"Jadi lo beneran mau jadi artis?" mata Sophie melotot maksimal setelah mendengarkan cerita Michika. "OMG, kenapa nggak gue aja sih? Kan gue juga mau!!!"
"Gih, gantiin gue sono! Dengan senang hati, ikhlas lahir batin gue! Asli!" Kadang Michika kesal sekaligus menyesal, kenapa ia harus bercerita tentang masalahnya pada Sophie-juga Alan. Tapi ia langsung teringat sebuah fakta menyesakkan, ia tak punya teman dekat lain selain mereka berdua.
"Elah, neng. Becanda dong kali. Lo lagi nggak asik banget deh, akhir-akhir ini. Kenapa sih? Ada apa sih, sebenernya? Mau em ya?" melihat Michika kesal, Sophie langsung mengelus-elus lengannya.
Tindakannya tentu membuat Michika makin kesal. Padahal Michika sudah cerita panjang lebar, ngalor-ngidul dan Sophie masih bertanya ada apa? "Tone deaf." Hanya dua kata itu yang keluar dari mulut Michika untuk mewakili kekesalannya.
"Ih, nggak gitu, Chik. Maksud gue tuh, ya udah, gimana lagi? Kalo udah kecebur kayak gitu, ya mau nggak mau lo harus berenang biar bisa sampe ke tepi. Lo mau terus di kolam lumpur begitu terus? Mau lo misuh kek, kesel kek, marah kek, apa kek, tetep lo udah tanda tangan kontrak, lo nggak bisa mundur. Pilihan lo cuma maju. So, nikmatin aja proses lo." Sophie mengatakannya dengan menggebu-gebu. Membuat Michika dan Alan hanya bisa melongo. Ternyata seperti itu toh, maksud Sophie.
"Gue apresiasi kata-kata panjang lo, Soph. Tapi lo minim empati. Minimal lo bisa nyampein itu dengan lebih bersimpati sama temen kita sendiri." Sindir Alan.
Sophie langsung berdecak. "Kita bukan temen yang baru kenal kemaren sore kali, Lan."
"Jangan normalisasi hal-hal yang nggak baik, Soph. Kalo lo mau menormalisasi tuh, ya normalisasi hal-hal yang baik."
"Alah, ribet amat lo, SJW."
"Lo bilang gue SJW?"
"Iya? Lo tuh SJW tau, nggak! Kebanyakan scroll X."
"Daripada scroll tiktok, sarang hoax!"
Selagi Alan dan Sophie berdebat, Michika malah diam. Diamnya Michika ini sedang memikirkan kata-kata Sophie. Benar sih, semua sudah terlanjur. Ia sudah teken kontrak dengan She-Ya. Artinya, Michika tidak bisa mundur. Kecuali kalau mau berurusan dengan lembaga hukum. Artinya lagi, Michika harus melakukannya. Mau tidak mau. Terpaksa tidak terpaksa. Tanpa sadar, Michika menyeringai. Ini semua karena keterlibatan Oisin. Jika saja cowok itu tidak ada, pasti ia tidak perlu melakukan hal yang tidak ingin ia lakukan seperti ini. Membuatnya merasa terbebani, tidak nyaman dan tidak menyenangkan.
BRAK!
"ANJAAAAAAYY!!!"
"KADAAAAL!!"
Baik Sophie maupun Alan sama-sama melonjak kaget ketika tiba-tiba Michika menggebrak meja dengan begitu keras. Kedua orang itu langsung menoleh ke arah Michika. Mereka lihat, cewek itu sudah tidak duduk di tempat duduknya. Cewek itu sudah berdiri dengan seringai yang tercetak di wajahnya.
"Chik, are you okay?" tanya Alan pelan.
*
Suara ketukan pintu kamar tidak Michika hiraukan sama sekali. Bahkan mungkin tidak ia dengar. Sekali, dua kali, sampai lima kali. Tetap pintu kamar tidak Michika buka. Sampai akhirnya si pengetuk pintu berinisiatif langsung membuka pintu kamar yang rupanya tidak terkunci. Tau tidak dikunci mah, sudah dari tadi ia buka. "Makan malem udah ready, buruan turun!" begitu kata si pembuka pintu, Mishka.
Rupanya Michika sedang sibuk di depan meja belajarnya. Laptop-nya menyala, printer yang ada di dekat laptop juga menyala dan sedang memproses cetak. Dan yang membuat Mishka heran juga kaget adalah banyaknya kertas yang berhamburan di lantai dan atas karpet kamar Michika. Ada yang masih berbentuk lembaran kertas, ada yang sudah Michika remas kemudian ia buang begitu saja di lantai kamar. Benar-benar berantakan. "Lo lagi ngabisin kertas atau mau nyumbang percepatan perusakan lapisan ozon?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Girl I Met That Day
Fiksi RemajaBagi Oisin, Jaiko sudah seperti sosok pahlawan karena telah menyelamatkannya dari perundungan yang selalu ia alami semasa SD. Sayangnya, pertemuannya dengan Jaiko hari itu, sekaligus menjadi hari terakhir mereka bertemu. Meski semasa SMP Oisin sudah...