Pagi hari tentu saja suasananya berbeda dari siang hari, sore hari, apalagi malam hari. Tentu semuanya mempunyai suasana mereka tersendiri.
Joan pagi hari ini bangun lebih awal dari hari sebelumnya, dengan dirinya yang sudah membawa dua atau tiga tumpukan buku yang sudah bertumpuk rapih di meja belajar kamarnya. Dengan beberapa buku catatan, dan alat tulisnya, Joan sedang mempelajari sesuatu saat ini dengan suasana pagi yang tenang.
Kemarin adalah hari di mana ia disibukkan dengan persiapan acara. Dan ia pun tidak sempat untuk belajar sedikitpun, hanya mengurus ini dan itu, sampai membuatnya pusing. Bukan, tentu Rian yang lebih pusing darinya.
Tok.. Tok.. Tok...
Atensi Joan tertuju pada suara ketukan pintu kamarnya. Dia beranjak menuju pintu, dan tangannya memegang kenop pintu itu, lalu membukanya. Dia tersenyum sesaat tahu siapa yang mengetuk pintu kamarnya.
"Jo, gue mau ngomong sesuatu sama lo." Itu Galan, dengan raut wajah yang sangat berbeda dari biasanya. Joan mengetahui itu, dia mempersilahkan temannya itu masuk dan ia duduk di kursi belajarnya, sementara Galan duduk di pinggir ranjangnya.
"Mau ngomongin apa?" Kata Joan membuka percakapan pertama mereka. Dua tangan Joan ia satukan, lalu kepalanya bertumpu pada kedua tangannya itu.
Galan yang tadi menunduk langsung mendongak dengan tangannya mengeluarkan sebuah kertas kecil yang dilipat di saku bajunya. Ia membuka surat tersebut, lalu memberikannya padanya.
Joan yang disodorkan kertas itu langsung mengambil dan membacanya. Saat selesai membacanya, Joan tersenyum kecil, entah kenapa ingin saja ia tersenyum sesaat membaca isi surat ini.
"Gal ... Intinya kamu maunya gimana?"
"Ya gitu. Gue pengin kayak dulu lagi."
"Ya gapapa sih. Cuma gue takut, nanti kayak dulu lagi masalahnya. Udah tahu kan, resikonya gimana?"
Galan mengangguk mantap. "Agak konyol nggak sih? Kita bahas kayak beginian, padahal gue bisa ngurusin sendiri padahal."
Joan menggeleng, ia pun membantahnya. "Nggak Gal, kamu nggak konyol. Tiap orang memang punya masalahnya sendiri, dan terkadang butuh bantuan orang lain. Intinya, pilihan ada di tangan kamu sendiri. Mau di perbaiki atau nggak, terserah kamu."
"Ck, kayak apa aja ini, yah. Saudara gue sendiri malah di pikirin begini."
"Tapi, Kakakmu bukannya ada di luar negri, yah?"
"Memang, tapi ortu gue tuh terlalu 'posesif' sama Kakak gue. Gue kadang di perhatikan-nggak juga sih, malah nggak diperhatikan, kayak nggak dianggap."
"Jangan kayak gitu, omongannya terkabul gimana?!" Seru Joan, tangannya menepuk pelan pada bahu Galan yang tengah tertawa.
"Memang udah terkabul dari dulu, itupun tanpa do'a dan sudah dikehendaki Tuhan Yang Maha Kuasa." Kata Galan berhenti sejenak. "Intinya sih, gue udah dikasih nasib dan cobaan begini. Gue tinggal menjalani apa yang sudah seharusnya gue jalani."
Joan mengangguk, tangannya ia ulurkan untuk mengusap pelan punggung kawannya itu. Dia sangat tahu Galan, dan Galan adalah seorang teman sedari kecilnya yang selalu ada untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga Belas Harapan (Dirombak)
Ficção AdolescenteInilah kisah mereka, kisah tiga belas pemuda laki-laki yang berusaha mewujudkan mimpi dan harapan mereka. Tak hanya sebuah harapan yang diperjuangkan, namun juga mereka menemukan pertemanan dan kekeluargaan. Kisah ini bukan hanya menceritakan harapa...