22

139 17 0
                                    

Seminggu telah berlalu setelah pertengkaran Abel dan orang tua Rima, semuanya berjalan seperti biasanya, orang tua Rima pun sibuk dengan pekerjaanya masing-masing seakan-akan kejadian waktu itu tidak pernah terjadi.

"Halooo cantik."

Abel terkesiap mendengar bisikan dari orang yang baru saja duduk di sebelahnya.

Memutar bola matanya malas Abel seakan tidak melihat orang itu.

"Sombong amat. Pagi-pagi udah ngelamun aja nih, kenapa?"

"Bisa gak gangguin gue sahari aja gak Rio?"

Bukannya menyingkir laki-laki itu malah menggelengkan kepalanya dengan senyum begitu manis, "gak bisa, gimana dong?"

Menarik napas panjang Abel menatap rio dengan menyenderkan punggungnya pada kursi. "Mau lo apa?"

"Jadi pacar gue."

Entah ucapan ke berapa kali Abel mendengarnya dari mulut Rio, manusia aneh itu selalu membuatnya jengkel. Abel merasa ucapan Rio hanya candaan semata.

"Gausah ngadi-ngadi, sampe kapanpun gue gak mau jadi pacar lo. Paham?"

Rio memasang wajah cemberut namun sesat kemudian wajahnya kembali ceria. "Dih yaudah, sayang banget lu nolak cowok tertampan di sekolah ini Rim,"

Tak ada balasan apapun dari Abel, anak itu lebih memilih meletakan tangan dan kepalanya di atas meja sembari memejamkan mata. Dan ya rasanya sudah seminggu juga Abel tidak melihat Dina, padahal banyak sekali pertanyaan yang ingin dia tanyakan.

Rio yang jelas di sebelah Abel memandang pahatan wajah itu dengan seksama, tak bisa di pungkiri Abel memang cantik eh atau mungkin Rima?

Laki-laki itu hanya iseng saja mendekati Abel dengan seolah-olah menyukai perempuan itu, faktanya sejak awal hanya penasaran dengan perempuan pendiam yang memiliki gelar sebagai juara satu pararel. Namun entah sejak kapan mulainya perasaan itu kian berubah, keperibadian Abel yang unik membuat perasaan Rio mulai merasa tertarik namun jelas dia tidak tahu apa yang dia rasakan sampai saat ini, entahlah biar waktu yang menjelaskan.

"Selamat pagi semuanya!"

Suara berat seorang laki-laki memecahkan kebisingan yang sejak tadi di timbulkan oleh anak-anak.

"Rio ngapain kamu di kelas ini?"

Pernyataan itu sontak membuat Rio menggaruk leher belakangnya canggung.

"Ehehe maaf pak." Ucapnya sembari berdiri dari bangku dan melenggang ke luar, namun sebelum itu tepat di pintu masuk dia berteriak, "pacar! nanti kita ke kantin bareng!!"

Ruangan menjadi heboh dengan teriakan menggoda pada Abel yang kini menutup wajahnya sembari menyimpan sarapahi laki-laki aneh itu dalam hati.

"Rio sialan!!"

"Cukup. Ini ruang kelas bukan kebun binatang kenapa kalian berisik sekali?" Tanya guru yang tak lain dan tak bukan adalah Abi.

Ruangan kembali hening dan Abi mulai mengajar, tanpa di sadari dia melirik pada Abel yang tengah menulis namun segera dia alihkan pandangannya tak lupa dia menarik napas cukup panjang.

Beberapa saat telah berlalu hingga tak terasa jam pelajaran telah selesai.

"Saya rasa cukup sampai di sini kita ketemu lagi di minggu depan dan jangan lupa tugas yang saya kasih di kerjakan! Oh iya, untuk Rima kamu bisa ikut saya sekarang?"

Abel sontak menunjuk dirinya sendiri seolah bertanya namun Abi dengan cepat menganggung.

"Baik pak," Balas Abel dengan rasa malasnya.

Akhirnya Abi berpamitan pada anak-anak di kelas kemudian melenggang keluar di susul oleh Abel.

"Bapak kenapa manggil saya?" Tanya Abel dengan rasa penasaran.

"Hari ini kita latihan basket,"

Langkah Abel sontak berhenti. Batinnya menggerutu Jelas-jelas cuaca sedang terik-teriknya.

"Gak bisa lain kali aja pak?" Tanya Abel setelah menyamakan langkahnya lagi.

"Waktunya mepet. Kamu lupa ada pertandingan antar sekolah?" Suaranya cukup datar dengan pandangan lurus ke depan.

Mau tak mau Abel pasrah dengan yang di lakukan mantan suaminya itu. Eh suami atau mantan suami?

"Cewe gila ngapain lo di sini?"

Lagi-lagi Abel harus berurusan dengan laki-laki aneh, tak cukup kah hari ini bertemu dengan dua laki-laki aneh saja?

"Buta mata lo?" Gumam Abel tanpa melihat ke arah siempunya.

Decakan dari Devon terdenger menandakan rasa sebalnya. "Gue nanya baik-baik,"

Abel sontak menatap wajah laki-laki itu dengan berkacak pinggang, "haduh Devon lo gak liat gue pake baju apa? Jelas-jelas gue pake baju basket. Artinya apa?"

Tanpa menunggu jawaban Devon, Abel melenggang pergi meninggalnya laki-laki itu yang kini menatap punggung Abel yang kian menjauh.

"Lo semakin beda," Gumamnya.

____

"Seperti yang kita semua tau bahwa bulan depan sekolah kita akan melakukan pertandingan basket dengan sekolah lain, jadi saya harap kalian semua bisa melakukannya sebaik mungkin! Saya akan membuat jadwal latihan yang dimana latihannya kita campur saja supaya menghemat waktu! Seminggu tiga kali dari hari selasa, kamis dan sabtu. Semua paham?!"

"Paham, pak!"

Setelah di rasa cukup Abi yang tak lain menjadi pelatih basket mulai menyuruh anak-anak untuk berlatih, namun uniknya dia menyuruh latihan dengan pertandingan dimana club milik Devon melawan club milik Abel.

"Loh pak, bukannya lawan kita nanti cewek kenapa harus lawan club cowok?" Tanya salah satu siswi.

"Betul. Tapi kita tidak tahu seberapa skil mereka, jadi saya rasa ini cara yang cocok untuk kalian melatih skil yang kalian miliki." Jelasnya.

"Kalau begitu kita lempar koin untuk melihat siapa dulu yang lempar di awal!"

Dua orang maju mendekat, seperti ada dendam pribadi aura di sekitar menjadi sedikit panas.

"Saya angka pak," Ucap Devon dengan tersenyum meremehkan pada Abel.

Tak ingin kalah begitu saja Abel menatap Devon dengan tatapan meremehkan sekaligus seperti orang yang jijik.

Koin di lempar begitu saja dan yang menang adalah angka. Lagi-lagi senyum kemenangan terlukis di bibir Devon namun Abel tidak perduli, kekanak-kanakan pikirnya.

Pertandingan di mulai, permainan cukup di dominasi oleh dua orang skor pun tak jauh berbeda namun lebih unggul club milik Devon.

Abi memperhatikan gerak-gerik dari Abel, setiap langkah yang di lakukan Abel benar-benar mengingatkannya pada masa lalu. Namun perasaan itu ia tepis, rasanya mustahil ada Abel pada tubuh orang lain.

Priiiitt!

Peluit panjang di bunyikan menandakan pertandingan berakhir dengan skor 20-18. Jelas yang menang kali ini club dari Devon.

"Kita akhiri latihan hari ini, sampai ketemu lagi di hari sabtu!"

Setelah Abi menghilang dari lapangan, Devon mendekat ke arah Abel yang kini tengah duduk di pinggir lapangan sembari sembari meneguk minumnya.

"Kali ini gue yang menang, so lo bisa liat kemampuan gue, kan?"

"Ini cuma latihan gausah sok berlaga iya," Cibir Abel.

Devon hanya mengangkat bahunya sekilas, dia duduk  di sebelah Abel dan berbisik, "gue tahu waktu itu lo gak keluar negri. Lo minum racun kan?"

Abel terdiam sejenak mencerna apa yang baru saja Devon katakan.

"Lo?"

Bukannya memberi penjelasan Devon malah langsung meninggalkan Abel dengan sejuta pernyataan.

Bersambung.....

Second Life (Sequel A2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang