Chapter 30: Kisah Kita Bertiga

191 12 5
                                    

Rian Pov

Dari kecil gue memang selalu sendirian. Iya, merasakan sendirian gitu. Meskipun memiliki keluarga yang harmonis dan jauh dari kata sebaliknya. Sejujurnya, gue selalu merasa sendirian. Kalau kata orang, gue itu harusnya bersyukur karena hidup gue yang selalu serba cukup, bahkan lebih dari cukup. Kata orang, orangtua gue sesayang itu sama anak-anaknya. Gue yang punya adik perempuan, hidup di keluarga yang harmonis, dan nggak perlu takut yang namanya jatuh miskin.

Dan dari situ, katahkata orang juga termasuk omongan temen-temen gue, gue itu termasuk manusia paling beruntung. Dan itulah kenapa gue kadang dipanggil si anak paling beruntung.

Mungkin disini gue akan menceritakan sedikit kisah masa kecil gue. Karena tanpa penjelasan awal, kayaknya nggak akan ada yang tahu asal-usulnya terjadi sebuah peristiwa.

Dahulu kala, waktu gue masih kecil dulu, gue punya teman banyak banget. Tapi, semua teman-teman gue itu nggak ada yang deket banget sama gue. Kita tuh cuma sebatas teman satu kelas dan akrab karena tugas kelompok dan lain sebagainya.

Terkadang gue sering iri sama temen-temen gue sendiri yang kemanapun pergi pasti barengan sama temennya. Bahas sesuatu yang lucu gitu, sampai ketawa bareng-bareng. Apalagi, mereka itu kelihatan banget kalau mereka berteman. So loyalty.

Kalau gue? Jangan ditanya. Seorang anak kecil seperti gue ini mana punya temen yang begituan. Malah dengan bodohnya gue berharap lebih dan selalu berdo'a kepada Tuhan kalau bolehkah seorang Hamba ini bisa merasakan hal yang sama seperti apa yang gue lihat di temen-temen gue?

Dan tanpa sengaja, kayaknya do'a gue terkabul meskipun itu membutuhkan waktu yang sangat lama.

Gue nggak sengaja ketemu dua bocah yang jarang banget gue lihat di deket rumah. Mereka lagi duduk bareng di bangku taman.

Satunya lagu nangis, dan satunya lagi nenangin yang lagi nangis itu.

“Eh, kamu Rian, 'kan?! Bantu aku dong!” Seru seorang anak yang di taman bermain itu. Iya, yang lagi nenangin temennya yang lagi nangis itu.

Gue segera mendekat. Gue heran sama mereka berdua, apalagi si anak satu ini yang tahu nama gue. Dia tahu dari mana, ya?

“Halo, Rian. Aku Joan, salam kenal. Pasti kamu heran kenapa aku tahu namamu, 'kan? Ibu kamu seorang dosen, 'kan?”

Terkejut? Jelas lah gue kaget Tapi gue pengin tahu anak ini dapet informasi begituan dari mana. Soalnya Ibu gue jarang di rumah.

“Kamu tahu dari mana? Eh, Joan, ya? Aku Rian, salam kenal,” jawab gue membuat dia tertawa sedangkan teman di sebelahnya udah nggak nangis dan memperhatikan percakapan antara gue dan bocah di depan gue ini yang bernama Joan.

“Jo-joan tahu dari mana? Aku belum pernah ketemu sama Joan, apalagi aku nggak tahu rumah kamu dimana.”

“Iya. Kamu memang nggak tahu. Aku jarang pulang ke rumah, dan sekarang aku baru sempet pulang, hehehe. Oiya, ini yang disebelahku namanya Galan.”

“Gal, kenalan dulu tuh sama Rian.”

Bocah di sebelahnya namanya Galan. Gue pernah lihat anak ini sebelumnya. Dia jarang keluar rumah, jarang main sama anak-anak tetangga lain. Terus juga gue nggak pernah ngobrol atau kepapasan sama dia.

“Galan. S-salam kenal.”

“Salam kenal, Galan. Kenapa kamu nangis? Kamu ada masalah? Boleh aku bantu kamu? Mau, ya?”

Galan tiba-tiba aja langsung meluk Joan. Kenceng banget pelukannya. Sampai Joan sendiri hampir kehabisan nafas.

“Maaf ya, Rian. Tapi aku pengin banget kalian berdua tuh berteman,” Joan berkata.

Tiga Belas Harapan (Dirombak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang