3

23 6 2
                                    

Keesokan harinya, di akhir pekan yang cerah, Hailey bangun dengan semangat yang berlipat. Hari ini adalah hari yang ia nanti-nantikan—hari di mana ia akan bertemu dengan Noah. Dengan senyum yang tak henti-hentinya, Hailey bersiap-siap di kamar, memulai rutinitas paginya sambil sesekali menari-nari dengan penuh keceriaan.

Sambil menggosok gigi, ia berputar ke sana kemari mencari pakaian yang tepat, dan sesekali berhenti di depan cermin untuk mencoba berbagai wig yang telah ia siapkan. Satu per satu ia kenakan, berusaha memilih mana yang paling cocok untuk membuatnya tampil percaya diri di depan Noah. Baginya, hari ini istimewa—ia ingin terlihat sebaik mungkin.

Namun, di tengah-tengah keceriaannya, ia mulai merasakan batuk yang cukup mengganggu. Beberapa kali batuk itu semakin keras hingga membuatnya sedikit terhuyung, bahkan sempat muntah karena kondisinya yang melemah.

Sesaat ia menatap bayangannya di cermin, merasa khawatir dengan tubuhnya yang kerap kali menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Tetapi senyumnya tak luntur begitu saja. Ia menenangkan dirinya, berkata dalam hati bahwa ini hanya efek sampingan yang harus ia lalui.

Dengan tekad yang kuat, Hailey mengabaikan rasa khawatirnya. Bagi dirinya, kesempatan bertemu Noah ini lebih penting daripada rasa sakit yang kadang datang menyerang.

Setelah meyakinkan dirinya untuk tetap kuat, ia akhirnya memilih wig yang paling ia suka, lalu menyisirnya perlahan. Pandangan matanya penuh harapan, seolah semua rasa sakit itu sepadan demi momen indah yang mungkin akan terjadi hari ini.

Hailey akhirnya keluar dari kamarnya, dan langsung disambut oleh kehebohan khas pagi hari di rumahnya. Ayahnya sibuk menyiapkan diri untuk janji temu dengan seorang teman, adiknya bergegas dengan rencana pribadinya, dan ibunya sibuk mengurus jadwal untuk mengantar kucing peliharaan mereka ke dokter hewan.

Di meja makan, suasana ramai dengan percakapan dan aktivitas masing-masing. Namun, di tengah riuh suara mereka, batuk Hailey terdengar berulang-ulang, semakin lama semakin parah.

Awalnya, keluarganya menganggapnya biasa saja, tetapi batuk yang makin berat itu akhirnya menarik perhatian ibunya. Sang ibu, yang mulai merasa khawatir, membatalkan rencananya mengantar kucing dan mendekati Hailey dengan ekspresi cemas.

"Hailey, ayo, kita ke rumah sakit sekarang," ajak ibunya tegas, sambil memberikan tongkatnya.

Hailey terdiam sejenak, menatap ibunya dengan mata memohon. "Tak bisakah kita pergi setelah aku selesai piknik, Bu?" tanyanya, suaranya penuh harap.

"Tidak, tidak bisa," jawab sang ibu, menolak dengan tegas.

Hailey mencoba membujuk, "Ibu, tolong... ini hanya sekali. Aku benar-benar ingin pergi."

"Hailey, jangan berdebat," sahut sang ibu dengan nada tak bisa ditawar lagi.

"Bu, ini tidak serius. Aku baik-baik saja. Aku sungguh tidak apa-apa," Hailey bersikeras, masih berusaha meyakinkan ibunya.

Namun, ibunya sudah bulat dengan keputusannya. "Hentikan, Hailey. Kita ke rumah sakit sekarang." Wajah ibunya menunjukkan tekad yang kuat, membuat Hailey tahu bahwa tak ada ruang untuk penolakan lagi. Dengan pasrah, Hailey akhirnya mengangguk dan mengikuti ibunya, meskipun di dalam hatinya ia masih berharap dapat bertemu Noah hari ini.

Selama perjalanan ke rumah sakit, Hailey hanya terdiam, tetapi batuknya tak kunjung reda. Setiap kali ia berusaha menenangkan diri, suara batuknya tetap menggema di dalam mobil, mengingatkannya bahwa kondisinya tidak sebaik yang ia inginkan.

Wajahnya perlahan terlihat semakin pucat dari biasanya, memberi sinyal kepada ibunya bahwa ia memang tidak dalam keadaan baik. Dalam perjalanan ini, ia meninggalkan wig yang biasanya ia kenakan dan memilih hanya menggunakan kupluk—sebuah hadiah dari Levin. Kupluk itu terasa hangat dan nyaman, memberi sedikit kenyamanan di tengah ketidaknyamanan yang ia rasakan.

"Hailey's Silent Goodbye"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang