Malam pun tiba. Seorang lelaki berkacamata dengan hoodie hitamnya itu tengah duduk sendirian di bangku halaman belakang asramanya.
Banyak sekali yang dia pikirkan malam ini. Sampai-sampai, dia hampir merasa bahwa dirinya itu gila.
Tapi, kembali lagi kepada kenyataannya. Tatapannya masih terus melihat layar ponselnya yang tertera sebuah nomor ponsel seseorang. Bergambar foto profil yang berwarna hitam yang masih bisa terlihat jelas bahwa ada seorang bocah laki-laki yang tengah berpose bersama ketiga orang lainnya dalam foto tersebut.
Dia menundukkan kepalanya. Kali ini, tatapannya telah beralih ke bawah—tanah yang sedang dia injak saat ini.
Tanahnya becek, tentu saja, baru saja hujan baru mereda dan sangat pas sekali untuknya 'tuk mencari udara segar disekitar belakang asrama.
Tercium bau tanah yang basah... Dia suka itu. Karena menciumnya aromanya saja membuat isi kepalanya yang semula membuatnya stress, kini menjadi tenang.
“Bang! Bang Nalendra!”
Seseorang menyerukan namanya. Dilihatnya sosok yang tadi Ia panggil beberapa menit yang lalu itu—Astra, sepupunya yang langsung saja mendudukan diri tanpa permisi di sebelah Nalendra yang tengah melihatnya dengan sendu.
“Kenapa lo dateng kesini?”
“Loh, kan, Bang Nalen tadi yang nyuruh aku—”
“Siapa suruh? Gue cuma bilang kalau Putra lagi ada di rumah sakit. Gue nggak ada bilang gue nyuruh lo kesini, tuh.” Ujar Nalendra ditatap semakin bingung oleh Astra sendiri.
“Memangnya iya? Beneran?” Tanya Astra entah bertanya kepada dirinya sendiri atau kepada Nalendra. Intinya, itu membuat Nalendra tersenyum lembut padanya dan mengusak rambut Astra tiba-tiba.
Membuat sang empu menoleh kearah Nalendra. Menatapnya dengan penuh tanda tanya.
“Astra... Lo besok mau jenguk Putra?”
Astra yang mendengar itu tentu saja mengangguk dengan semangat. Sungguh, dia sangat merindukan sosok abangnya yang satu itu meskipun akhir-akhir ini mereka jarang sekali bertemu.
“Sama siapa aja?” Tanya Astra.
“Belum tahu. Berharap aja sama Bang Rian. Dia kan, yang nentuin. Tapi kalau lo mengajukan diri sih... Kira-kira dibolehin tuh.”
Astra mengangguk mendengarnya. Dia mulai berdiri, begitu juga dengan Nalendra yang ikutan berdiri.
“Udah malem, gue mau ke kamar aja sekarang.” Kata Nalendra saat ditatap bingung sama Astra. Menurut Astra sih, si Nalendra ini dikiranya mau ikut Astra, nyatanya nggak.
Nalendra melenggang pergi, meninggalkan Astra seorang diri tengah berjalan menuju gedung yang isinya itu banyak sekali orang-orang yang masih berada di dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga Belas Harapan (Dirombak)
Fiksi RemajaInilah kisah mereka, kisah tiga belas pemuda laki-laki yang berusaha mewujudkan mimpi dan harapan mereka. Tak hanya sebuah harapan yang diperjuangkan, namun juga mereka menemukan pertemanan dan kekeluargaan. Kisah ini bukan hanya menceritakan harapa...