16: Late Night Talking

4.8K 589 38
                                    

Jarum jam menunjukkan pukul dua pagi. MJ masih terjaga, menatap langit-langit kamarnya yang dihiasi stiker bintang yang sudah memudar. Suara napas Jeff terdengar pelan dari sofa, menjadi satu-satunya pengisi keheningan malam ini. Yes, they are forced to share a room. Sebagai seorang gentleman, seperti yang Jeff katakan, dia mau tidak mau harus mengambil sofa untuk menjadi tempat tidurnya malam ini.

"Belum tidur?" suara Jeff memecah keheningan.

"Belum," MJ menjawab pelan. "Lo sendiri?"

"Nggak bisa tidur," Jeff terdiam sejenak. "Aneh ya, rasanya kayak balik ke masa lalu. Kamar lo masih sama persis kayak yang gue inget."

"Lo inget kamar gue?"

"Yeah. Dulu kan kita sering main di sini pas bokap gue ketemu sama bokap lo." Ada senyum yang muncul ketika Jeff mengatakannya. "Lo selalu ngelarang gue sama Oliver pegang-pegang koleksi majalah fashion lo."

MJ tertawa pelan. "Kalian tuh brutal banget soalnya. Hampir semua majalah gue robek gara-gara kalian."

Keheningan mengisi ruangan lagi. MJ bisa mendengar Jeff bergerak di sofanya, mencari posisi yang lebih nyaman.

"MJ?" suara Jeff terdengar berbeda kali ini, lebih serius.

"Hmm?"

"Lo beruntung, tau nggak?"

"Beruntung gimana?"

Jeff menghela napas panjang. "Punya keluarga kayak gini. Yang... real. Nggak ada pura-pura."

Ada sesuatu dalam suara Jeff yang membuat MJ bangkit dari tempat tidurnya. Dia berjalan pelan ke arah sofa, duduk di karpet di samping Jeff yang kini berbaring menyamping menghadapnya.

"Maksud lo apa?" tanya MJ lembut.

Jeff menatapnya dalam keremangan. Di bawah cahaya bulan yang menerobos lewat jendela, MJ bisa melihat ada sesuatu di mata Jeff yang biasanya tersembunyi.

"Lo tau nggak kenapa gue selalu berusaha jadi perfect di depan kamera?" Jeff bertanya pelan.

MJ menggeleng.

"Karena di rumah, kita semua udah terbiasa pura-pura sempurna," Jeff tertawa getir. "Bokap nyokap gue... mereka dijodohin. Everything had to be perfect on the surface. Perfect family, perfect son, perfect everything."

"Jeff..."

"Tapi tau nggak apa yang lucu?" Jeff melanjutkan, suaranya sedikit bergetar. "Di balik semua kesempurnaan itu... nggak ada yang beneran nyata. Semuanya cuma pura-pura."

MJ mengulurkan tangan, menggenggam tangan Jeff yang terkepal. "You can talk to me, if you want."

Jeff memejamkan mata sejenak, seolah mengumpulkan keberanian. "Tasmeera... dia bukan ibu kandung gue."

Meski sudah menduga ada sesuatu yang tidak beres, MJ tetap terkejut mendengarnya langsung dari Jeff.

"Dia udah berusaha keras jadi ibu yang baik buat gue," Jeff melanjutkan. "Dan gue sayang sama dia. Tapi kadang... rasanya ada yang kosong. Something's missing."

"Dan ibu kandung lo?"

Jeff menelan ludah. "Dia sakit. Udah lama. Dan bokap... dia bersikap seolah semua itu nggak pernah ada. Like that part of his life never existed."

MJ meremas tangan Jeff lebih erat. "Lo udah lama tau soal ini?"

"Gue tahu waktu gue umur lima belas. Nggak sengaja. Dan sejak itu..." Jeff menggeleng pelan. "Everything just felt like a lie."

"That must have been hard."

"You know what's harder?" Jeff menatap MJ. "Pura-pura nggak tau. Pura-pura semua baik-baik saja. Terus senyum di depan kamera, jadi anak yang sempurna buat bokap, padahal di dalam..." dia tidak menyelesaikan kalimatnya.

"Is that why you..." MJ ragu sejenak.

"Why I what?"

"Why you build this image? Party boy, playboy... semua itu?"

Jeff tersenyum sedih. "Maybe. Mungkin lebih gampang jadi Jeff yang semua orang ekspektasi—the troublemaker, the bad boy. At least kalo gue jadi dia, gue tau persis peran apa yang gue mainin."

"Tapi itu bukan lo yang sebenernya."

"No," Jeff berbisik. "Sama sekali bukan."

MJ menatap Jeff dalam-dalam. "So who is the real you?"

"Honestly?" Jeff tertawa pelan. "I don't know anymore, kadang gue sendiri nggak tahu siapa gue sebenernya."

"I see you," kata MJ lembut. "The real you. Pas lo cerita soal balapan dengan semangat. Pas lo bener-bener jadi diri lo sendiri, kayak sekarang."

Jeff menatapnya, ada sesuatu di matanya yang membuat jantung MJ berdebar lebih kencang. "And what do you see?"

"Someone who cares too much. Yang terlalu keras berusaha bikin semua orang happy sampe lupa sama kebahagiaannya sendiri." MJ tersenyum. "Someone who deserves to be loved for who he is, bukan karena apapun."

Jeff mengangkat tangan mereka yang bertaut. "Lo tau apa yang paling gue takutin?"

"Apa?"

"Kalau orang-orang tau yang sebenernya—all this mess, all this drama—mereka bakal..." dia menelan ludah.

"Bakal apa?"

"Bakal pergi."

MJ merasakan dadanya sesak. "Jeff... look at me."

Jeff mengangkat matanya, bertemu pandang dengan MJ.

"I'm here," kata MJ tegas. "Dan gue nggak kemana-mana."

Tatapan mereka bertemu dalam keremangan. Ada sesuatu yang berubah—sesuatu yang membuat napas MJ tertahan. Untuk sesaat, MJ lupa kalau hubungan mereka hanyalah sandiwara, kalau momen ini seharusnya tidak terjadi.

"MJ," Jeff berbisik, suaranya serak. "I..."

Suara langkah kaki di lorong memutus kata-kata Jeff. Mungkin Adinda yang terbangun untuk minum air. Momen itu seketika melenyap, membawa mereka kembali ke realita.

"You should sleep," Jeff akhirnya berkata, meski tangannya masih menggenggam tangan MJ.

"Yeah," MJ mengangguk, perlahan melepaskan tangannya. "Good night, Jeff."

"Good night, Michelle Jane."

Rule Number 5, MJ mengingatkan dirinya sendiri. Do not fall in love.

——

a/n: dar der dor... ternyata jeff bukan anaknya Tasmeera. Ada yang bisa tebak.... gimana konfliknya? siapa nyokapnya jeff? rahasia apa yang ditutupin keluarga gautama? MJ numerously telling herself to remember the rule number five. kayaknya emang jeff bikin orang jatuh hati banget ya. hmm what do you guys think?

anywaaaays, 70 votes and 30 comments for next part!! see ya there xoxo

Rule Number FiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang