"Oh My God, Sin? You said that?"
Oisin segera berdecak, tidak suka dengan reaksi Chava setelah ia menceritakan tentang usahanya membujuk Michika untuk bersedia menemui Chava yang berujung sedikit ribut. "Cari orang lain. Emang cuma dia yang bisa nge-endorse?"
"Begini, sayangku." Chava mengambil posisi duduk di hadapan Oisin. Lalu ia menangkupkan kedua telapak tangan di kedua pipi Oisin. "Sheila udah cocok pas aku tunjukin portofolio Michika. Sheila sangat berharap buat bisa deal kerja sama sama Michika."
"Suruh Sheila sendiri yang usaha." Tukas Oisin enteng.
Tangan Chava segera meluruh. Gadis itu menghembuskan nafasnya cukup kasar. "Sheila udah ngasih aku kepercayaan as manager brand marketing, Sin. Kamu bayangin, Sin. Manager. Untuk aku yang bahkan masih belum lulus kuliah. Ini bener-bener privilege yang nggak bisa disepelein. Aku nggak mau nyia-nyiain kepercayaan yang udah Sheila kasih. So I have to do that."
"Tapi dia nggak mau." Oisin kembali mengingatkan mengenai keputusan yang langsung Michika ambil siang tadi.
"Kamu yakin nggak mau ngusahain lagi?"
Oisin diam sambil memperhatikan gadis yang mulai mendekat ke arahnya. Menyentuh dadanya dengan jari telunjuknya yang lentik dan cantik karena nail art.
"Apa aku minta tolong sama Kahlil aja ya?" cewek itu sengaja menggumam sambil menatap Oisin nakal.
"Hah?!"
*
Enak saja! Bagaimana bisa Oisin membiarkan Chava mengandalkan Kahlil daripada dirinya! Pastinya itu akan mencoreng harga dirinya sebagai seorang pacar! Karena itu, Oisin bertekad akan mempertemukan Chava dengan Michika hari ini, sepulang sekolah. Apa pun yang terjadi!
"Ke mana lagi si Oisin-Oisin itu?" Leroy bertanya heran ketika Oisin berjalan berlawanan arah dengannya dan yang lain.
"Mau bikin huru hara kayak kemarin lagi sama Chika?" Abel mencoba menebak dengan mengeluarkan isi kepalanya. Berita tentang interaksi Oisin dan Michika untuk yang pertama kali kemarin tak bisa untuk tidak tersebar. Banyak komentar yang bertebaran terkait hal itu. Selain tatapannya, ternyata mulut Oisin juga bisa menyeramkan.
*
Punggung Michika langsung menegak saat ia kembali mendapati Oisin memasuki kelas dan berjalan menuju ke arahnya. Ia benar-benar malas harus berbicara dan berhadapan dengan cowok itu lagi meski baru hanya sekali. Ya, Oisin memang tampan, tinggi dan wangi. Michika akui itu. Tapi apalah arti tampan, tinggi dan wangi kalau kata-katanya hanya bisa menyakiti?
"Nanti sepulang sekolah, lo ikut gue ketemu Chava." Begitu sampai di samping meja Michika, cowok itu langsung bicara to the point.
Michika melengos, "Nggak." katanya ketus, tanpa bertanya untuk apa ia harus meluangkan waktunya.
"Oh. Lo mau gue paksa?" satu alis Oisin terangkat.
"Kalo Chika nggak mau, jangan lo paksa, Sin."
Perhatian Oisin dan Michika segera beralih pada Sophie yang duduk di belakang Michika. Baru saja Sophie memutuskan untuk ikut nyemplung di permasalahan Michika dan Oisin yang entah apa sebetulnya. Sophie bukannya mau sok pahlawan atau bagaimana, ia melakukan itu karena tidak mau melihat temannya dipaksa oleh teman mantan pacarnya.
"Gue nggak lagi ngomong sama lo." Tukas Oisin pada Sophie. Dingin.
"Tapi gue perlu ngom—"
"Gue tunggu di parkiran." Oisin memotong kalimat Sophie untuk kembali berbicara pada Michika.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Girl I Met That Day
Novela JuvenilBagi Oisin, Jaiko sudah seperti sosok pahlawan karena telah menyelamatkannya dari perundungan yang selalu ia alami semasa SD. Sayangnya, pertemuannya dengan Jaiko hari itu, sekaligus menjadi hari terakhir mereka bertemu. Meski semasa SMP Oisin sudah...