Semakin kesini semakin sibuk. Memang sesibuk itu, sampai nggak bisa istirahat cukup sih, katanya. Gimana bisa dibilang istirahat coba?
Lihat tuh, banyak tugas yang bertumpuk, tugas kelompok yang di mana harus presentasi kemudian, terus ada ujian dadakan-kalau dadakan ya nggak usah bilang-tapi gurunya bilang disuruh belajar. Masih bisa dikatakan ujian ya kalau dadakan memangnya?
"Ju, main yuk!" seru Joyun, sepupu aku yang... Ya rada aneh gitu. Temen deketnya Kio, tapi sayangnya beda tingkat. Dia yang sekarang kelas 12, sementara Kio masih kelas 11.
Bisa dibilang aku sekarang kelas 12 karena terlalu cepat masuk sekolah, mungkin saja karena aku lompat kelas-akselerasi-sementara Joyun sendiri ya karena sesuai umurnya itu.
Hahaha, jelas-jelas bisa kejadian kayak begini, 'kan?
"Nggak, aku mau belajar aja. Besok ujian."
"Belajarnya nanti aja, kan besok cuma 2 mapel."
"Tetep aja. Dengan segala cara apapun yang kamu kasih, aku nggak mau menerimanya, paham? Sudah sana, main sendiri saja, jangan mengganggu!"
"Yasudah kalau begitu. Aku pergi dul ya? Selamat bersenang-senang belajarnya." kata Joyun yang mengelus kepalaku dan sekilas mencium rambutku... Untung saja tidak ada siapapun, syukurlah. Toh suasana juga sedang tidak terlalu ramai seperti biasanya.
Setelah Joyun pergi, aku langsung kembali membaca sebuah buku novel yang di mana itu adalah kisah fiksi dengan genre fantasi. Awalnya aku suka dengan kisah komiknya yang berada di ponsel, namun rupanya, ada seorang pembaca yang bilang kalau kisah itu awalnya dari buku novel. Maka dari itu, aku memutuskan untuk membaca novelnya terlebih dahulu.
Setiap kata dalam bukunya membuat kisahnya semakin seru, terlebih lagi bagaimana saat sedang membac, aku bisa membayangkan beberapa momennya.
Contohnya saat sang tokoh utama sedang memecahkan masalah bersama tokoh-tokoh lain, lalu saat di mana tokoh utama membuat pilihan yang menurutku berada di luar perkiraan para pembaca sepertiku, atau mungkin saja tokoh figuran nya juga ikutan terkejut dengan pilihannya.
Saat akan mau membaca halaman selanjutnya, tiba-tiba saja Angga datang dan menggebrak kan meja di hadapanku, membuat sang penjaga perpustakaan mengerutkan dahi dan jari telunjuknya di depan mulutnya, mengisyaratkan untuk diam dan jangan berisik.
"Ada apa denganmu, sih?"
"Kau tahu hari ini hari apa?"
"Aku tahu. Lalu? Ada urusan apa kau datang kemari? Kau tahu kalau aku sedang belajar sekarang di sini, 'kan?"
"Ini lagi libur, bodoh! Kenapa kau belajar saja?!"
"Anak muda, jangan berteriak di dalam perpustakaan, ya!"
Angga mulai terdiam karena seruan dari penjaga perpustakaan tadi. Wajahnya nampak kesal, tapi lebih kesalnya lagi, dia menarikku dan meninggalkan beberapa tumpukkan buku yang barusan kubaca tanpa dibereskan terlebih dahulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga Belas Harapan (Dirombak)
Fiksi RemajaInilah kisah mereka, kisah tiga belas pemuda laki-laki yang berusaha mewujudkan mimpi dan harapan mereka. Tak hanya sebuah harapan yang diperjuangkan, namun juga mereka menemukan pertemanan dan kekeluargaan. Kisah ini bukan hanya menceritakan harapa...