PROLOG

66 3 0
                                    

Di dalam gedung berumur puluhan tahun itu, Universitas Nusantara Wiyata Mandala, sebuah Universitas swasta dan tak kalah terkenal serta elitnya menjadi pertemuan pertama mereka berjumpa.  Mereka pun hari ini tengah berkumpul di salah satu asrama mereka, menjadikan tempat itu sebagai ruang diskusi. Terlihat sederhana dan nyaman, tak dapat dipungkiri jika setiap sudut asrama itu mengingatkan mereka akan impian dan perjuangan mereka masing-masing.

Asrama yang nyaman, aman, dan sederhana. Selalu menjadi tempat segala macam kegiatan mereka seperti ruang diskusi misalnya, atau ruang interogasi jikalau salah satu dari mereka melakukan kesalahan, tempat yang menjadi ruang makan jika uang di dompet kian menipis—gini-gini mereka tahu apa itu miskin, terlebih lagi menjadikan asrama itu sebagai tempat kumpulnya mereka.

Kalau yang lain nongkrong bareng-bareng di warung atau cafe yang elit, berbeda dengan mereka-mereka ini yang menjadikan asrama atau taman kampus misalnya sebagai tepar berkumpul.

Ini bukan kisah tiga belas remaja saja, namun bagaimana mereka mengejar impian dan harapan mereka. Mereka menyebut diri mereka sendiri selayaknya keluarga, sebuah tempat rumah yang dikatakan tempat untuk pulang.

Rian, selalu ketua dan kepala keluarga dan paling tua, ditemani kedua sahabat kecilnya, Galan dan Desta yang mengubah pola pikirnya yang keras dan emosi menjadikan Rian sebagai pribadi yang lembut dan penyabar.

“Ini jadi pada diskusi nggak sih? Kalau nggak, gue pergi nih.” Ujar Galan hendak berdiri dan... Duk!

“Duduk!” Seru keduanya, dan begitulah Galan yang harus meratapi nasibnya, ia benar-benar tak bisa meninggalkan ruang diskusi ini.

Selain mereka, ada pula Sekumpulan keempat anak mahasiswa lain, ada Devan, Vandra, Nalendra dan Rizky. Kini keempatnya tengah berdiskusi mengenai rumor yang beredar tak jelas setiap fakultas mereka.

“Memangnya ada hantu di fakultas lo? Ehh, bener sih, orang fakultas lo dokter ya, Bang.” Kata Vandra bergidik ngeri, namun tak lama kepalanya dihantam bantal. Bugh! “Ck, mana ada hantu, bego!”

“Ihh, Bang Rizky ngeluarin kata-kata mutiara tuh, Kak!” Seru Sagara yang tengah bermain ps bersama kedua kawannya, Athar dan Alvan yang seketika keduanya berpura-pura tak tahu.

“Bang Sagara ternyata punya nyali juga ya—EHH, BANGS—HUMPPH!” Bukan Ivan namanya kalau ikut campur urusan orang lain, untung saja Yara dan Najoan sigap menutup mulut, menjauhkan hal-hal yang tidak diinginkan oleh mereka.

“Rizky, Ivan, kalian tuh—”

“Forum diskusi, forum diskusi, yok dimulai yok!” Seru Galan menginterupsi Rian, tak tahu saja jika Galan sedang melihatnya dengan tatapan terkesan tajam.

“Yaudah ayuk, gaskeun!”

Saat mereka berbagi waktu dan cerita, tak terasa canda dan tawa pun keluar. Meskipun mereka bukan keluarga, namun bagaikan tali yang saling erat terhubung itu tak akan pernah terbelit. Mungkin belum saatnya, mereka tak akan tahu bagaimana kedepannya nanti. Tapi, satu hal yang pasti: mereka akan selalu menyebut mereka keluarga, selalu tetap bersama apapun masalahnya.

 Tapi, satu hal yang pasti: mereka akan selalu menyebut mereka keluarga, selalu tetap bersama apapun masalahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

WELCOME TO OUR LIFE STORY!
- TIGA BELAS HARAPAN -

"Berbeda-beda tapi tetap satu, meskipun kita bukan sedarah kita saudara. Kalau ada yang pergi, kita juga ikut. Halo, kita tongkrongan anak-anak spesial limited edition!"
*sstt, kalau kata Kak Devan sih, 1+1

Tiga Belas Harapan (Dirombak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang