"Wine?" Jeff mengulurkan segelas wine merah, senyum main-main terukir di wajahnya.
"Thanks," MJ menerima gelas itu, jari mereka bersentuhan sekilas. MJ berdiri di balkon villa mereka, masih mengenakan sundress putih yang dia pakai saat mereka menghabiskan sore di kota. Angin laut membuat rambutnya yang tergerai sedikit berantakan.
"Cantik ya," kata Jeff, berdiri di sampingnya menghadap laut. "Pemandangannya."
"Yeah," MJ mengangguk. "Almost unreal."
Jeff menoleh, menatapnya dengan cara yang membuat MJ sulit bernapas. "I wasn't talking about the sunset."
"..."
"You know," Jeff bersandar di pagar balkon, menatap MJ dengan cara yang dapat membuat jantungnya berdebar, "I never thought I'd enjoy fake dating this much."
MJ tertawa kecil. "Oh ya? Bukannya lo udah biasa sama hal-hal kayak gini? Dating celebrities, maksud gue."
"Beda," Jeff meneguk winenya. "They were never... you."
"What's that supposed to mean?"
Jeff mengangkat bahu, tapi matanya tidak lepas dari MJ. "Lo beda, Michelle Jane. The way you see through people's bullshit, the way you call me out on my games... it's refreshing."
"Are you flirting with me, Jeff Gautama?" MJ mencoba bercanda, meski jantungnya berdetak semakin cepat.
"Maybe," Jeff mendekat, mengambil gelas wine dari tangan MJ dan meletakkannya di pagar balkon. "Is it working?"
MJ merasakan napasnya tercekat. Jeff terlalu dekat, terlalu nyata. "There's no camera here."
"I know."
"Then why—"
"Because I want to."
Jeff mengangkat tangannya, mengusap pipi MJ dengan lembut. MJ tidak bisa membaca sirat mata Jeff saat ini tapi dia merasa Jeff sedang berperang dengan dirinya sendiri.
"Jeff..."
"Shhh," Jeff mendekatkan wajahnya. "Let me just..."
Dan kemudian dia menciumnya. Lembut pada awalnya, seolah Jeff sedang mencoba sesuatu yang baru, sesuatu yang rapuh. Tapi ketika MJ membalas ciumannya, sesuatu dalam diri Jeff seperti terlepas. Ciumannya menjadi lebih dalam, lebih menuntut, tangannya memeluk pinggang MJ seolah takut dia akan menghilang.
MJ bisa merasakan getaran di tangan Jeff, bisa merasakan keraguannya yang perlahan mencair. Untuk sesaat, semuanya terasa sempurna. Sampai Jeff tiba-tiba menarik diri, matanya melebar seolah baru tersadar dari mimpi.
"I..." Jeff menelan ludah, ekspresinya berubah panik. "That shouldn't—I mean..."
MJ merasakan jantungnya mencelos melihat kepanikan di mata Jeff. "Jeff..."
Tapi kemudian, seolah mendapat penyelamatan, mata Jeff menangkap sesuatu di bawah balkon. Ekspresinya berubah, topeng yang biasa dia pakai kembali terpasang.
"Well," dia tersenyum, tapi tidak mencapai matanya, "sepertinya kita dapat audience."
"Hah?"
"Look," Jeff mengedikkan kepala ke bawah. "Ada yang videoin dari bawah. Good timing ya? PR team pasti seneng dapet konten candid kayak gini."
MJ merasakan dadanya sesak. Karena dia tahu, dia tahu dari cara Jeff menciumnya tadi, dari getaran di tangannya, dari keraguannya, bahwa ciuman itu nyata. Tapi Jeff memilih untuk bersembunyi di balik sandiwara mereka.
"Right," MJ memaksakan senyum. "For the show."
"Addie must be thrilled," Jeff tertawa, tapi terdengar hambar. Dia mengambil jarak, seolah takut terlalu dekat dengan MJ akan membuatnya kehilangan kontrol lagi. "Good job, partner."
MJ mengangguk, tidak percaya dengan suaranya sendiri untuk berbicara. Dia bisa melihat ada sirat ragu di mata Jeff, bagaimana dia ingin mengatakan sesuatu tapi memilih untuk diam.
"Gue harus..." Jeff menunjuk ke dalam. "Ada telepon yang harus gue jawab. You good here?"
"Yeah," MJ berbisik. "I'm good."
Jeff mengangguk kaku sebelum berbalik masuk, meninggalkan MJ dengan sejuta pertanyaan yang tak terucap. Karena bagaimana bisa sesuatu terasa begitu nyata dan begitu palsu di saat yang sama? How can a kiss feel so real yet end up being just another scene in their endless show? Dan yang lebih menyakitkan, bagaimana Jeff bisa terlihat begitu takut dengan sesuatu yang mereka berdua jelas-jelas rasakan?
Sometimes, the most painful part isn't the lie. It's the truth we're too scared to admit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rule Number Five
RomanceMichelle Jane Kennedy, seorang jurnalis fesyen, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis setelah ditugaskan mewawancarai Jeff Gautama, rekan setim adiknya di F1. Jeff, seorang pembalap berbakat dengan reputasi buruknya di luar trek, berad...