Entah apa yang terjadi, tapi Agra datang kearahnya sudah menangis kencang dengan boneka kelinci ditangannya yang sangat kotor.
Anggara tentu langsung melepas apronnya, memeluk tubuh anaknya yang bahkan sudah bergetar karena menangis. "Kenapa, sayang?" Tentu ia panik, Agra tidak pernah menangis sekencang ini semenjak ia yang dipaksa mandi waktu itu. (Chapter I)
Itupun sudah bertahun lalu, membuat Anggara bingung. Azam akhirnya mengambil alih Agra, namun bukannya tenang, Agra malah semakin mengamuk.
Ia menendang angin dan bonekanya ia lempar hingga jatuh ke bawah, tangisannya semakin kencang, tapi ia masih tidak berhenti, Arson datang dengan luka di wajahnya.
"Arson?! Kenapa sayang?!" Arson menggerakkan tangannya, dan Azam tentu mengerti bahasa isyarat Arson. Anggara berdecak, ia keluar dari rumah untuk menemui orang yang mengganggu mereka.
Agra menatap Arson lalu memintanya untuk menggendongnya. Agra mengulurkan tangan masih dengan tangisan, meminta Arson untuk memeluknya juga.
Arson dengan tertatih berjalan mendekati Azam, ia menggendong Agra lalu berjalan ke arah ruang tengah.
Arson mengelus elus kepala Agra yang ada dipangkuannya, menatap pintu yang tertutup, menunggu Anggara untuk kembali masuk.
Pintu terbuka, Anggara masuk dengan darah di tangannya. Kepalan tangan itu penuh darah, Arson langsung menutupi mata Agra.
Setiap kali Agra ingin melihat Anggara, Arson langsung membuat Agra menatapnya. Agra tentu menatap Arson dengan wajah kebingungan.
Anggara melewati Arson yang memberinya kode, Anggara dengan cepat berjalan ke arah dapur untk mencuci tangan.
"Apasih?!" Arson meringis ketika tangannnya di tepis, "Adek! Jangan begitu sama Abangnya!" Agra menggembungkan pipinya, menatap ke arah lain.
Arson terkekeh, ia membuka mulut dan suara yang halus terdengar "Agra..." Agra langsung menatap sekitar, takut jika orang yang tadi kembali.
"Agra... aku disini" Agra menatap Arson, melihat jelas suaranya dari Arson, "Abang bisa ngomong?" Arson tertawa, tentu saja ia bisa.
Arson itu selective mutism, ia memilih siapa saja yang harus mendengar suaranya, jika orang itu orang tersayangnya pasti ia akan bawel.
Berbeda jika bukan, ia memilih untuk menggunakan bahasa isyarat. "Tadi Angga kenapa?!" Agra ditarik Arson untuk ke kamar.
Agra yang suaranya tidak didengar akhirnya merajuk, ia membiarkan Arson mengganti bajunya menjadi onesie, membiarkan Arson memakaikannya popok.
Agra menatap Arson dengan mata yang sayu, dan sudah tidak fokus. Arson tersenyum, ia mengelus kepala Agra lalu menaruhnya di kasur.
Anggara membuka pintu, melihat Agra terkejut karenanya. "Arson, nih susunya Agra" Arson mengambil susu itu lalu memberinya pada Agra,
Agra mengambilnya. Agra melihat jika Anggara membawa bonekanya, tangannya mengulur, membuka menutup meminta boneka itu.
"Bonekanya di cuci dulu.." Agra merengek, ia melepas dotnya, bangkit untuk mengejar Anggara. "No no, disini aja" Agra menatap Arson lalu menangis.
Ia mencoba untuk turun dari gendongan Arson tapi mengingat kekuatannya yang lemah ia hanya bisa menangis dan menangis.
Tubuhnya lemas, ia lelah menangis. Arson mengambil botol dot yang dibiarkan di kasur, mengulurkannya ke arah mulut Agra.
Agra membuka mata, melihat boneka sudah ada di pelukannya dan paci di mulutnya. Ia bangun, tak bisa, ia akhirnya merangkak untuk pergi kebawah.
Pemuda yang sepertinya seumuran dengan Arson mendekatinya, "hai? Kamu siapa?" Agra tentu tidak bisa menjawab.
Anak itu mengangkat bahu lalu menggendong Agra. Agra diam saja, melihat Anggara ia langsung mengulurkan tangan, meminta Anggara.
"Angga!!" Anak itu mengantarkan Agra pada Anggara yang sedang sibuk memasak. "Hm?" Anggara menoleh.
"Kita liat dia disana, Om. Nggak tau kenapa" Anggara menaruh sendok sayurnya lalu mengambil alih Agra.
"Makasih ya, Sayang." Anak itu mengangguk.
Anggara menggendong Agra di pinggulnya, kemudian melanjutkan masaknya. Azam sedang sakit hari ini.
Pria itu tertidur di kamar, dengan Arson yang menjaganya. Agra sibuk minum susu Anggara di botol, menatap sayu Anggara.
"Masih ngantuk, Sayang?"
Agra menggeleng, ia tidak ingin tidur sendirian. "Sebentar ya Sayang, Angga anterin ke Mas Azam dulu" Anggara menggendong Agra menggunakan satu tangan, sembari membawa mangkuk berisi bubur.
Anggara membuka pintu, melihat Arson yang masih duduk diam sembari menunggu Azam bangun.
Handuk yang sudah direndam air panas terlihat menempel di dahi Azam, dan wajah datar yang biasanya lembut itu terlihat tidak nyaman dalam tidurnya.
Anggara membangunkan Azam, memintanya untuk duduk. Menaruh mangkuk bubur di meja kecil, lalu duduk di kasur yang sudah lumayan rusak itu.
Anggara memangku Agra sembari menyuapi Azam, Arson mengambil kompres penurun panas dari luar. Memasangkannya pada Azam.
Setelah separuh bubur habis, Azam akhirnya tidak ingin lagi. Ia menolak. Anggara menyerahkan gelas berisi air putih dan langsung diterima Azam.
Arson membantu Azam minum lalu mengembalikan gelasnya. Anggara membawa Agra keluar, ia tau anak itu masih mengantuk.
Agra mulai rewel ketika pintu kamar Azam ditutup. Ia merengek, bahkan nyaris tantrum karena lelah, tapi untungnya Anggara langsung kembali ke kamar setelah menaruh mangkuk dan gelas.
Ia menekan nekan popok Agra, merasakan jika masih kering lalu mulai menimangnya. Agra beberapa kali berkedip, sebelum tertidur sepenuhnya.
Anggara mencium dahi Agra lalu menaruhnya di kasur. Anggara mengganti bajunya, yang tadinya turtleneck menjadi piyama.
Ia mematikan lampu, lalu menidurkan tubuhnya disamping Agra. Anggara menatap Agra, lalu mengecup dahinya sebelum ikut tertidur.
Perjalanan hari ini selesai dan saatnya beristirahat
Karena ada yang request bikin lebih panjang chapternya, jadi agak yapping dikit
Hehe Bai bai
KAMU SEDANG MEMBACA
Asa (Hiatus)
РазноеBapak anak tapi panggilannya Abang Adek Notes: Nggak suka silahkan pergi, lebih baik habiskan waktu dengan yg lebih penting daripada ngetik hal jahat disini. BL tipis tipis (bukan incest) suka ada AU tiba tiba WANJAI BUKU GW MASUK PERINGKAT SATU WO...