Brengsek! Dia kira dia siapa?!
Yah, dia memang pacarnya untuk sekarang, tapi kalian kira aku bakal mengakuinya?
Setelah kata-kata Randi, Fei membeku di tempat, lalu Randi beranjak pergi dari tempatnya setelah berpamitan. Aih, ternyata Fei memikirkanku ya? Saat kurasa itu adalah waktu yang tepat untuk meminta maaf dan memanasi-manasinya tentang tadi, aku beranjak dari semak-semak yang gatal dan pergi kearah Fei.
"Jadi, lo mau ikutin aturan main dia?" Fei melihatku dengan tatapan kaget, jelaslah, apa ada orang yang tidak kaget melihat orang yang membuatnya kesal tiba-tiba ada didepan matanya?
"Ngapain lo kesini?" Sadis. Dari nadanya aja udah kedengeran ngusir.
"Yah, tadinya gue mau minta maaf ke lo. Eh, taunya malah ngeliat perintah 'pacar' lo itu." Kataku sambil mengutip kata 'pacar' dengan tanganku sambil menampilkan muka sesantai mungkin.
"Ya.. Kalo soal itu gue juga belom tau, Ru," awe, jadi inget waktu kecil Fei sering memanggilku 'RuRu' dan aku memanggilnya 'Arra'. Aih, masa kecil yang begitu sederhana. Waktu gue kecil, kalo terjatuh, cuman kaki dan lutut yang terluka. Bukan hati.
"Randi suka mandi?"
"Hah? Gue gatau." Muka Fei yang bingung membuatku tersenyum tipis,
"Tanya gih, pokoknya jangan mau pacaran sama orang jarang mandi. Badan aja ga keurus, apalagi lo?" Kataku tertawa, yang dibalas senyuman menantang oleh Fei
"Kalo jagain bulpen lo aja bisa ilang, gimana lo bisa jagain perasaan cewek?" Sial.
"Ya, ya. Sempurna, Princess Arra." Sahutku geli yang dibalas senyuman manis nan cantik oleh Fei. Mampus, hati gue meleleh kayak mentega.
Buru-buru aku mengganti topik sebelum wajah meronaku terpapar jelas didepan muka Fei, "lo tau 'kan, balikan sama mantan itu sama aja baca buku dua kali? Endingnya pun bakal sama."
"Iya kok, tau. Tapi kadang kita juga sering buka buku lagi untuk baca ulang, kan?" Aku menghela nafas, kenapa Fei keras kepala banget sih?
"Iya, semua orang layak mendapatkan kesempatan kedua, tapi tidak untuk kesalahan yang sama." Balasku penuh percaya diri. Ternyata aku jago juga.
"Jadi, lo mau ikutin perintah dia atau ikutin perintah gue?" Ucapku lagi yang dibalas dengan tatapan bingung oleh Fei. Huh, payah!
"Gue.. Gue gatau Ru. Gue masih gatau yang bener yang mana." Astaga Fei, yang benar itu ada di hadapanmu! Tepat di hadapanmu! Eh, tunggu, kenapa aku merasa paling benar? Apa karena hasrat cemburu? Agh.. Aku tidak tahu lagi.
"Gue.. Ngerasa lo terlalu kayak bokap gue. Overprotektif banget, Ru. Masa karena lo benci sama Randi sampe segitunya ga ngebolehin gue balikan sama dia? Kita kan cuman--"
"Cukup!" Teriakku sekencang mungkin sampai tukang es krim yang berjualan di sekeliling sekolah celingak-celinguk
"Cukup Fei! Lo gangerti apa yang berusaha gue lakuin selama ini? Mungkin gue bodoh berharap sesuatu yang lebih dari hubungan kita. Dan lo bodoh ngarepin dia! Dan, gue gasuka sama hubungan lo sama Randi itu karena gue gamau sahabat gue sendiri disakitin sama cowo brengsek! Mana kekuatan firasat lo itu yang lo bangga-banggain? Udah gapunya lagi? Dan, asal lo tau, lo bukan selera gue! Gue emang tukang bercanda, tapi perasaan gue ga sebercanda itu!" Fei hanya terbelakak dengan semua pernyataan ku barusan. Walau setengahnya adalah kebohongan belaka. Aku merasa bersalah mengatakan sesuatu yang menyakitkan diriku sendiri.
Aku memperhatikan Fei yang membeku di hadapanku bagai malin kundang yang sudah menjadi batu karena durhaka terhadap ibunya, bedanya, akulah yang mengutuknya jadi batu. "dan, gue cuman mau lo tau, bertahan dengan seseorang yang hatinya sudah dimiliki orang lain itu susah dan sangat menyakitkan." Aku menaikkan ponco dan pergi menjauhi Fei yang masih menjelma sebagai batu, hatiku terasa teriris setiap melangkah jauh darinya. Tapi aku juga tidak bisa jujur. Dan kalau aku jujur, aku yakin akan ditolak. Agh, kenapa susah sekali untuk berbicara jujur sih?
Terkadang, kita disalahkan hanya karena terlalu sayang.
Ugh, lama-lama aku akan menangis dikamar sambil menyetel lagu Serba salahnya Raisa deh.
Setelah melewati taman, aku berjalan-jalan tanpa arah sampai akhirnya berada di parkiran. Astaga, penampilanku seperti pengedar narkoba. Pantas daritadi orang lalu lalang memerhatikanku dengan tatapan aneh.
Segera ku turunkan ponco dan berjalan kearah rumahku yang letaknya tak jauh dari situ.
Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri; apa yang menyebabkan Fei sangat mencintai orang itu? Kenapa bukan aku yang selalu ada disampingnya selama ini? Yah, mungkin tidak selalu disampingnya, tapi yang pasti aku yakin perasaanku pada dia tulus. Sedangkan Randi? Aku tidak yakin dia mencintai Fei setulus aku mencintai dia. Lalu apa hubunganku dengan Fei? {hanya}Sahabat? Friendzone? HTS? Agh, adaapa dengan aku? Semacam tidak memiliki namun takut kehilangan, semacam tak punya status namun merasakan kecemburuan. Aduh, harusnya aku menghantam Fei dengan kalimat "ada saatnya lo akan berpikir bahwa dia bukanlah orang yang pantas dipertahankan." Kenapa aku malah mengucapkan tanda-tanda cemburu?
"Ah, sial."
Jujur, daripada kena friendzone aku lebih suka minum mizone.
Setelah masuk kedalam rumah dan menaruh sepatu di rak, aku beranjak kearah kamar yang berada di lantai 2 dan menjatuhkan badanku cuma-cuma ke tempat tidur yang empuk, dan mengucapkan kata-kata dalam hati yang tulus dan berkobar-kobar.
"Mungkin untuk saat ini gue emang belom ditakdirin sama lo, tapi gue yakin selama apapun gue nunggu lo, gue bakal dapetin lo! Pasti!"
-----------------------------
Nanti di chapter 22 povnya Randi yaa!
Mohon maaf sebesar-besarnya kalo ini gaasik hehe
Baii
❀❀❀❀
Jangan cari pasangan berdasarkan apa yang lo mau, tapi yang lo butuh. Lo bisa bosen sama yang lo mau, tapi lo gabisa lepas dari kebutuhan.
-shitlicious
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect crime
Teen Fictionsalah siapa, Aku yang mudah jatuh cinta, atau kamu yang membuatku jatuh terluka?