11. Setitik Kebaikan
"Malam ini aku tidak akan pulang! aku mau menginap di apartemen-nya Widi!"
"A-APA...!?" Serena tersentak.
Ardhito menatap santai. "Kenapa? setidaknya sekarang aku tidak menyembunyikannya lagi. Jadi kamu tidak perlu menyuruh orang untuk mengikutiku."
Serena menatap nanar. "Apa kamu serius mau begini, ha? apa kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan sekarang? KAMU HANYA AKAN MENGHANCURKAN DIRI KAMU SENDIRI, DHIT...!"
"...."
Ardhito terdiam sebentar, lalu kemudian mengulum senyum. "Maksudnya hidup kamu?"
"Apa?"
"Satu-satunya yang hancur hanya kamu, Serena!" ledek Ardhito.
Serena termangu dengan rasa sesak yang menghimpit dada. Sementara Ardhito mendekatkan wajahnya ke telinga Serena, lalu berbisik. "Kalau kamu tidak suka aku begini... ayo kita bercerai saja!"
Hening.
Serena membeku. Tak bisa berkata-kata. Terdiam seperti patung dengan tatapan nanar dan bibir bergetar menahan tangis. Sepeninggal Ardhito, air matanya meluncur di kedua pipi. Serena terisak tanpa suara. Bagaimana bisa Ardhito melukainya secara terang-terangan seperti itu? Bagaimana bisa Ardhito menjadikan kelemahan Serena sebagai alasan baginya untuk mendua...?
Kehidupan Serena pun terasa semakin kelam semenjak Ardhito terang-terangan menjalin hubungan dengan Widi. Ardhito semakin menjadi-jadi. Mahligai rumah tangga mereka semakin retak. Ardhito bahkan tidak lagi menyentuh Serena. Setiap malam Serena hanya bisa termenung menatap langit. Bahkan untuk sekedar menangis pun ia sudah terlalu lelah.
Seperti malam ini...
Hari ini adalah perayaan penikahan mereka, tapi Ardhito sudah melupakannya dan tidak lagi peduli. Tak ada lagi kejutan. Tak ada lagi perayaan penuh kemesraan. Tak ada lagi canda tawa yang menghangatkan hati. Semuanya berganti menjadi kesunyian yang terasa sangat mengerikan bagi Serena.
"Apa yang aku nantikan... dia tidak akan mengingatnya," bisik Serena mengingatkan dirinya sendiri.
Serena melirik jarum jam yang menunjukkan pukul 22.00 malam. Ketika akan beranjak ke kamar tidur, tiba-tiba ada yang menekan bel pintu.
Serena mengernyit. "Siapa yang bertamu jam segini?"
Sebelum membuka pintu, Serena memeriksa dari balik kaca sebentar. Setelah melihat siapa yang datang,
ia buru-buru membukakan pintu.
"Mas Ario!"
Serena terkejut karena kemunculan mantan CEO agensi yang menaunginya.
"Hai, Serena!" lelaki berkacamata bernama Ario itu menyapa canggung.
"Silakan masuk dulu, Mas."
Sembari melangkah masuk, Ario kembali bersuara. "Maaf kalau saya bertamu malam-malam begini."
"Tidak apa-apa, Mas... Astaga! Mas kapan balik dari US?" tanya Serena.
"Saya sudah sebulan lebih di Indonesia."
"Eh, mau minum apa, Mas?" Serena kembali bangun berdiri.
"Tidak usah repot-repot."
"Teh? kopi?"
Mas Ario lekas menolak. "Tidak usah. Saya habis minum kopi."
"Yakin, nih?"
"Iya."
Serena pun kembali duduk. Mas Ario adalah sosok yang sangat berjasa dalam karir Serena dan Ardhito. Ia sebelumnya menjabat sebagai CEO agensi yang menaungi Serena dan Ardhito. Tapi kemudian Mas Ario mendapatkan tawaran pekerjaan di US dan melepas jabatannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Marriage (END)
RomancePernikahan dua bintang besar, Ardhito Sofyan dan Serena Howey sukses menghebohkan jagad hiburan tanah air. Semua orang sepakat bahwa mereka adalah pasangan sempurna. Pertemuan mereka berawal dari project kerja sama dalam sebuah film yang sukses besa...