Leicester Square, London.
Langit musim gugur London yang biasanya kelabu kini bersinar dengan ribuan lampu yang menari-nari, memantul di karpet merah yang membentang bagai sungai crimson di Odeon Luxe. Sorak sorai teriakan fans, seruan fotografer, dan bisikan-bisikan antusias dari para tamu yang berdatangan memenuhi udara.
Scuderia Cavallino baru saja mengumumkan kolaborasi mereka dengan film blockbuster terbaru, sebuah langkah brilian dari departemen marketing untuk memperluas pengaruh tim di luar dunia motorsport. Kehadiran kedua pembalap andalan mereka–Jeff Gautama dan Oliver Kennedy–tentu saja menjadi magnet tersendiri malam ini.
MJ berdiri di samping Jeff, gaun hitam panjangnya memeluk tubuhnya yang ramping. Potongan off-shoulder yang elegan memperlihatkan tulang selangkanya, sementara belahan di sisi kanan membuat gaunnya menari anggun setiap langkah. Jeff, dalam tuxedo hitam yang dipotong sempurna untuk posturnya, terlihat seperti karakter yang keluar dari film James Bond–tampan, misterius, dan berbahaya.
Sejujurnya, MJ masih canggung dengan Jeff. Sejak summer break di Amalfi dan perilaku Jeff setelahnya di Spa dengan memberikan jarak dan batas di antara mereka membuat MJ lebih berhati-hati lagi memposisikan dirinya. Terutama ketika dia sadar kalau perasaannya saat ini cukup rentan. Setelah berbulan-bulan dia memainkan peran menjadi pacar pura-pura Jeff, dia mengakui bahwa aktor dan aktris film di luar sana adalah manusia-manusia hebat yang dapat beradegan romantis tanpa melibatkan perasaan. Dan MJ pun mengerti ketika banyak kaum hawa yang menginginkan Jeff menjadi milik mereka, apalagi MJ yang diperlihatkan sisi lain yang tidak banyak orang tahu. Dia hanya berharap malam ini tidak ada adegan-adegan yang membuat dirinya kembali di hadapkan oleh situasi yang canggung.
Mereka baru saja selesai menjawab beberapa pertanyaan wartawan, Jeff dengan senyum khasnya dan MJ dengan tawa ringannya yang terkontrol, lalu MJ melihatnya. Di bawah cahaya terang red carpet, Arlo Ramirez berjalan dengan langkah yang terlalu percaya diri, satu tangannya melingkar posesif di pinggang Eleanor Kartatmodjo.
Napas MJ tercekat. Eleanor tampak memukau dalam gaun burgundy yang membalut tubuhnya seperti lelehan wine mahal. Rambut hitamnya ditata bergelombang, memantulkan kilau kemerahan setiap kali cahaya kamera menyambarnya.
"Lo nggak apa-apa?" Jeff berbisik di telinga MJ, napasnya hangat menyentuh kulit. Tangannya yang berada di pinggang MJ sedikit mengerat, sebuah gestur protektif yang mulai terasa tidak asing.
Sebelum MJ sempat menjawab, Arlo sudah mendekat. Setelan navy-nya tampak mahal dan sempurna, tapi ada sesuatu dalam senyumnya yang terasa seperti mata pisau yang siap mengiris.
"Jeff! Oliver!" Arlo menyapa dengan nada yang terlalu ceria untuk seseorang yang benar-benar tulus. "Didn't expect to see you guys here."
Jeff mengangguk singkat, "Ramirez." Jari-jarinya di pinggang MJ bergerak dalam lingkaran kecil yang menenangkan.
Eleanor yang selalu tampak anggun bahkan dalam kecanggungan, tersenyum tipis. "Hai MJ." Ada sesuatu dalam suaranya yang terdengar antara penyesalan dan kerinduan menjadi satu
MJ hanya bisa mengangguk kaku. Dia bisa merasakan tatapan lapar para fotografer yang mulai menangkap drama di hadapan mereka. Bayangkan saja dua pembalap Formula 1 terkenal dan kisah cinta segitiga yang pernah menghebohkan paddock, bertemu dalam satu frame. Terlalu sayang untuk dilewatkan.
Arlo, Jeff dan Oliver membicarakan tentang teknik marketing Cavallino yang berkolaborasi dengan film blokbuster ini dan balapan selanjutnya hingga membicarakan Eleanor dan mengarahkannya pada MJ.
"El baru aja dapat kerjasama jadi brand ambassador untuk Solei Beauty," Arlo mengumumkan dengan bangga, tangannya merangkul pinggang Eleanor. "Ayahnya yang mengatur semua. You know how the Kartatmodjos are—selalu punya koneksi di mana-mana."
Eleanor terlihat sedikit tidak nyaman dengan komentar itu, tapi tetap tersenyum.
"Wah.. bagus dong," MJ memaksakan senyum, merasakan jantungnya mulai berdetak lebih cepat.
"Iya. Aku bangga sama El," Arlo menatap MJ lekat-lekat. "Remember when you used to dream about stuff like this, MJ? Being in the spotlight? Tapi waktu itu kamu masih terlalu... apa ya istilahnya? Nggak percaya diri?"
Jeff merasakan tubuh MJ menegang.
"Arlo," Eleanor menegur pelan, tapi Arlo seolah tidak mendengar.
"But look at you now!" Arlo melanjutkan, senyumnya semakin lebar tapi matanya dingin. "Akhirnya bisa dapat apa yang kamu inginkan selama ini. Spotlight, famous boyfriend, everything. I guess some people just need to... trade up to get what they want, setuju nggak?"
MJ merasakan dunia di sekitarnya mulai berputar. Parfum Arlo yang familiar—campuran cedar dan leather yang dulu selalu membuatnya merasa aman—kini terasa mencekik. Suara-suara di sekitarnya mulai berdengung, lampu-lampu kamera berkedip seperti warning signs.
"I think that's enough," Oliver, yang sedari tadi diam, akhirnya bersuara. Matanya menatap tajam ke arah Arlo.
"What? I'm just catching up with old friends, kan kamu tahu aku dan kakak kamu ini menghabiskan waktu yang cukup lama bersama," Arlo mengangkat bahu. "Ngomong-ngomong El, bukannya dulu kamu sama MJ pernah berencana buat—"
"Kita harus pergi sekarang," Jeff memotong, suaranya rendah dan berbahaya. "Filmnya sebentar lagi mulai."
Mereka berpisah dengan ketegangan yang terasa seperti benang tipis yang siap putus. MJ hampir tidak mendengar kata-kata perpisahan yang diucapkan, terlalu fokus pada usahanya mengendalikan napas yang semakin tak beraturan. Begitu masuk ke lobi yang lebih sepi, jauh dari sorot lampu dan tatapan penuh ingin tahu, pertahanannya runtuh.
"Michelle Jane," Jeff menuntunnya ke sudut yang tersembunyi di balik pilar marmer. "Hei, liat aku."
MJ menggeleng, jari-jarinya yang dingin mencengkeram lengan jas Jeff. "I can't—the way he looked at me—"
"Fokus sama suara aku," Jeff memegang kedua bahu MJ, membungkuk sedikit untuk menyamakan tingginya dengan MJ. "We're gonna breathe together, okay?"
"Jeff–"
"Shhh, ikutin aku," Jeff mengambil satu tangan MJ, meletakkannya di dadanya. "Feel my heartbeat. Now, breathe in slowly... that's it. Hold for four counts..."
MJ mencoba mengikuti instruksi Jeff, fokus pada detak jantungnya yang stabil, pada suaranya yang lembut menghitung setiap tarikan napas.
"You're doing great," Jeff berbisik, ibu jarinya mengusap air mata yang MJ tidak sadar telah jatuh. "Sekali lagi. In... and out..."
Perlahan, napas MJ mulai normal. Tapi tangannya masih mencengkeram jas Jeff, seolah takut untuk melepaskan.
"Maaf," MJ akhirnya berbisik. "Gue kira... aku kira aku udah kuat."
"Hey, no," Jeff mengangkat dagu MJ lembut. "Having panic attacks doesn't make you weak. It makes you human."
"Arlo dulu pernah bilang—"
"Arlo salah," Jeff memotong tegas. "Tentang semuanya. Apalagi tentang kamu."
MJ menatap Jeff, menemukan sesuatu dalam matanya yang tidak pernah dia lihat di mata Arlo–pengertian, kesabaran dan sesuatu yang lebih dalam tapi dia takut untuk memberi nama apa yang dia lihat .
"Kamu tahu dari mana?" MJ bertanya pelan. "About the breathing exercise?"
"Cleo. Adik aku." Jeff tersenyum lembut. "Dia biasa mengalami serangan panik seperti ini sejak kecelakaan pertamanya. This... this is how I help her through it."
"You never told me that."
"Kadang ada beberapa cerita," Jeff mengusap pipi MJ dengan ibu jarinya, "yang perlu diceritakan hanya ketika seseorang membutuhkannya."
MJ merasakan sesuatu bergetar di dadanya. Karena ini, Jeff yang membagi cerita personal untuk membuatnya merasa tidak sendiri, Jeff yang menangani breakdownnya dengan penuh pengertian dan kesabaran dan apakah ini masih bisa dikategorikan sebagai sandiwara?
Sejujurnya, MJ tidak berani untuk menjawab itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/377730712-288-k866928.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rule Number Five
RomanceMichelle Jane Kennedy, seorang jurnalis fesyen, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis setelah ditugaskan mewawancarai Jeff Gautama, rekan setim adiknya di F1. Jeff, seorang pembalap berbakat dengan reputasi buruknya di luar trek, berad...