun ia bersekolah, ia akan tetap menjadi korban bully. Hingga ia akhirnya masuk ke sekolah ketujuh.
Diharapkan, tempat ini akan menjadi tempat yang aman untuk ia tempuh sampai lulus SD nantinya. Sehari, dua sampai tiga hari, semua berjalan normal, aman dan tidak ada masalah sama sekali. Sampai hari keempat, ia kembali dirundung. Sekali lagi dalam hidupnya, ia menjadi korban bully untuk tiga alasan yang sama sejak perundungan pertama, yang tidak masuk akal.
Pertama, karena namanya. Oisin Chaanakyasaki. Namanya disebut tidak lazim dan susah diucapkan untuk lidah orang Indonesia. Kedua, karena tatapannya yang dinilai menyeramkan. Ketiga, karena ia terlalu pendiam. Ia tidak pernah bersuara kecuali ditanya oleh guru. Konyol? Memang sekonyol itu!
Puncaknya adalah hari ini, ketika lututnya berdarah akibat didorong oleh Aldeo, anak paling nakal di angkatan kelas 3. Setelah berhasil membuat Oisin terjatuh ke atas aspal, Aldeo segera memanggil teman-teman atau yang lebih tepat disebut sebagai anak buahnya untuk mengeroyok Oisin. Sebisanya Oisin melindungi kepalanya dari serangan bertubi Aldeo CS dengan kedua lengan sembari meringis. Menahan rasa sakit, juga tangis.
"Argh!" Salah satu anak buah Aldeo yang bernama Faldo tiba-tiba mengaduh, membuat Aldeo dan yang lain menoleh ke arahnya dan sejenak berhenti menyerang Oisin.
"FALDOOOO, DAHI LO BERDARAAAAAAH!!!!" seketika Aldeo, Faldo dan yang lain panik. Di tengah kepanikan itu, satu anak kembali mengalami hal serupa setelah dilempar kerikil tajam.
Menyadari arah kemunculan kerikil tajam itu, Aldeo CS segera menoleh ke satu sosok yang berdiri sambil berkacak pinggang tak jauh di depan mereka. Sosok itu merupakan sosok anak perempuan berpipi chubby dan berbadan gemuk dengan rambut bob. Ia sendirian, berdiri menantang anak-anak cowok yang tengah merundung Oisin. "Beraninya keroyokan. Cemen! Wuuu!" ejeknya dengan suara cempreng.
Sebagai ketua circle, Aldeo langsung meradang, "Dasar Jaiko! Sini maju, kalo berani!"
"Ya udah, sini! Maju kalo berani!" cewek yang dipanggil Jaiko itu menantang balik Aldeo.
"Ya lo sini yang maju! Berani nggak?!"
"Kalo kamu nggak maju, berarti kamu cemen! Nggak berani! Wuuu!" Jaiko mengacungkan jari jempolnya ke bawah sembari mencibir gerombolan Aldeo.
"Dasar jelek, kayak babi!" Aldeo mulai melupakan Oisin yang sudah tergeletak lemas di atas aspal. Dengan pelan, ia mulai mendekat ke arah Jaiko. Diikuti Faldo yang menangis kesakitan dan teman-temannya yang lain.
"KAKEEEEEEEK." sebelum Aldeo dan gerombolannya mencapai tempat Jaiko, Jaiko langsung menjerit kencang.
Sontak langkah Aldeo CS terhenti. Mereka langsung celingukan ke kanan, ke kiri dan ke belakang. Takutnya benar ada kakeknya Jaiko muncul. "Yaaaa! Beraninya ngadu!" sembur salah satu anak buah Aldeo menertawakan Jaiko, setelah tidak melihat orang dewasa di sekitar mereka.
"Nyuruh orang maju, eh, sendirinya manggilin kakek! Jaiko jelek takut ya?"
"Wuuuu!" gerombolan cowok-cowok itu langsung membeo, mengolok-olok Jaiko.
"Aku teriak yang lebih kenceng lagi nih, biar kakek aku datang!" tantang Jaiko.
"Ya udah cepetan. Dikira takut apa? Emang kakek lo siapa? Presiden?" Aldeo tertawa sombong dan girang, karena ia yakin kakek Jaiko tidak benar-benar ada di tempat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Girl I Met That Day
Genç KurguBagi Oisin, Jaiko sudah seperti sosok pahlawan karena telah menyelamatkannya dari perundungan yang selalu ia alami semasa SD. Sayangnya, pertemuannya dengan Jaiko hari itu, sekaligus menjadi hari terakhir mereka bertemu. Meski semasa SMP Oisin sudah...