10

17 4 4
                                    

Jam istirahat tiba, Noah dengan semangat khasnya langsung bangkit dari tempat duduknya. Sebagai sosok yang aktif dan ambisius dalam pendidikan, ia selalu sibuk dengan berbagai hal di sekolah. Kali ini pun, ia tampak tergesa-gesa hendak mengurus sesuatu yang entah apa itu.

Sebelum pergi, ia mendekati Hailey sejenak. "Aku pergi sebentar, ada yang harus kuurus. Tapi jangan khawatir, aku akan kembali sebentar lagi," katanya dengan senyum hangat.

Hailey menatapnya sambil mengangguk pelan. "Baiklah, hati-hati. Semangat, Noah," jawabnya lembut, mencoba menyemangati meskipun suaranya sedikit terdengar lelah.

Noah tersenyum lagi sebelum berbalik dan melangkah pergi. Hailey hanya mengikutinya dengan tatapan datar, namun ada kilasan perasaan campur aduk yang sulit ia definisikan. Sekarang, ruangan terasa lebih sepi, menyisakan dirinya dan Levin.

Levin merebahkan kepalanya di atas meja, menatap Hailey yang tampak termenung. Wajahnya pucat, dan matanya kosong, seolah sedang memikirkan sesuatu yang berat.

Untuk mengalihkan perhatian Hailey, Levin memutuskan untuk menggodanya. Dengan nada santai, ia berkata, "Jangan bilang kau sedang memikirkan aku kan, sampai tidak bisa fokus begitu."

Hailey sedikit terkejut dan menoleh ke arah Levin, alisnya terangkat. "Kau kenapa tuan levin?" jawabnya dengan wajah bingung, meski senyum kecil mulai terlihat di sudut bibirnya.

Levin pura-pura serius, memandangi Hailey dengan tatapan dramatis. "Terlihat jelas, aku tahu kau diam-diam ngefans kepada aku. Tapi jangan melamun terus, nanti ada yang cemburu loh."

Hailey menghela napas, dan akhirnya tersenyum meski tipis. "Kau ini, ya. Bicara nya saja asal."

Levin tertawa kecil, merasa puas karena Hailey sudah mulai tersenyum. "Lihat, senyum mu terlihat manis. Jangan dibuang-buang untuk merenung terus. Kalau tidak ada yang bikin senyum, sini aku daftar jadi pelawak pribadi buat mu."

Hailey hanya menggelengkan kepalanya pelan, namun jelas ada senyum tipis di wajahnya. Levin tahu, meskipun kecil, senyum itu sudah cukup untuk membuat suasana sedikit lebih ringan.

Levin menatap Hailey yang masih duduk tegak. Ia menunggu sejenak, dan akhirnya Hailey mengikuti, merebahkan kepalanya di atas meja juga. Kini, mereka saling bertatapan, wajah mereka begitu dekat, hanya terpisah sedikit oleh meja yang ada di tengah-tengah.

Levin merasa jantungnya berdebar semakin cepat, pandangannya tertuju pada wajah Hailey yang begitu dekat. Wajahnya yang pucat namun tetap cantik, dengan mata yang sedikit lelah, membuat hati Levin berdebar. Ia merasa terhanyut dalam kedekatan itu, tidak tahu harus berkata apa.

Hailey merasa sesuatu yang berbeda ketika mereka berada begitu dekat, meskipun tidak ada kata-kata yang keluar, ia merasakan kenyamanan yang besar. Levin adalah teman terbaiknya , dan kehadiran lelaki itu selalu memberi rasa aman. Ia tidak merasa canggung, hanya ada kedamaian dalam keheningan itu.

"Apa yang kamu pikirkan, Hailey?" Levin bertanya pelan, mencoba memecah kesunyian yang semakin terasa.

Hailey mengangkat sedikit kepalanya, menyunggingkan senyum tipis. "Memikirkan kau yang selalu aneh," jawabnya santai di selingi dengan senyuman, meskipun hatinya terasa ringan, berbicara dengan Levin.

Levin terkekeh kecil mendengar jawaban Hailey. "Iya, kan? Aku tahu, aku emang aneh," ujarnya dengan nada ringan. Namun, matanya masih menatap Hailey dengan rasa yang lebih dalam dari sekadar teman.

Hailey merasa sedikit aneh dengan cara Levin menatapnya, tapi ia tahu itu hanya bagian dari kebiasaan mereka. "Kau bener-bener, ya..." Hailey berkata sambil tersenyum, namun kali ini ada kehangatan yang muncul di wajahnya, lebih dari biasanya.

"Hailey's Silent Goodbye"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang