"Rama, apa tadi kamu bisa merasakan seberapa bahagianya hidup jika kita hanya peduli pada diri sendiri?"
Rama terdiam sejenak, merenung. "Tidak," jawabnya pelan. "Karena aku hidup untuk orang lain bukan untuk diriku sendiri."
~~~~~
Di usianya yang b...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dengan langkah kaki yang berat, Rama masuk ke dalam kamarnya. Ia duduk di tepi kasur, menatap keluar jendela. Lampu jalan menerangi sebagian ruangan, menciptakan suasana yang sedikit redup. Pikiran Rama melayang kembali ke percakapannya dengan Aisyah tadi. Ia teringat betapa bahagianya Aisyah memiliki orang tua yang sangat menyayanginya.
"Aku iri pada Aisyah," gumam Rama lirih. "Aku ingin merasakan kasih sayang seorang ibu seperti yang dirasakan Aisyah."
Rama teringat kembali pada perlakuan orang tuanya yang sering membuatnya merasa kecil hati. Ia merasa seperti robot yang harus selalu sempurna dan menuruti semua perintah mereka. Ingatan itu membuat hatinya terasa sakit.
"Haruskah aku kembali ke rumah dan meminta maaf pada orang tuaku?" batin Rama bertanya-tanya. "Tapi, aku takut mereka akan memperlakukanku seperti dulu lagi."
Di satu sisi, Rama sangat merindukan orang tuanya. Ia ingin sekali merasakan kehangatan keluarga lagi. Namun, di sisi lain, ia takut untuk kembali ke rumah karena takut akan terluka lagi.
Rama merasa bimbang. Ia benar-benar bingung harus memilih jalan mana. Apakah ia harus tetap tinggal di rumah Pak Rahman dan berusaha melupakan orang tuanya? Atau haruskah ia kembali ke rumah dan mencoba memperbaiki hubungan dengan mereka?
Malam semakin larut. Rama masih terus berkelahi dengan pikiran-pikiran yang saling bertentangan. Ia berharap ada keajaiban yang bisa menyelesaikan masalahnya.
Mata Rama tertuju pada langit malam yang penuh bintang. Cahaya bulan memantul lembut di permukaan air kolam di depan rumah tetangga Pak Rahman. Pandangannya terhenti pada satu bintang yang paling terang. Cahayanya berkelap-kelip, seolah-olah sedang tersenyum padanya. Rama terpesona. Bintang itu bagaikan sebuah pelita kecil di tengah kegelapan malam, memberikan harapan dan semangat.
"Bintang itu terlihat seperti Ibu," gumam Rama. "Selalu bersinar dan memberikan cahaya untukku."
Bayangan Ibunya perlahan muncul di benaknya. Wajah lembut Ibunya, senyum hangat yang selalu menghiburnya, dan pelukan erat yang membuatnya merasa aman. Air mata mulai menetes di pipinya.
"Maaf, Bu. Rama sudah membuat Ibu sedih," ucapnya lirih. "Rama janji akan menjadi anak yang baik."
Rama terus menatap bintang itu, seolah-olah sedang berbicara dengan Ibunya. Ia mencurahkan semua isi hatinya, rasa rindu, penyesalan, dan harapan. Dalam kesunyian malam, hanya suara tangisnya yang memecah keheningan.
Sejenak, Rama merasa lebih tenang. Ia menyadari bahwa meskipun hubungannya dengan orang tuanya pernah retak, namun kasih sayang seorang ibu tidak akan pernah padam. Ia harus berusaha untuk memperbaiki hubungannya dengan orang tuanya.
Dengan tekad yang bulat, Rama kembali ke tempat tidur. Ia berdoa agar besok menjadi hari yang lebih baik. Ia akan mencoba berbicara dengan Pak Rahman dan istrinya tentang keinginannya untuk kembali ke rumah.