BAB 19

152 11 0
                                    

19. Badai Pasti Berlalu

Gerakan jemari Serena yang sedang memulas krim malam ke wajahnya terhenti. Dia tertegun menatap bayangannya di cermin ketika teringat perkataan Ardhito. Lelaki itu mengungkapkan niatnya untuk membatalkan gugatan cerai yang sudah dia layangkan. Ardhito memohon untuk diberi kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Ardhito meminta Serena kembali memikirkan matang-matang keputusan untuk bercerai.

"Kenapa malah jadi seperti ini?" bisik Serena lirih.

Perasaan galau mulai menyelinap ke dalam hati. Menciptakan keraguan yang membuat Serena sedikit bimbang pada pilihan yang sudah ia ambil. Padahal sebelumnya Serena sangat yakin dengan keputusannya. Lama Serena tertegun, hingga kemudian kenyataan kembali membuatnya tersadar.

"Ya... dia jadi seperti itu karena bermasalah dengan Cherry... jika saja hubungan mereka berjalan lancar, pasti Dhito akan menyambut dengan gembira perceraian ini."

Serena tersenyum kecut. Sedikit merasa sesak, tapi pikirannya kini kembali terang benderang. Selama ini ia sudah lelah dalam bertahan. Serena sudah dipenuhi oleh keraguan dan rasa tidak percaya. Serena percaya bahwa perasaan Ardhito kepadanya sudah berubah. Cinta yang dulu digaung-gaungkan sudah sirna.

Serena kembali berkata pada dirinya sendiri. "Dua kali... dia sudah dua kali mengkhianati kamu! dia juga melakukan semua hal gila untuk bisa berpisah. Ingat itu, Serena!"

Ia mengangguk-angguk dengan tatapan mata yang berubah sayu. "Ya... ini adalah keputusan terbaik. Aku sudah berada di jalan yang benar."

Selama tiga tahunan belakangan ini ia telah hidup dalam neraka setiap harinya. Kalaupun saat ini Ardhito bersikap baik. Itu hanyalah karena ia bermasalah dengan wanita simpanannya, Cherry. Ardhito ibarat seekor anak singa yang kini sedang terluka dan mengeong seperti anak kucing. Ketika nanti lukanya sudah sembuh, dia akan kembali mengaum dan menerkam.

"Manusia adalah mahluk yang sulit berubah...."

Mungkin pemikiran Serena terkesan picik. Tapi semua itu ia lakukan untuk melindungi dirinya sendiri. Untuk melindungi hatinya yang sudah terluka. Untuk memulihkan jiwanya yang sudah hancur berderai.

Dalam keadaan yang hening itu, Serena mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia tahu itu adalah Ardhito dan Serena merasa malas untuk meladeninya lagi. Semua omong kosong yang Ardhito utarakan tidak akan mengubah keinginan Serena untuk berpisah. Serena buru-buru mematikan lampu dan langsung berbaring di ranjang. Menarik selimut hingga menutupi wajah dan memicingkan mata rapat-rapat.

Pintu kamarpun dibuka pelan.

Serena meringis dengan mata terpejam.

"Seharusnya aku mengunci pintunya," batin Serena.

"...."

Pintu dibuka lebih lebar dan Ardhito melangkah masuk. Ardhito berjalan memutar tempat tidur mendekati Serena.

Perlahan Dhito duduk di tepi ranjang, lalu menatap Serena lekat-lekat. Cukup lama ia duduk tertegun menatap wajah itu. Hingga matanya terbiasa dalam kegelapan dan bisa melihat wajah Serena lebih jelas.

Tatapan mata penuh penyesalan tergurat di wajahnya. Ardhito menghela napas sesak bersama rasa bersalah yang membelit hati. Kemudian jemarinya bergerak mengelus pipi Serena pelan. Perasaannya kian getir saat merasakan lembut wajah istrinya itu.

"Maafkan aku, Serena...."

Ardhito kemudian mengecup kening Serena lama. Dia terus mengecupnya dengan mata terpejam dan seperti enggan untuk beranjak.

Kemudian barulah Ardhito menarik wajahnya, lalu merapikan selimut Serena. Setelah itu Ardhito beranjak pergi dan menutup pintu kamar kembali.

Saat itulah Serena langsung membuka mata, lalu mengembuskan napas yang sedari tadi di tahan. Perlakuan Ardhito barusan menggerakkan sisa-sisa rasa yang ada. Kecupan hangat yang lama di kening Serena membuat pikiran Serena kalut.

Perfect Marriage (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang