17: St. Mary's Hospital

4.8K 558 34
                                    

MJ menghabiskan waktunya untuk menyelesaikan artikel sebelum ia harus kembali menjalani pekerjaannya yang lain, yaitu menjadi pacar pura-pura Jeff. Menjalani hubungan pura-pura untuk kebutuhan citra seseorang ternyata benar-benar sebuah pekerjaan yang nyata. Dia memiliki jadwal seperti layaknya pekerjaan pada umumnya. Seperti saat ini, Addie menelepon MJ untuk mengabarkan jadwal photo shoot untuk Vogue besok.

"MJ, sorry ya dadakan. Kita kan ada schedule photo shoot besok untuk Vogue. Jeff sudah konfirmasi—" Addie terdiam sejenak karena merasa MJ seperti orang yang tidak tahu dengan hal ini. "Wait. He hasn't told you?"

"Told me what?"

"He can't make it. Ada... urusan yang nggak bisa dia tinggal." Addie terdengar ragu. "Biasanya dia selalu ngabarin langsung ke kamu. That's weird."

MJ mengerutkan kening. Memang tidak biasa Jeff tidak memberi kabar, apalagi soal jadwal mereka. "It's fine. Kita bisa reschedule, kan?"

"Yeah, but..." Addie terdiam lagi. "You know what? Why don't you check on him? He's at St. Mary's Hospital."

Jantung MJ seketika berdegup kencang. "Hospital? Is he okay?"

"Oh, he's fine," Addie tertawa kecil. "Just... go see him. Ruang anak-anak, lantai 3."

MJ mengendarai mobilnya ke St. Mary's Hospital dengan pikiran berkecamuk. Ruang anak-anak? Apa yang Jeff lakukan di sana?

Ketika lift membawanya ke lantai 3, MJ bisa mendengar suara tawa anak-anak menggema di koridor. Mengikuti suara itu, dia sampai di sebuah ruang bermain yang luas dan cerah. Di sanalah dia melihatnya—Jeff Gautama, sang pembalap F1 yang terkenal dengan image party boy-nya, duduk di lantai dikelilingi anak-anak.

"Nah, siapa yang mau jadi pembalap berikutnya?" Jeff bertanya dengan suara riang, mengangkat salah satu anak ke pangkuannya. Di depannya, ada simulator balap sederhana yang sepertinya dia bawa sendiri.

"Aku! Aku!" Anak-anak berteriak antusias.

Jeff tertawa, suaranya begitu tulus dan lepas. Dia membantu seorang anak perempuan kecil dengan selang infus memegang "setir" memberikan instruksi dengan sangat telaten.

"Good job, Princess! Kamu lebih jago dari aku nih," puji Jeff ketika anak itu berhasil menyelesaikan satu lap virtual.

"Miss Kennedy," sebuah suara mengejutkan MJ. Seorang dokter perempuan paruh baya tersenyum padanya. "I'm Dr. Poppy Rooney. Jeff told us you might come by."

"He did?"

Dr. Rooney mengangguk. "Jeff telah mengunjungi kami setiap bulan selama tiga tahun terakhir. Tidak banyak orang yang tahu mengenai ini, but he's been such a blessing for our pediatric ward."

MJ menatap Jeff yang masih asyik dengan anak-anak, tidak menyadari kehadirannya. "Setiap bulan?"

"Ya. Selama dia nggak balapan dan punya waktu kosong. Started after one of our patients, Noah, recognized him from TV. The boy was going through chemo and barely smiled, but something about Jeff just... lit him up." Dr. Rooney tersenyum hangat. "Setelah itu, Jeff terus kembali setiap bulan. Membawa mainan, simulator ini, kadang hanya untuk membaca cerita dan ngobrol tentang balapan."

"Aku nggak tahu," bisik MJ, merasakan sesuatu yang hangat mengembang di dadanya.

"Kebanyakan orang memang tidak mengetahuinya. Dia lebih memilih merahasiakan hal ini. Katanya lebih terasa tulus begitu," Dr. Rooney menatap MJ penuh arti. "Kamu tahu, anak-anak ini tidak peduli dengan citra publiknya atau rekor balapnya. Mereka hanya mengenalnya sebagai Jeff—seorang kakak laki-laki yang membuat mereka tertawa, yang mengingat nama mereka, yang membuat mereka merasa spesial."

Saat itu, salah satu anak menyadari kehadiran MJ. "Jeff! Is that your girlfriend? The one from TV?"

Jeff menoleh, akhirnya melihat MJ. Untuk sesaat, dia terlihat terkejut seperti tertangkap basah melakukan sesuatu yang rahasia.

"Yeah, that's her," Jeff tersenyum lembut. "Hey, Jellybean. Come meet my friends?"

MJ melangkah masuk, disambut oleh seruan gembira anak-anak. Seorang anak perempuan kecil dengan bandana pink menarik tangannya.

"Miss, are you really Jeff's girlfriend? He always talks about you!"

"Oh? Does he?" MJ melirik Jeff yang sekarang jelas-jelas tersipu.

"Iya! Dia bilang kamu cantik seperti princess," anak itu berkata polos. "And that you make him want to be a better person."

Jeff berdeham. "Okay, Sophie, that's enough spilling my secrets."

MJ duduk di samping Jeff, merasakan kehangatan dari interaksi ini. Dia melihat sisi Jeff yang benar-benar baru—lembut, perhatian, dan tulus. Tidak ada kepura-puraan di sini, tidak ada media yang meliput, hanya Jeff dan ketulusannya.

"Kenapa lo nggak pernah cerita soal ini?" tanya MJ pelan saat anak-anak sibuk dengan simulator.

Jeff mengangkat bahu. "Some things... are better kept private. Plus," dia tersenyum kecil, "Image gue kan bad boy F1. Masa tiba-tiba ketahuan suka main sama anak-anak?"

"You know this would actually help your image, right?"

"That's exactly why I don't want people to know," Jeff menatap anak-anak dengan lembut. "This isn't about image or PR. This is... just me. The real me."

MJ merasakan jantungnya berdebar kencang. Di sinilah dia, melihat sisi Jeff yang mungkin tidak pernah dilihat orang lain. Jeff yang membacakan cerita dengan suara-suara lucu, Jeff yang dengan sabar mengajari anak-anak tentang balapan, Jeff yang tertawa lepas tanpa beban image publik.

"Makasih ya," bisik MJ.

"Untuk apa?"

"Karena membolehkan gue melihat sisi lo yang ini."

Jeff menoleh, tatapannya begitu dalam hingga MJ hampir lupa bernapas. "Thank you for coming here. Addie, right?"

MJ tertawa. "Yes, Addie."

Di ruangan yang dipenuhi tawa anak-anak itu, MJ menyadari bahwa dia mungkin telah melanggar Rule Number 5. Karena bagaimana mungkin dia tidak jatuh cinta pada Jeff yang seperti ini—Jeff yang tulus, yang jauh dari sorotan kamera?

Rule Number FiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang