Halaman dua puluh tujuh

267 30 24
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

Sebelum membaca jangan lupa vote, agar minkur semangat nulis.. tengkyu 😚🫶
____________________________________

📖🖇🤍🖨
[Happy Reading]

─── ・ 。゚☆: *.☽ .* :☆゚. ───

Zunaira duduk termenung ditepi kasur. Sejak memasuki kamar, pikirannya kembali berputar mengenai kejadian kecil tadi pagi. Saat ini ditangannya telah ada sebuah kotak yang menjadi barang utama pemicu kejadian itu.

Kotak pemberian Mom Hilda.

Alangkah malunya Zunaira saat melihat kembali isi kotak ini. Pipinya kembali memanas, ia mengingat senyum aneh yang suaminya tunjukkan ketika dia melihat isi kotak tersebut.

Ia benar-benar merasa malu.

Namun disisi lain, Zunaira pun merasa bersalah karena Rizhan belum mendapatkan 'hak' itu darinya. Mau bagaimanapun, saat ini mereka telah saling mencintai, Rizhan pun telah banyak bersabar dan menghormati kesiapan istrinya selama hampir tiga bulan pernikahan mereka. Apakah ia harus memberikannya sekarang?

Zunaira melirik jam dinding yang bertengger disana, jam masih menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Setibanya mereka di hotel pukul delapan tadi, tak lama Rizhan izin pada istrinya akan pergi ke loby hotel untuk menemui temannya yang datang. Sepertinya obrolan mereka akan cukup memakan waktu karena beberapa menit lalu laki-laki itu mengirim pesan agar segera tidur dan tidak perlu menunggunya.

Zunaira mengedarkan pandangan kearah seisi kamar. Ia menarik nafas panjang, kemudian menghembuskannya perlahan. Seulas senyum kecil menghiasi wajah itu. Ia telah memantapkan hati untuk menjadi istri sholehah malam ini.
-

Disisi lain, Rizhan tengah berbincang santai dengan seorang laki-laki yang sebaya dengannya.

"Yang benar saja, antum sudah menikah? Kapan? Kenapa tidak memberitahuku?" tanya laki-laki berkebangsaan Morocco tersebut.

Rizhan tertawa kecil, "sekitar tiga bulan yang lalu. Bagaimana ana bisa memberitahu? Ana tidak punya kontak antum, ponsel ana yang dulu telah hilang."

Ebrahim Azhar Malik, laki-laki berkebangsaan Morocco itu memasang wajah datar. Rizhan dan Azhar telah berteman lama. Sejak kecil, setiap Rizhan pulang ke daerah tempat Umi berasal, kedua anak laki-laki itu akan selalu bermain bersama. Tak jarang, mereka akan saling bertukar pengalaman dan ilmu. Sebagai putra dari seorang Kiyai, Rizhan mengenalkan Azhar tentang bagaimana suasana pesantren dan apa saja yang dipelajari disana. Begitupula dengan Azhar, ia yang merupakan putra dari seorang pengusaha pun mengenalkan Rizhan tentang dunia bisnis yang diajarkan oleh Ayahnya. Mereka saling bertukar pengetahuan tentang ilmu yang mereka pelajari pada bidangnya masing-masing.

Namun pertemanan mereka tak berlangsung lama, saat keduanya berusia lima belas tahun Azhar harus pindah ke negara asalnya karena paksaan dari keluarga besar sang Ayah. Rizhan tak sempat bertemu dengan temannya itu karena ia pun harus mempersiapkan diri untuk pergi ke Yaman. Sejak itu mereka tak pernah lagi bertemu, bahkan tidak bisa saling bertukar pesan karena ponsel lama Rizhan telah hilang.

Keduanya tidak menyangka jika akan bertemu kembali setelah tahun-tahun berlalu. Terlebih lagi, tenyata mereka menginap di hotel yang sama. Bersyukurlah keduanya karena wajah mereka tidak berubah terlalu jauh, hanya saja Azhar sedikit pangling karena adanya brewok tipis diwajah Rizhan.

Duhai Habibi [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang