8

20 5 3
                                    

Beberapa jam kemudian, Noah akhirnya benar-benar datang, membawa bingkisan berisi buah-buahan dan beberapa makanan kecil—bawaan standar untuk menjenguk orang sakit. Dengan senyum ramah, ia melangkah masuk ke dalam ruangan Hailey, diikuti oleh tatapan orang-orang yang menyambutnya.

Levin menyambut Noah dengan santai, “Noah! Senang kau akhirnya datang,” ucapnya sambil menepuk bahu Noah dengan hangat. “Oh, kenalkan, ini orang tua Hailey, meskipun kalian mungkin sudah tahu satu sama lain,” katanya sambil tersenyum pada kedua orang tua Hailey.

Orang tua Hailey mengangguk sopan pada Noah, menambahkan sedikit obrolan ringan untuk mencairkan suasana. “Senang bisa bertemu denganmu di sini, Noah. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk menjenguk Hailey,” ucap ayah Hailey dengan nada penuh kehangatan.

Di sela-sela perkenalan, Levin melirik Hailey dengan senyum lebar yang sedikit nakal, seolah-olah berkata,Lihat, dia benar-benar datang untukmu." Tatapannya penuh dengan godaan, membuat Hailey merasa campur aduk—antara senang, jengah, dan sedikit salah tingkah.

Hailey memutar bola matanya ke arah lain dengan sikap pura-pura tak peduli, meskipun pipinya tampak sedikit bersemu merah. Levin menahan tawa kecil, menikmati reaksi temannya itu. Sesekali, ia menatap Hailey seolah memberi isyarat agar santai saja, dan Hailey hanya bisa menarik napas pelan, berusaha menenangkan dirinya sambil mencoba tidak terlalu terlihat gugup di depan Noah.

Setelah selesai menyapa semua orang, Noah beralih ke arah Hailey. Senyumnya lembut, namun di balik itu tampak jelas kekhawatiran dan sedikit penyesalan di matanya—penyesalan karena tidak bisa segera datang menemuinya.

Orang-orang di ruangan itu kemudian perlahan keluar, memberi mereka waktu berdua. Termasuk Levin, yang sesaat sempat melirik Hailey sebelum meninggalkan kamar. Meskipun ada rasa berat di hatinya saat melihat Hailey bersama Noah, Levin tetap tersenyum. Baginya, kebahagiaan Hailey jauh lebih penting daripada perasaannya sendiri. Jika ini yang bisa membuat Hailey merasa lebih baik, maka Levin rela melakukan apapun.

Noah menatap Hailey dengan raut menyesal dan canggung. Perlahan, ia mendekati sisi tempat tidur dan menggenggam tangannya. "Maaf aku baru bisa datang sekarang, Hailey," ucapnya pelan, menahan rasa bersalah. “Aku… seharusnya bisa ada di sini lebih awal.”

Hailey mengangguk, berusaha tersenyum walaupun perasaannya berdebar melihat Noah di dekatnya. "Tidak apa-apa," jawabnya, suaranya sedikit bergetar. Mereka terdiam beberapa saat, masing-masing menyembunyikan kegugupan dalam pertemuan ini.

Akhirnya Noah kembali bicara, sedikit menundukkan kepala. "Aku sempat menghubungi Levin sebelum ke sini… dia yang memastikan aku tahu kabar terbaru tentangmu." Noah tersenyum tipis, terlihat canggung tapi penuh perhatian. Hailey mengangguk lagi, hatinya bergejolak antara senang dan gugup.

Noah menatap Hailey dengan tatapan penuh semangat, menyemangatinya dengan kata-kata yang kuat. "Kau harus tetap bertahan, Hailey. Aku tahu kau bisa melewati semua ini. Kau hanya perlu berjuang, aku percaya padamu," ucapnya tulus, seolah semua akan baik-baik saja jika Hailey mendengar nasihatnya.

Hailey tersenyum tipis, mengangguk pelan. Di satu sisi, ia sangat menghargai dukungan Noah, dan ia tahu Noah tulus ingin membantunya merasa lebih baik. Namun, hatinya sadar ada perbedaan yang tak bisa ia abaikan.

Saat bersama Noah, ia merasa perlu selalu menampilkan sisi tegar dan sempurnanya—seolah tak ingin mengecewakan ekspektasinya, atau menunjukkan kelemahannya. Di depan Noah, ia merasa seperti harus berjuang ekstra keras untuk tampak kuat dan tidak rapuh.

Namun, bersama Levin, ia bisa menjadi dirinya yang sebenarnya. Levin selalu tahu cara menenangkan tanpa kata-kata besar, cukup dengan keberadaannya yang setia dan kehangatan yang diberikan tanpa syarat. Ia tak perlu berpura-pura tegar atau menyembunyikan kekhawatirannya. Levin memahami perasaannya tanpa perlu Hailey menjelaskan.

"Hailey's Silent Goodbye"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang