Part 6

62 5 0
                                    

Seusai mandi dan pakai baju, aku keluar dari kamar sambil bersenandung kecil. Mama dan Papa yang sudah ada di meja makan, tidak tahu kapan janjiannya, menengok kearahku secara bersamaan. Aku mengerutkan dahi sebentar, lalu berhenti bersenandung saat aku memilih untuk duduk bersama mereka. "Pagi! Ada yang salah hari ini?"

Mama dan Papa sekali lagi menoleh padaku bersamaan. Beberapa saat mereka hanya diam, hanya memandangi aku yang ikut kebingungan. Untungnya, Papa yang sedang memakan roti kacang miliknya, segera sadar dan membalas sapaanku. "Kamu kenapa? Kok tumben semangat amat."

"Pasti abis dianterin cowok ya tadi malem? Buktinya kemaren Mama liat kamu senyum-senyum gitu," timpal Mama seraya menaruhkan piring berisi roti coklat ke hadapanku.

Aku memilih untuk mengangkat bahu dan menggigit roti kepunyaanku, kemudian tersenyum tipis. "Kalo dianterin cowok emang kenapa, Ma? Lagian dia temen aku kok."

Sebenarnya aku sering anggap dia lebih dari sekedar teman, Ma.

Mama dan Papa saling pandang, melukiskan senyum tak biasa yang jarang aku lihat. Hingga sepersekian detik kemudian aku sadar, sepertinya topik pembicaraan ini mulai menjurus.

Aku pura-pura melirik jam tanganku . "Hmmm kayaknya Emily harus berangkat nih," ujarku setelah memasukkan potongan roti terakhir dan mengambil tas yang aku taruh di kursi sebelah. "Ayo, Pa, kita berangkat! Nanti aku telat."

Segera pergi dari situ adalah pilihan yang bagus.


-SIAS-


Suara dentuman lagu dari speaker kelasku menandakan bahwa saat ini guru Olahraga-ku sedang tidak mengajar. Guru piketku bilang, beliau sedang sakit. Jadilah selama tiga jam pelajaran kedepan, aku mendapatkan jatah free class.

Aku dan Vinka memilih untuk tetap di bangku kami. Sementara teman-teman kami sudah berpencar kemana-mana. Sebagian ke kantin, ke koridor depan, ke perpustakaan, dan ada juga yang tinggal seperti kami.

Walaupun kakiku sudah sembuh – tadi pagi sudah tidak sakit lagi – aku tidak memakainya sembarangan lagi untuk kali ini. Nanti malam aku harus menjalani gladi kotor untuk pentas esok hari. Ya, waktuku untuk tampil tinggal satu hari lagi.

Vinka yang sedang membaca novel yang ia pinjam dari anak kelas sebelah, tiba-tiba menutup novel tersebut. "Lo udah sembuh, Mil?"

"Gue rasa, udah. Gue udah nyaman pake sepatu lagi, dan ini semua karena kemaren gue ke tukang urut," balasku.

"Oh bagus deh kalo gitu!" seru Vinka sambil mengembangkan senyumnya, membuatnya bertambah cantik. "Emang lo ke tukang urut mana?" sambungnya.

"Ke –" aku berpikir sejenak, aku tidak tahu nama daerahnya. " – mana ya? Gue gak tau nama daerahnya, Vin, tapi gue tau namanya. 'Urut Mbah Ijah'," balasku semangat. Sepintas aku melihat Sammy dan teman-temannya berjalan di koridor depan, menuju ke dalam kelas.

"Loh kok bisa? Dianter Mama lo?" tanya Vinka lagi. Aku menggeleng pelan seraya menjawab pertanyaannya dengan volume yang dikecilkan, "Dianter Sammy."

Kulihat Vinka mematung sebentar, lalu menarik napas dan ber-'ooooh' ria.

"Eh iya, Vin, gue ke Ditha dulu ya!" aku pamit pada Vinka, berdiri menuju Ditha yang sibuk memainkan handphone-nya sambil menyumbat telinganya dengan earphone. "Hai, cewek!"

Ditha memalingkan wajahnya, menyadari keberadaanku, kemudian melepaskan earphone-nya. "Hai juga! Ada curhat apa hari ini, hm? Gimana jalan-jalannya kemaren?" tanya Ditha dengan sedikit penekanan pada kata 'jalan-jalan'.

Sunshine in Another SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang