Toilet mewah Odeon Luxe menjadi tempat pelarian yang sempurna. Dinding marmer yang dingin dan cermin-cermin berkilau memberikan ilusi ketenangan yang MJ butuhkan setelah panic attack-nya. Di bawah lampu, dia bisa melihat bayangannya sendiri di cermin, maskara yang sedikit luntur di sudut mata, lipstik yang memudar di bagian dalam. Jejak-jejak kecil tanda keretakan dalam topeng sempurna yang dia pakai malam ini.
Suara pintu terbuka memecah keheningan. Di pantulan cermin, MJ melihatnya. Eleanor Kartatmodjo, masih sempurna dalam gaun burgundy-nya, berdiri ragu di ambang pintu seperti hantu dari masa lalu yang enggan pergi.
"MJ..." suara Eleanor lembut, hampir terdengar seperti bisikan. Bahunya yang biasanya tegak kini sedikit merosot, seolah membawa beban yang terlalu berat.
MJ tetap fokus pada bayangannya di cermin, tangannya dengan tenang mengambil lipstick dari clutch-nya. "Toilet lain ada di lantai bawah."
"Please," Eleanor melangkah masuk, pintu menutup di belakangnya dengan suara yang terlalu final. "Aku cuma mau bicara."
"Bicara apa? Nggak ada yang perlu dibicarakan, Eleanor." MJ mengaplikasikan lipstick dengan teliti, aksinya untuk menyembunyikan tangannya yang gemetar.
"Maaf," Eleanor mendekat, gaun burgundy-nya membuat suara di lantai marmer. "Aku ke sini untuk minta maaf. Untuk semuanya. Untuk Arlo, untuk persahabatan kita, untuk—"
"Stop." MJ akhirnya berbalik, menatap Eleanor langsung. Dia bisa melihat Eleanor yang dia kenal dulu, gadis dengan tawa yang bisa mencerahkan ruangan, sahabat yang pernah berbagi segala mimpi dan rahasia dengannya. Tapi itu dulu. "Udah empat tahun, El. Kenapa baru sekarang? Kemarin kemana aja?"
"Iya, aku tahu," Eleanor menelan ludah, tangannya memainkan kalung Cartier-nya. "But I never got the chance to properly apologize. You disappeared from paddock, changed your number..."
"Ya karena gue harus," suara MJ bergetar. "Lo nggak pernah tahu rasanya ketika sahabat yang gue anggap kayak saudara, ternyata diam-diam tidur sama pacar gue."
Eleanor mengernyit mendengar kata-kata tajam itu. "Nggak kayak gitu—"
"Terus kayak gimana?" MJ tertawa getir. "Coba jelasin ke gue. Jelasin ke gue gimana lo secara nggak sengaja menjalin hubungan sama pacar sahabat lo sendiri."
"Aku—" Eleanor terdiam, air mata mulai menggenang di matanya yang dirias sempurna. "Kita nggak pernah bermaksud untuk nyakitin kamu, Mici."
"Tapi yang gue rasain sakit, El." MJ menggeleng, merasakan amarah lama yang dia kira sudah padam kembali menyala. "Dan mau tahu apa yang lebih menyakitkan? Lo nggak ada nyali untuk ngomong ke gue langsung. I had to find out from gossip account."
"Aku takut," Eleanor mengaku, suaranya pecah. "Aku takut kehilangan kamu. Kamu sahabat aku, MJ. The only one who never cared about my family's name or money."
"Exactly." MJ menatap Eleanor lekat-lekat. "I was your best friend. Which made your betrayal hurt even more."
Eleanor mengambil langkah maju, tangannya terulur seperti ingin meraih MJ. "Please... can't we try to fix this? I miss you. I miss our friendship."
"No." MJ mundur, menciptakan jarak yang terasa seperti jurang. "Our friendship ended the moment you chose him. The moment you decided our decade of friendship meant less than your attraction to my boyfriend."
"MJ—"
"Gue bahagia sekarang, El." MJ memotong, suaranya lebih lembut tapi tetap tegas. "I've moved on. Dengan Jeff, dengan karir gue, dengan hidup gue. Dan lo tau? Butuh bertahun-tahun untuk sampai di titik ini. Gue nggak akan biarin lo atau Arlo menghancurkan hidup gue lagi."
Eleanor terdiam, air mata akhirnya jatuh di pipinya yang sempurna.
MJ menatap Eleanor lama, merasakan sesuatu dalam dirinya bergeser. Bukan pengampunan, tapi mungkin... penerimaan. "Goodbye, El."

KAMU SEDANG MEMBACA
Rule Number Five
RomanceMichelle Jane Kennedy, seorang jurnalis fesyen, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis setelah ditugaskan mewawancarai Jeff Gautama, rekan setim adiknya di F1. Jeff, seorang pembalap berbakat dengan reputasi buruknya di luar trek, berad...