Jeff berdiri di podium, senyumnya sedikit terpaksa saat dia mengangkat trofi P2. Sinar matahari Miami yang terik membasahi wajahnya, sementara sorak-sorai penonton membahana di sekitar sirkuit. Meskipun podium adalah prestasi besar, Jeff tidak bisa sepenuhnya menikmati momen itu. Dia merasa ada sesuatu yang kurang. Sesuatu yang seharusnya ada di genggamannya hari ini, tapi justru melayang ke pembalap di sebelahnya—P1. Dia berusaha menyembunyikan rasa kecewa di balik senyumnya untuk kamera, tapi dalam hatinya, Jeff tahu bahwa ini bukan hasil yang dia inginkan. Terlebih lagi, bukan hasil yang ayahnya inginkan.
Setelah upacara podium selesai, Jeff berjalan menuju media pen untuk sesi wawancara dengan Sky Sports. Suasana di sana penuh dengan wartawan yang sudah siap dengan mikrofon dan kamera. Jeff menghembuskan napas pelan, memasang wajah profesional seperti yang selalu ia lakukan.
"Jeff, congratulations on P2 today," ujar presenter Sky Sports dengan antusias begitu Jeff tiba. "It was a close race, but unfortunately you couldn't get the win. How do you feel about the result?"
Jeff tersenyum tipis, meskipun hatinya tidak sepenuhnya setuju dengan kata "congratulations." "Thanks. It was a tough race, for sure. The car felt good, but there were some issues with grip in the second half of the race. I pushed as hard as I could, but sometimes it just isn't enough."
"You're always up there fighting for the podiums," lanjut presenter itu. "But we know you're aiming for P1. What do you think you need to improve to finally secure that win?"
Jeff menghela napas, sedikit frustrasi dengan pertanyaan itu, tetapi ia tahu bahwa ini adalah bagian dari pekerjaannya sebagai pembalap F1. "It's all about small margins. Today, it just didn't work out in my favor. But we'll analyze the data, see where we can improve, and come back stronger in the next race."
Wawancara berakhir dengan beberapa pertanyaan teknis lainnya. Jeff menjawab semuanya dengan tenang dan profesional, meskipun pikirannya jauh dari tenang. Dia berjalan kembali menuju paddock, melewati kerumunan yang terus berteriak menyebut namanya. Senyum dan lambaian tangan yang ia berikan hanyalah formalitas, sementara di dalam, dia mulai merasa lelah dengan tekanan yang terus-menerus ada di sekitarnya.
Sesampainya di motorhome tim, Jeff membuka pintu ruangannya dan berharap bisa mendapatkan sedikit waktu untuk menyendiri. Tapi begitu dia masuk, seseorang sudah menunggunya di sana. Ferdinand Gautama, ayahnya, berdiri dengan wajah yang penuh amarah dan kekecewaan.
"Jeff, what the hell was that?" suara Ferdinand langsung menghantam Jeff begitu pintu tertutup. "P2? Kamu bangga dengan itu?"
Jeff langsung menegakkan tubuhnya, mencoba menahan diri untuk tidak terbawa emosi. "Pa, aku udah ngasih semuanya. Mobil di lap terakhir nggak punya grip, dan aku udah push sebisaku. P2 is not that bad."
"Not bad? Papa nggak pernah ajarin kamu untuk puas dengan jadi yang kedua," Ferdinand mendekat, tatapannya menusuk. "Papa ngajarin kamu buat menang. Kalau kamu puas dengan posisi kedua, kamu nggak layak jadi juara."
Kata-kata itu menghantam Jeff dengan keras. Selama ini, ia tahu ayahnya selalu memiliki standar yang tinggi. Tapi, semakin lama, standar itu terasa seperti di penjara. Jeff merasa bahwa apapun yang ia lakukan tidak pernah cukup baik di mata Ferdinand.
Jeff mengepalkan tangannya, menahan amarah yang mulai mendidih. Ini bukan pertama kalinya dia mendengar kata-kata seperti ini dari ayahnya. "Aku nggak puas, Pa, tapi situasi nggak selalu bisa aku kontrol. It's not always possible to win, but I am always in the fight, isn't that what matters? You were an F1 driver, you know how it is on track. "
"What matters is winning, Jeff. You have the potential, but you settle too quickly. You think these guys on the podium with you are satisfied with second place?"
Jeff paham betul perdebatan saat ini dengan Ferdinand. Perdebatan sama yang terus berulang ketika Jeff tidak menang dalam pertandingan balap. "It's not about settling, Pa. It's about pushing to the limits. Sometimes, P2 is what those limits hold."
Ferdinand menggeleng, seolah tak bisa menerima alasan Jeff. "Papa nggak peduli sama alasan kamu. Papa peduli hasil. Kalau kamu nggak bisa kasih hasil terbaik, kamu sekarang cuma menyia-nyiakan kesempatan dan potensi kalau kayak gini."
"Kayak gimana? Gimana menurut Papa aku terus-terusan nyia-nyiain kesempatan? Aku konsisten di podium, aku selalu push limit, tapi Papa selalu lihat apa yang kurang. Aku nggak akan pernah cukup buat Papa, kan? Karena Papa cuma lihat apa yang Papa gagal capai dulu, bukan apa yang aku capai sekarang."
Ferdinand mendengus sambil menggelengkan kepalanya. "You think I didn't reach my limits? I pushed every race, every lap. And it wasn't enough. I won't watch you repeat my history."
Hubungan Jeff dan Ferdinand memang sangat rumit berbeda dengan Oliver, rekan timnya, yang mungkin saat ini dihujani kata-kata pujian hangat dari sang ayah walaupun dia hanya P4 bahkan tidak podium. Jeff tahu, bagi ayahnya, Formula 1 bukan hanya sekadar olahraga. Ini adalah obsesi, mimpi yang tak pernah tercapai oleh Ferdinand ketika dia masih balapan. Dulu, Ferdinand Gautama adalah pembalap yang berbakat, tapi dia gagal meraih gelar Juara Dunia. Kegagalan itu menghantui Ferdinand sepanjang hidupnya. Dan sekarang, Jeff merasa ayahnya melihatnya sebagai cara untuk menebus kegagalan itu.
"Pa, ini bukan soal Papa. Ini hidup aku. Aku yang balapan, aku yang ada di mobil. Papa selalu nyuruh aku buat jadi juara dunia dan aku juara dunia kan tiga tahun kebelakang ini? Tapi aku nggak bisa terus-terusan balapan buat nebus impian Papa yang gagal," suara Jeff mulai bergetar, meskipun ia berusaha tetap tenang.
"That's where you're wrong," Ferdinand melangkah mendekat, suaranya rendah dan intens. "This is about legacy, our family's name in this sport. If you're not racing to win, you're not fulfilling your potential. That's not the Gautama way."
Jeff menggeleng. "Maybe the Gautama way needs to change. I'm not you, Pa. I race because I love this sport, not because I have something to prove."
Ferdinand tampak baru saja ditampar oleh kata-kata Jeff. Ekspresinya melembut sejenak namun tetap pada prinsipnya yang teguh. "Love doesn't bring championships, Jeff. Only relentless pursuit does."
Ferdinand menatapnya dengan tajam. "Kamu pikir kamu bisa sukses di F1 tanpa Papa? Papa yang bikin kamu bisa masuk ke dunia ini. Kalau bukan karena Papa, kamu nggak akan ada di sini sekarang."
Jeff menghela napas, merasa semakin terjepit. "I know you help me. Tapi itu bukan berarti Papa bisa kontrol setiap aspek hidup aku. Aku di sini bukan cuma buat jadi proyeksi Papa. Aku di sini karena aku ingin balapan, karena aku ingin jadi yang terbaik buat diri aku sendiri, bukan buat Papa."
Keduanya terdiam, ruangan motorhome terasa semakin kecil dengan ketegangan yang begitu kuat di antara mereka. Jeff merasa seperti anak kecil lagi, berusaha keras untuk memenuhi ekspektasi ayahnya, tapi selalu merasa gagal. Baginya, Ferdinand tidak pernah melihatnya sebagai seorang individu yang berdiri sendiri—selalu ada bayang-bayang impian Ferdinand yang gagal, yang terus menghantui hubungan mereka.
"Apa Papa tahu seberapa keras aku udah lewatin buat sampai di sini, Pa?" lanjut Jeff, suaranya rendah. "Aku tahu Papa kecewa sama kegagalan Papa dulu, tapi aku nggak bisa terus-terusan jadi pelampiasan Papa."
Ferdinand menatap putranya, matanya menunjukkan sedikit keraguan, meskipun dia tidak mau mengakuinya. "Kamu cuma ngomong kayak gitu karena kamu nggak tau gimana rasanya gagal jadi yang terbaik. Papa nggak mau kamu ngalamin hal yang sama."
Jeff menggeleng pelan. "You know what? You don't deserve to be called Papa."
Ferdinand tidak menjawab. Dia hanya memandang Jeff seolah-olah ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak bisa menemukan kata-katanya. Setelah beberapa detik yang terasa seperti sangat lama, Ferdinand akhirnya berbalik dan berjalan keluar dari ruangan, lalu ia terhenti dan menoleh ke arah Jeff sekali lagi sebelum akhirnya meninggalkan Jeff sendiri.
Jeff duduk di kursi, menarik napas dalam-dalam. Kepalanya berdenyut karena emosi yang baru saja dia keluarkan. Dia tahu percakapan ini tidak akan mengubah apa pun. Hubungan dengan ayahnya akan selalu seperti ini—terasa seperti medan pertempuran yang tak pernah ada akhirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rule Number Five
Любовные романыMichelle Jane Kennedy, seorang jurnalis fesyen, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis setelah ditugaskan mewawancarai Jeff Gautama, rekan setim adiknya di F1. Jeff, seorang pembalap berbakat dengan reputasi buruknya di luar trek, berad...