BAB 14

33 5 0
                                    

14. Maafkan Aku, Serena...

Serena masih menatap tak percaya pada Ardhito yang kini duduk tertegun di hadapannya. Lelaki itu terus saja menunduk dan tidak berani menatap Serena. Sudah sekitar tiga puluh menit berlalu, tapi Ardhito tetap bungkam. Sementara Serena masih menunggu jawaban atas segala tanya tentang kemunculan Ardhito yang tiba-tiba. Serena melipat tangan, lalu mengembuskan napas gusar.

"Kenapa kamu tiba-tiba datang ke sini? bukan... bagaimana kamu tahu aku ada di sini, ha?" selidik Serena kesal.

"...."

Ardhito tidak menjawab.

Serena menatap kesal. "Hey! apa kamu tiba-tiba bisu dan tidak bisa bicara?"

Ardhito tetap bungkam dan itu membuat Serena merasa frustasi. Serena ingin mengomel lagi, tapi kedatangan mbak Nita membuat Serena mengurungkan niatnya. Mbak Nita datang membawakan kopi untuk Ardhito.

"Masih suka kopi, kan?" tanya mbak Nita sambil meletakkan cangkir kopi itu ke meja.

Ardhito mendongak, lalu tersenyum. "Terima kasih, Mbak."

Serena langsung melengos. "Cih, tiba-tiba dia bisa bicara kembali."

"Hampir dua kali saya dibuat serangan jantung... pertama karena kedatangan Serena yang tiba-tiba, kedua kamu juga muncul mendadak, Dhit. Kalian kompak sekali. Hahahaha." suara tawa mbak Nita terdengar sangat dipaksakan. Apalagi saat Serena melayangkan tatapan sengit padanya. Mbak Nita langsung ciut dan tidak membalas tatapan Serena yang menyeramkan.

"Bagaimana kabar Mbak Nita?" tanya Dhito.

Mbak Nita tersenyum. "Tidak pernah sebaik ini. Saya sangat senang karena kehadiran kalian berdua di sini."

"Mbaaak...." tegur Serena.

"Emang gitu kok! kalian berdua ingat nggak... ketika dulu kita bersama-sama meresmikan gedung yang sekarang jadi perpustakaan? Saat itu sangat menyenangkan sekali bukan? kita dibantu para warga bergotong royong untuk membuat tempat ini menjadi lebih nyaman dan bersih. Memasak bersama-sama, tertawa dan bercanda... malamnya kita semua duduk mengitari api unggun dan bernyanyi. Saat itu Ardhito jadi pemain gitarnya. Hah... malam itu benar-benar terasa sangat istimewa," kenang mbak Nita.

Serena dan Ardhito sama-sama tertegun. Melihat respon keduanya, Mbak Nita tersenyum dan lanjut bercerita.

"Kalian masih ingat juga tidak...? saat warga desa memakaikan kalian berdua pakaian pengantin khas

adat Lembata? kalian di arak memakai tandu berkeliling desa. Orang-orang yang berdiri di pinggir jalan melempari kalian dengan bunga. Saat itu kalian mengatakan semua itu jauh lebih berkesan daripada pesta mewah yang digelar saat resepsi pernikahan," lanjut mak Nita.

Serena menghela napas sesak.

Sementara Ardhito mengangguk-angguk, lalu terpekur.

"Hingga detik ini para anak-anak masih menganggap kalian raja dan ratu mereka."

Serena tergelak kali ini, namun dengan cepat berdehem agar tawa itu tidak pecah. Sementara Ardhito juga mengulum senyum dan memalingkan wajah agar tidak ketahuan.

"Ratu Serena dan Raja Ardhitoooo...." suara mbak Nita dibesar-besarkan, terkesan sengaja meledek.

"Udah ah, Mbak!" Serena merasa malu.

Ardhito menimpali. "Raja dan ratu apaan coba."

Mbak Nita tersenyum. "Nah gitu dong... senyum kalian! saya tidak tahu apa yang sedang terjadi antara kalian saat ini. Saya pribadi juga tidak punya kapasitas untuk ikut campur. Tapi yang jelas... di sini adalah tanah kebahagiaan, ingat...! kami tidak menerima perselisihan ataupun kesedihan di tempat ini."

Perfect Marriage (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang