MAKASIH BUAT 1K VOTENYA

649 32 4
                                    

Selective mutism: kondisi dimana seseorang tidak mau bicara atau tidak bisa bicara.

They're 17 in this one

'hai, Nggara!! (⁠ノ⁠◕⁠ヮ⁠◕⁠)⁠ノ⁠*⁠.⁠✧'

Anggara tersenyum, menatap ponsel Aksara yang menunjukkan aplikasi notes terbuka dengan sapaan untuknya. "Halo juga Asa" senyuman manis Aksara tunjukkan sebelum kembali duduk di kursinya.

Ruang kelas hanya diisi mereka berdua, karena jam masuk sekolah mereka dimulai jam 7:30.

Sekarang baru jam 6:30. Entah apa yang dilakukan kedua anak itu disana.

"Asa, mau jajan?" Aksara mengangguk. Mereka berdua berjalan dengan tangan yang bertaut, Anggara mencoba melepas tangan Aksara karena pipinya terasa gatal tapi sepertinya Aksara tidak ingin melepas tautan mereka.

Jadi ia usakkan pipinya pada pundak Aksara. Anggara kira itu adalah afeksi yang biasa, tapi berbeda dengan reaksinya. Anggara bisa melihat jelas telinga dan leher anak itu memerah melebihi tomat.

Anggara tidak ingin membuat Aksara malu, jadi ia diamkan saja dan berpura pura tidak melihatnya.

"Asa mau apa?"

Aksara menunjuk tempat soto, "mau itu? Pake nasi? Sambel?" Aksara mengeluarkan ponselnya dari kantung, mengetikkan sesuatu di sana 'mau pake nasi, sambelnya banyakin(⁠ ⁠╹⁠▽⁠╹⁠ ⁠)' Anggara mengangguk, ia melepas tautan mereka sebelum kembali tertarik ke pelukan Aksara.

Senyuman manis yang tadi ada berubah menjadi senyuman yang turun, Anggara terkejut tapi ia langsung memutar tubuhnya untuk memeluk Aksara.

"Yaudah, ayo ikut"

Aksara mengangguk, mengikuti Anggara yang berjalan ke arah penjual kantin. "Bu, mau 1 pake nasi sambelnya banyakin" ibu itu tersenyum menatap Anggara dengan Aksara yang menempel padanya.

"Iya neng, ditunggu ya"

"Saya tinggal dulu ya Bu, mau beli yang lain"

Anggara berjalan ke arah penjual mi lalu membeli mi pedas kesukaannya. 'Nggara gak sakit perut?' Anggara menggeleng, "aman perutku" Anggara juga membeli sosis lalu kembali duduk.

Soto Aksara sudah sampai dimeja yang Anggara pinta tadi, dan akhirnya mereka makan dalam diam. 7:15 mereka sudah kembali di kelas, dengan Anggara yang duduk di dekat jendela dan Aksara yang bersandar padanya.

Anggara melirik Aksara, melihat jika anak itu tertidur. 15 menit berlalu, guru sudah masuk. Guru itu tentu melihat Aksara yang tertidur, tapi ia tak bisa apa apa.

"Asa, bangun"

Anggara mengelus pipinya, hingga Aksara terbangun. Anak itu menguap lebar, menunjukkan taringnya. Anggara penasaran, tangannya secara tidak sadar mendekati mulut Aksara.

Menyentuh taringnya menggunakan telunjuknya dan merasakan betapa tajamnya taring Aksara. Aksara membeku dengan mulut terbuka.

Suaranya tertahan di tenggorokannya, Aksara kembali sadar. Membiarkan Anggara menyentuh taringnya.

"Eh-maaf!"

Aksara tersenyum lalu menggeleng, mengetikan sesuatu di ponselnya 'nggak papa(⁠ ⁠╹⁠▽⁠╹⁠ ⁠)' Anggara sekali lagi mengucapkan maaf dan hanya dibalas senyuman Aksara.

Pulang sekolah, Anggara menanyakan tentang Aksara yang terlihat tak menggendong tas sama sekali.

"Beneran Asa ada tugas disini?"

Anggukan Aksara beri, ia menunjukkan ponselnya 'aku perlu nyari buku dulu di perpusÓ⁠╭⁠╮⁠Ò nanti kalau udah pulang aku kasih kabar(⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)⁠✧' Anggara mengangguk "oke, nanti kasih kabar ya! Aku duluan" Aksara melambaikan tangan lalu berbalik kembali ke arah bangunan untuk 'mencari buku'.

"Bermain-main?"

Aksara dengan senyum mengerikannya itu berjalan ke arah gudang, membuka pintu gudang yang mulai berkarat.

"Siapa yang mengirim kalian kesini?"

Aksara melirik troli dressing yang ada di gudang, memikirkan pisau mana yang harus ia gunakan. "K-kami dikirim ke sini oleh Savira! Kami mohon! Jangan bunuh kami!" Aksara tersenyum manis.

Berbanding terbalik dengan senyumannya, tangan Aksara secara perlahan mengoyak dagu hingga leher pria yang lebih tua itu.

Teriakan terus terdengar dari ruangan itu, Aksara berdecak. "Jawab, Savira siapa yang kalian patuhi." "S-savira Firdaus..." Aksara tersenyum menatap orang yang menjawabnya.

"Pintar" ia menaruh kembali pisau penuh darah itu lalu melepas ikatan pada orang yang tadi menjawabnya.

"Apa jika ku lepaskan kau tak akan menguntit Anggara lagi?" Aksara menodong pistol ke arah leher pria itu.

"A-aku bersumpah!! Kumohon jangan bunuh aku!!" Aksara tersenyum, "jika kau melanggarnya, aku akan mencarimu hingga ke ujung dunia, oke?" Pistol itu bergerak turun dari lehernya hingga sampai ke arah jantungnya.

"S-saya paham!!"

Pintu dibuka dan orang itu berlari tanpa melihat ke belakang. Aksara tersenyum. "Oke, sekarang kalian harus aku apakan?" Aksara tersenyum sebelum teriakan terdengar dari dalam.

Jam 4 sore, Aksara sudah pulang tentu saja. Pintu gudang dibuka, dan orang yang membukanya langsung pingsan melihat kepala menggelinding hingga ke kakinya.

Polisi dipanggil, dan Anggara juga terkejut. Ia bahkan menanyakan Aksara tentang apa yang terjadi, tapi Aksara hanya menjawab sepulang dari perpus ia hanya membeli es krim dan memakannya di sana.

Sebelum kembali pulang.

Anggara percaya tentu saja, apalagi di wajah Aksara ada bekas coklat sedikit. Kasus ditutup dengan penuh tanda tanya.

Tidak ada jejak, tidak ada saksi mata, tidak ada petunjuk apapun membuat polisi kebingungan. Aksara tersenyum lebar melihat Anggara yang memeluknya karena melihat mayat mayat itu.

Ia tau 4 dari 5 orang itu pernah menyentuh Anggara, tangannya ia potong dan ia beri bungkusan yang berbeda dengan tubuhnya.

Biarlah itu akan menjadi 'hadiah' untuk para polisi.

Selesai

GILA, MAKASIH LOH BUAT 1K VOTE, GILA KALIAN KEREN BANGET MAU YANG UDAH DUKUNG AKU DARI LAMA ATAU YANG BARU MAKASIJ SEMUANYAAAAA

Asa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang