Di tengah perjalanan pulang dari rumah Pak Rahman, air mata Ayah Rama tidak bisa ditahan lagi. Ia menyetir dengan hati yang hancur, sesekali mengusap air matanya yang terus mengalir. Perjalanan yang biasanya terasa singkat, kini terasa begitu panjang dan menyiksa.
Sejak tadi, pikirannya terus tertuju pada percakapannya dengan Rama. Anak laki-lakinya, yang selama ini menjadi kebanggaannya, kini telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang penuh dengan rahasia dan kekecewaan. Rama menolak untuk kembali ke rumah, menolak untuk kembali hidup dan tinggal bersama orang tuanya.
Sesampainya di rumah, Ayah Rama langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa, memejamkan mata rapat-rapat. Ingatannya melayang pada masa lalu, saat Rama masih kecil dan selalu ceria. Dulu, mereka sering menghabiskan waktu bersama, bermain di taman, atau sekadar berbincang sambil menikmati secangkir teh hangat.
Dengan berat hati, Ayah Rama bangkit dari sofa dan menuju ke kamar. Didalam kamar, ia menemukan istrinya sedang duduk di tepi ranjang, sambil membaca buku. Melihat suaminya masuk, istrinya langsung meletakkan buku dan menatapnya dengan khawatir.
"Ada apa, Mas? Wajah kamu terlihat sangat sedih," tanya Ibu Rama lembut pada suaminya.
Ayah Rama menghela napas panjang. "Rama, dia tidak mau pulang, Sayang."
Ibu Rama tertegun mendengarnya. "Maksudnya?"
Ayah Rama menceritakan semua yang terjadi saat ia mengunjungi rumah Pak Rahman. Ia menceritakan tentang penolakan Rama yang membuat hatinya hancur.
"Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku merasa telah gagal sebagai seorang ayah," ucap Ayah Rama dengan suara bergetar.
Ibu Rama memeluk suaminya erat. "Jangan berkata seperti itu, Mas. Kita semua pernah membuat kesalahan. Yang penting kita berusaha untuk memperbaiki semuanya. Ini juga karena kesalahanku yang terlalu keras pada Rama."
Mereka berdua terdiam beberapa saat, sama-sama larut dalam kesedihan. Namun, di tengah kesedihan itu, ada secercah harapan. Mereka berdua sepakat untuk tidak menyerah dan terus berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan Rama.
"Aisyah mungkin bisa membantu kita," ujar Ibu Rama, matanya berbinar. "Dia sangat dekat dengan Rama. Mungkin dia bisa membujuknya untuk kembali."
Ayah Rama mengangguk setuju. "Kau benar, Sayang. Kita akan coba hubungi Aisyah besok."
Keesokan harinya, Ayah Rama mencoba menghubungi Aisyah. Dengan hati yang cemas, ia menceritakan tentang penolakan Rama untuk pulang ke rumah. Aisyah mendengarkan dengan saksama. Ia mengerti betapa sulitnya situasi yang dihadapi oleh Ayah dan Ibunya Rama.
"Om, tidak perlu khawatir. Saya akan mencoba yang terbaik untuk membujuk Rama," ujar Aisyah di seberang sana.
"Apa kamu yakin, kamu bisa melakukannya?"
"Saya tidak yakin, tapi saya bisa mencobanya terlebih dahulu."
"Baiklah, Nak. Kabari om jika terjadi sesuatu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapan Aku Bisa Menjadi Diriku Sendiri? [On Going]
Teen FictionRama, seorang pria muda, terjebak dalam kehidupan yang penuh dengan kontrol dan tekanan dari orang tuanya. Sejak kecil, setiap langkahnya diatur dan didikte, tanpa ruang untuk mengekspresikan diri atau mengejar mimpinya. Rama merasa terkungkung dan...