Imola, Italy
Imola Grand Prix atau yang lebih dikenal sebagai Gran Premio dell'Emilia Romagna, adalah salah satu balapan ikonik dalam kalender Formula 1. Diselenggerakan di Sirkuit Autodromo Internazionale Enzo e Dino Ferrari. Sirkuit ini terletak di kota kecil Imola, di wilayah Emilia-Romagna, Italia. Dengan panjang 4.909 kilometer dan 19 tikungan yang menantang. "It's one of the hardest tracks, but also one of my favorites," Jeff sering kali bilang pada media. Sirkuit dengan sejarah panjang ini punya karakter teknis yang membuat setiap lap terasa menantang, dari tikungan cepat di Variante Alta hingga chicane sempit di Acque Minerali. Cuaca di sirkuit ini juga tidak menentu, hujan bisa turun tiba-tiba dan membuat tim harus mengubah strategi.
Imola adalah trek yang sulit, jelas, tapi Jeff tidak cemas tentang balapannya di atas lintasan. Apa yang benar-benar membuatnya gelisah dan cemas adalah pertemuan yang akan terjadi setelah balapan—pertemuannya dengan MJ Kennedy.
Seminggu sebelum balapan, Jeff mengirim pesan singkat kepada MJ, mengatakan kalau mereka perlu bertemu di Imola. Alasan pertemuan itu untuk membahas interview ulang yang MJ ajukan. Tapi, Jeff tahu itu hanya setengah dari alasannya. Ada rencana lain yang sudah lama ia pertimbangkan, dan sekarang adalah saat yang tepat untuk membicarakannya.
Malam itu, setelah balapan berakhir, MJ menemukan dirinya duduk berhadapan dengan Jeff di lounge eksklusif tim. Mereka dikelilingi oleh suasana paddock yang mulai sepi, dengan hanya beberapa orang yang sibuk berkemas dan mengobrol. Sinar lampu temaram menambah keheningan dan MJ bisa merasakan ketegangan menguar di udara.
"So, about the interview," MJ membuka pembicaraan sambil berdiri bersandar di tembok.
Jeff tersenyum miring, sedikit sinis, tapi tidak menyeramkan. "We'll get to that. But first, ada hal lain yang gue pengen omongin."
MJ memutar bola matanya. "Gue datang ke sini untuk interview, Jeff. Kalau lo punya agenda lain, I'm not interested."
"Tapi lo perlu dengerin ini dulu," Jeff berkata, suaranya lebih rendah kali ini, nyaris terdengar serius.
MJ mendelik curiga. "What now?"
Jeff menarik napas, lalu mengungkapkan rencananya. "I need your help, MJ. Gue butuh lo buat pacaran pura-pura sama gue."
MJ tertegun. "What?"
"Lo tahu sendiri kan reputasi gue? Media terus-terusan ngehajar gue soal pesta-pesta, perempuan, and all that. Sponsors mulai ragu sama gue. My PR team suggested something that might work: lo dan gue berpura-pura pacaran, buat meredam gosip."
MJ hampir tidak percaya dengan apa yang dia dengar. "You're joking, right?"
Jeff menggeleng. "Gue serius. Gue butuh ini. Dan gue tahu lo bisa ngebantu gue. Plus... lo punya sesuatu yang mungkin akan bikin lo setuju."
Tatapan MJ semakin tajam. "Maksud lo?"
Jeff mengeluarkan ponselnya dan dengan tenang memperlihatkan sebuah rekaman. Itu suara MJ, berbicara dengan Gemma beberapa waktu lalu—tentang bagaimana dia tidak menikmati pekerjaannya di Haute dan lebih memilih bekerja di Vogue, kompetitor mereka. "I'm just so tired of working at Haute. Kalau bisa, gue lebih milih pindah ke Vogue."
MJ merasakan seluruh tubuhnya membeku. Oh no... Jeff benar-benar merekam pembicaraan itu. The devil.
"Lo nggak bisa ngelakuin ini," kata MJ dengan suara yang nyaris bergetar. "Lo nggak mungkin blackmail gue dengan rekaman itu."
"Tapi gue bisa," Jeff menatapnya dingin. "Dan lo tahu, kalau Melinda dengar tentang ini, karier lo di Haute bisa tamat. You won't get another chance."
"You're a jerk, you know that?" suara MJ bergetar, antara marah dan terkejut.
Jeff mengangkat bahu seolah itu bukan masalah besar. "I know, I am well aware of that. Now I have this. Lo nggak mau ini bocor, kan? Terutama ke Melinda dan media. Kita nggak mau Haute's golden girl ketahuan kalau ternyata dia lebih milih kompetitor,"
MJ menatap Jeff dengan tajam, jantungnya berdebar kencang. Dia tahu Jeff tidak main-main. Rekaman itu bisa menghancurkan reputasinya di Haute. Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, MJ menghela napas panjang.
"What do you want?" MJ bertanya sekali lagi.
"Be my girlfriend, MJ." ucap Jeff mendekat ke arahnya. "Just one season."
"Fine," MJ akhirnya berkata dengan desahan frustrasi. "But we're gonna do this my way. We're setting rules."
Jeff tersenyum lagi, kali ini lebih seperti seorang pemenang yang baru saja menuntaskan misinya. "Of course. We'll have rules."
MJ mulai menyusun pikirannya, mencari cara agar dia tetap bisa mengendalikan situasi ini. "First, kita tetapkan lima rules. Rule number one, we keep it professional. This is for the public, nothing more."
"Fair enough," jawab Jeff.
"Rule number two, no PDA unless necessary for the public image."
"Got it."
"Rule number three, nggak boleh ganggu pekerjaan gue. I have my own life, Jeff."
Jeff mengangguk, menikmati setiap detail yang MJ sebutkan. "Okay, what else?"
"Rule number four, this ends when we agree it ends. There's no strings attached."
"Dan yang terakhir," MJ menatap Jeff, matanya menusuk tajam, "rule number five: nggak boleh jatuh cinta satu sama lain."
Jeff tertawa kecil mendengar itu. "Sounds good to me."
"Semuanya jelas, Addie bakal kirim draft kontrak buat lo," tambah Jeff, dengan nada yang terdengar sangat formal dan profesional, seolah apa yang baru saja mereka bicarakan adalah bisnis biasa.
MJ merasa sedikit lebih lega setelah menetapkan batasan-batasan itu, tapi ada yang masih mengganjal di dadanya. Bukan tentang aturan-aturan tersebut, tapi lebih kepada perasaan bahwa ia sedang masuk ke permainan yang dia sendiri tidak paham aturannya. Jeff, dengan segala kepintarannya, selalu punya cara untuk membuat situasi lebih rumit dari yang terlihat.
"Sekarang kita bahas interview," kata MJ, mencoba mengalihkan percakapan kembali ke profesionalitasnya.
Jeff memandangnya dengan pandangan yang sedikit berbeda kali ini. "You still want the interview, huh?"
"Of course. That's why I'm here."
"Alright then. Gue bisa bantu lo, tapi ada beberapa hal yang nggak bisa gue ekspos. Keluarga gue itu off-limits, gue udah bilang kan?"
"Gue paham. Gue nggak bakal nanya tentang keluarga. Gue cuma butuh angle yang lebih personal dari lo—sesuatu yang nggak klise, yang bisa kasih pembaca perspektif baru tentang lo."
"Deal. I'll do the interview," jawab Jeff singkat. "But I warn you, MJ. You're not gonna like everything you'll hear."
MJ tahu, apa yang diucapkan Jeff mungkin benar. Tapi dia tidak peduli. Yang penting sekarang, dia bisa menyelesaikan tugasnya dan keluar dari permainan gila ini dengan selamat. Di satu sisi, MJ merasa seperti baru saja menjual sebagian dari dirinya untuk menyelamatkan kariernya. Tapi di sisi lain, dia tahu ini adalah satu-satunya jalan yang bisa ia ambil, meski berisiko.
Game on.
--
60 votes, 25 comments for next update yihiii!

KAMU SEDANG MEMBACA
Rule Number Five
RomanceMichelle Jane Kennedy, seorang jurnalis fesyen, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis setelah ditugaskan mewawancarai Jeff Gautama, rekan setim adiknya di F1. Jeff, seorang pembalap berbakat dengan reputasi buruknya di luar trek, berad...