9

15 5 1
                                    

Hampir sebulan berlalu sejak hari-hari yang sulit itu. Pagi ini, Levin tengah bersiap di depan rumahnya. Ia memastikan mobilnya dalam keadaan rapi, bahkan memasang gantungan kecil berbentuk bintang yang ia tahu Hailey suka. Hari ini spesial—Hailey akan kembali ke sekolah untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Meski hatinya sedikit berat, ia tahu Hailey membutuhkan ini.

Di sisi lain, Hailey juga bersiap di rumahnya. Ia memandang dirinya di cermin, mengenakan seragam sekolah dengan wig barunya yang Levin berikan beberapa minggu lalu. Hari ini bukan soal menyembunyikan kondisinya, melainkan soal menunjukkan bahwa ia masih ingin menjalani hidup sepenuhnya, meski waktu tak lagi berpihak padanya. Hampir sebulan ia memulihkan kondisi fisiknya, meskipun ia tahu, kanker yang bersarang di tubuhnya tak pernah benar-benar pulih.

Ketika Levin tiba, ia menunggu di depan pintu rumah dengan senyum lebar. Hailey muncul beberapa menit kemudian, berjalan perlahan dengan tas di punggungnya. Levin membuka pintu mobil untuknya, memandangnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan—campuran antara kekaguman dan kesedihan yang ia simpan rapat-rapat.

"Selamat pagi, nona Hailey Bridger. Siap kembali ke sekolah?" tanyanya sambil mencoba menyemangati, meski ia tahu dalam hati Hailey pasti masih ada kegelisahan.

Hailey tersenyum kecil. "Siap,
Lebih baik di sekolah daripada terus-terusan merenung di rumah."

Levin mengangguk, berusaha menutupi rasa cemasnya. "Benar sekali. Lagipula, kau tahu, kalau aku terus-terusan jadi pengantar makanan ke rumahmu, aku bisa bangkrut," candanya, membuat Hailey tertawa kecil.

Dalam perjalanan, keduanya berbicara santai, saling menghibur satu sama lain. Meskipun ada kesadaran yang tak terucapkan di antara mereka bahwa waktu bersama ini adalah sesuatu yang sangat berharga. Levin hanya berharap hari ini menjadi awal dari kebahagiaan kecil bagi Hailey, setidaknya untuk sementara waktu.

Sesampainya di sekolah, Levin segera menghentikan mobil di area parkir yang agak sepi. Sebelum mesin benar-benar mati, ia sudah melepas sabuk pengamannya dan keluar dengan cepat. Ia berlari ke sisi pintu tempat Hailey duduk, bergegas membukanya meskipun Hailey berusaha menghentikannya.

"Levin, aku bisa sendiri. Kau tidak perlu repot-repot begini," protes Hailey, berusaha menyembunyikan rasa tidak enaknya.

Namun Levin hanya tersenyum kecil, matanya menunjukkan tekad yang tak bisa diganggu gugat. "Kau tahu aku tidak akan membiarkanmu sendirian. Lagi pula, aku cuma mau memastikan kau tidak kesulitan."

Hailey menghela napas panjang, tapi tidak melanjutkan protesnya. Ia tahu Levin seperti ini bukan karena merasa kasihan, melainkan karena ia benar-benar peduli. Dengan hati-hati, Levin membantu mengambil tongkatnya yang tersandar di sebelah kursi. Ia memegangi pintu mobil agar tetap terbuka, lalu berdiri di dekat Hailey untuk memastikan ia bisa keluar dengan nyaman.

"Pelan-pelan," ucap Levin lembut, menawarkan tangannya untuk membantu.

Hailey menerima bantuan itu dengan sedikit enggan, tapi akhirnya tersenyum tipis. "Kau terlalu protektif, kau tahu..?"

Levin terkekeh pelan, menyesuaikan langkahnya dengan Hailey saat mereka berjalan menuju gerbang sekolah. "Ya, aku tahu. Dan aku tidak akan minta maaf untuk itu."

"Kau sudah siap?" tanya Levin dengan nada lembut, mencoba menyelami perasaan Hailey yang terlihat belum sepenuhnya tenang.

Ia menatap Hailey sejenak, memperhatikan kegugupan yang tergambar jelas di wajah gadis itu. Matanya mengamati setiap gerak-gerik Hailey, dari caranya menggenggam tongkat hingga bibirnya yang sedikit bergetar.

Hailey menunduk sebentar, mengatur napas yang terasa berat. Perasaannya benar-benar bercampur aduk. Ada semangat untuk kembali menjalani rutinitas di sekolah, tapi di sisi lain, ia tak bisa memungkiri rasa takutnya.

"Hailey's Silent Goodbye"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang