Part 10

56 4 3
                                    

Emily's POV

Aku tersenyum puas melihat puisiku yang sudah selesai. Ternyata bakat yang kumiliki belum berkurang sedikit pun setelah tiga tahun aku tidak pernah menulis lagi. Aku merapikan kertas-kertas, alat tulis, dan membawanya masuk ke kamar karena jam sudah menunjukkan angka sembilan. Cukup lama juga aku berlama-lama di balkon.

Aku turun ke bawah dengan terburu-buru karena setengah jam yang lalu Mama sudah memperingatkanku agar tidak lupa makan. Begitu sampai di meja makan yang kosong, aku langsung mengambil nasi, cumi saus padang, dan kangkung kedalam piringku. Tak lupa juga segelas air putih disamping kiriku.

"Kamu kok baru makan, Mil?" tanya Papa sambil menutup pintu ruang kerjanya.

Aku menelan makananku, lalu membalas pertanyaan Papa, "Iya nih, Pa. Tadi aku sibuk ngerjain tugas di kamar."

"Oh gitu. Yaudah, Papa ke kamar ya!"

Aku mengangguk dan menyunggingkan senyum sekilas seraya memasukkan sesendok makanan ke dalam mulutku.

Hampir sepuluh menit berlalu, aku sudah menghabiskan makananku. Sepertinya angin malam membuat perutku jadi lebih ganas. Aku membawa piring dan gelasku ke dapur, serta mencucinya. Lalu aku merapikan bangku yang kupakai, dan naik ke lantai dua.

"Sekarang, gue atur buku deh!" seruku pada diri sendiri. Aku berjalan menuju meja belajar dan menyiapkan segala keperluanku esok hari. Tak lupa juga puisi yang sudah aku buat. Beres!

Kemudian, aku beralih ke lemari. Aku mengambil seragamku dan menggantungnya dibalik pintu kamar. Mataku menangkap sebuah jaket yang asing di lemariku. Aku sering melihatnya, tapi tidak pada lemariku. Aku baru menyadari kalau itu jaket Sammy. Sudah cukup lama aku menahannya. Waktu itu aku mencucinya di laundry, agar Mama tidak curiga.

Gue bawa besok aja deh, batinku.

-SIAS-

Pak Tomi keluar dari kelas dan membawa beberapa lukisan terbaik dari kelasku. Anak-anak mulai ribut karena guru Bahasa Indonesia-ku belum datang. Aku memanfaatkan waktu dengan berjalan menghampiri Sammy.

"Kenapa, Mil?" Sammy mendongak kearahku. Aku memberikan jaketnya yang terbungkus plastik putih. "Apaan nih?"

"Jaket lo," Sammy membuka plastik itu dan mendongak lagi, menungguku menyelesaikan kalimatku. "Waktu lo nganter gue kan lo tinggalin tuh, terus gue cuci di laundry. Baru dateng dua hari lalu, gue lupa bawa kemaren."

Sammy hanya ber-'oooh' ria. "Thanks ya!"

Sehabis aku mengucapkan 'sama-sama' aku berlalu meninggalkannya. Sekilas aku mencuri pandang ke Ditha. Benar saja, saat ini dia sedang memperhatikanku dengan tatapan meledek. Aku membalas tatapannya dengan menjulurkan lidahku.

"Lo ngapain, Mil?" Vinka mengernyit heran melihat tingkahku, sedangkan aku hanya nyengir kuda.

"Tau tuh, Ditha, gak jelas." Aku mengalihkan pandanganku dari Ditha ke Vinka. Tapi sedetik kemudian Vinka seperti ikut terjerumus virus Ditha.

"Hmmm, gue tau nih." Vinka menaik-turunkan alisnya sambil tersenyum menggodaku. Ia memiringkan kepalanya sedikit dan menatap Ditha penuh makna.

Aku menopangkan dagu. "Ih apa sih, gak usah ikut-ikutan Ditha deh, Vin."

Acara ledek-meledek yang dilakukan Ditha dan Vinka terputus karena Bu Sonya sudah memasuki kelas. "Pagi anak-anak!"

"Pagi, Bu!" balas para murid serempak.

Setelah menaruh buku dan tasnya, Bu Sonya berjalan ke tengah kelas. "Minggu lalu, kita sudah membahas tentang puisi beserta unsur-unsurnya. Ibu juga sudah memberikan tugas kepada kalian untuk membuat puisi. Sekarang, kumpulkan puisi yang sudah kalian buat. Nanti, ibu akan menukarkan puisi kalian ke teman kalian secara acak, agar setelah istirahat kalian maju ke depan untuk membacakan puisi milik teman kalian."

Sunshine in Another SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang