BAB 13

32 4 0
                                    

13. Semilir Angin dan Hati Yang Resah

Serena memejamkan matanya sambil tersenyum. Membiarkan embusan angin yang sejuk membelai wajah. Terasa dingin saat terkena kulit. Memberikan sensasi segar yang menenangkan. Saat ini dia sedang duduk di tengah hamparan bukit yang hijau. Di bawah sana, lembah membentang luas yang ditutupi pepohonan. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah keindahan alam yang masih terjaga. Tak ada gedung-gedung tinggi. Tak ada langit yang ditutup polusi. Untuk sejenak Serena bisa melupakan siapa dirinya.

Saat ini penampilan Serena pun terlihat sangat berbeda. Tidak ada satu pun riasan yang melekat di wajahnya. Bahkan saat ini ia tidak memakai alas kaki. Kini kelopak matanya kembali terbuka. Serena melayangkan pandangan ke semua penjuru, lalu tersenyum. Bumi Indonesia Timur memang tidak pernah mengecewakan untuk perbaikan jiwa. Di belakang sana, tepat di tengah-tengah bukit, terdapat sebuah bangunan sekolah yang dibangun oleh Serena untuk anak-anak di Lembata. Tak hanya sekolah, Serena juga membangun perpustakaan dan panti asuhan bagi anak-anak yang kurang beruntung alias tidak memiliki keluarga.

Ya... rupanya Serena terbang ke Nusa Tenggara Timur, tepatnya di kabupaten Lembata. Serena mengunjungi tempat itu pertama kali sekitar lima tahun lalu dan ia langsung jatuh cinta pada segala yang ada di sana. Serena menyukai orang-orang Timur yang ramah. Senyuman anak-anak itu tak pernah gagal memberikan kehangatan di hatinya. Sampai akhirnya Serena memutuskan untuk berdonasi membangun sebuah sekolah gratis untuk anak-anak setempat.

Serena selalu menyisihkan penghasilannya untuk biaya operasional sekolah dan juga panti asuhan itu. Dan setiap tahunnya, Serena selalu menyempatkan diri untuk berkunjung. Di awal pernikahan, Serena juga mengajak Ardhito ikut dengannya. Namun setelah keadaan rumah tangga mereka memburuk, Serena hanya pergi seorang diri dan bahkan tidak lagi memberitahu Ardhito bahwa dia berkunjung ke Lembata, seperti kali ini.

"Kopinya, Buk!"

Teguran itu membuat Serena mendongak. Terlihat seorang wanita rambut pendek berkacamata menyodorkan secangkir kopi yang masih mengepulkan asap.

Serena tersenyum. "Thanks Mbak Nita."

Wanita bernama Mbak Nita itu ikut duduk si samping Serena yang kini sedang menatap hamparan pemandangan di depannya. Mbak Nita dulunya adalah salah satu staf di agensi Serena yang lama. Setelah bercerai dengan mantan suaminya yang ketahuan berselingkuh, ia memutuskan resign dan mengabdikan diri sebagai pekerja sosial. Saat itulah Serena menawarkan Mbak Nita sebagai pengelola sekolah yang ia bangun di Lembata. Mbak Nita menyambut tawaran itu dengan suka cita. Karena memang sesuai dengan passion-nya, Mbak Nita sangat betah dengan pekerjaannya hingga detik ini.

Mbak Nita meniup kopinya, lalu menyeruput pelan sambil melirik Serena. "Ehem... ada apa nih? tiba-tiba datang tanpa kabar?"

"Kenapa? memangnya aku tidak boleh datang ke sini?" tanya Serena.

"Oh tentu boleh dong. Kan, anda pemilik dan donatur tetapnya. Tapi biasanya kan ngasih kabar dulu. Seenggaknya kita di sini bisa persiapan untuk menyambut kamu. Siapin karpet merah, tari-tarian sampai hidangan juga," oceh Mbak Nita.

Serena tergelak. "Apaan sih, Mbak! lebay deh."

"Lah... kamu kan artis... jadi emang harus jalan di karpet merah toh."

Senyum di wajah Serena memudar. "Sepertinya aku sudah muak berjalan di karpet merah. Tidak ada lagi sensasi menyenangkan. Tidak ada lagi rasa bangga ketika berjalan di atasnya. Bahkan kerlap kerlip kamera itu terasa sangat menganggu mata."

Hening.

Keadaan menjadi sunyi beberapa saat. Mbak Nita memerhatikan Serena lekat-lekat. Mencoba mengartikan raut wajah yang berubah sendu itu. Kedatangan Serena memang membuat mbak Nita terkejut. Lantaran Serena sudah berkunjung di awal tahun lalu. Jelas kedatangan Serena yang sangat tiba-tiba itu menimbulkan tanya di benak mbak Nita.

Perfect Marriage (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang