"ARRRGGGHH MANUSIA BRENGSEK MANA YANG NGELAPORIN SEMUA ITU KE PAPA HAH?!!!"
"Naira, pertama-tama duduk dan kita bicarakan baik-baik." Sebastian memperbaiki kacamata bening yang terbingkai di wajahnya, dari ujung sofa ia memandang Naira resah karena beberapa hari ini hanya ada 2 hal yang gadis itu lakukan: menangis dan tantrum bak remaja puber kedua. "Naira Bashira Kazuya!"
Naira berbalik, sejenak sadar betapa berantakan kamarnya, terdapat banyak bekas tisu di lantai, barang-barang yang berjatuhan serta seprei basah dari bekas air mata yang jadi saksi bisu setersiksa apa Naira akhir-akhir ini. Meski demikian Naira belum bisa berpikir jernih, ia masih pundung oleh amarah dan jika ada definisi kesetanan sesungguhnya Sebastian berani bilang kalau Naira adalah representasi yang cocok sebab begitu Sebastian memanggil namanya, Naira kontan melangkah cepat dan mencengkram kerah baju Sebastian layaknya preman Yakuza siap menebas kepala korban.
"GUE TAU!" Naira menarik kerah Sebastian makin kencang, matanya melotot lebar.
"Hah?"
"ELU KAN?! JANGAN-JANGAN ELU YANG LAPORIN GUE KE PAPA KAN?! NGAKU LO BASTIAN!!! BAJINGAN GIL———"
"Hadeh Naira kalau lo mau lampiasin emosi tolong jangan sekarang, ingat cuma ada gue disini yang belain lo." seakan sudah terbiasa, Sebastian merespons Nona yang ia layani itu dengan nada terlampau sangat santai dan datar. "Duduk dan kita cari solusinya bareng."
Naira mengerang nelangsa, ia melepas cengkraman dan membuang diri ke sofa sambil menendang-nendang kaki ke udara kesal. "Gue nggak mau nikah Bastiaaannnnn! Tolongin gue huwaaaawww."
"Jangan ngerengek, lo jelek banget kalau lagi nangis."
"Anji*ng."
"Dari pada lo fokus cari tahu siapa yang ngelaporin, mending lo pikiran gimana caranya supaya bokap lo mau batalain pertunangan lo,"
"Emang bisa ya?"
"Gue belum selesai ngomong," Sebastian bernapas jengah. "Walaupun mustahil sih."
"LO NGGAK NGEBANTU JINGAN!"
"Hm tapi mungkin pernikah bukan ide yang buruk Naira."
"LO GILA YA?! Tadi katanya mau belain gue kenapa sekarang lo ngedukung supaya gue nikah?!"
"He is Elang Izanagi."
"Perseten! Mau dia Izinigi kek Izanjing kek gue nggak peduli POKOKNYA GUE NGGAK MAU NIKAH SAMA SI UNGGAS ITU!!!"
"Namanya Elang, Ra. Elang! Bukan unggas."
Naira merontak disela baringnya di sofa panjang, ia lebih mirip anak kecil yang tidak dibelikan permen. "GUE NGGAK MAU NIKAH SAMA OM-OM PEYOT KAYAK DIA NAJISSSS!!! POKOKNYA NGGAK MAUUUU!!!"
Naira tak dapat membayangkan neraka seperti apa yang akan ia dapatkan kalau menikah dengan keturunan Klan Izanagi. Mereka adalah Klan keturunan Jepang yang juga menetap di Indonesia, punya sejarah panjang sejak orde lama seperti Kazuya dan memiliki perusahaan manufaktur salah-satu yang terbesar di Asia. Kebetulan anak pertama mereka ikut mendaftar sebagai calon tunangan di suksesi tarechiyo, Naira ingat betul kalau ia pernah beberapa kali ketemu langsung dengan Elang Izanagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Welnusa School II: The Summer After Rainy
RomantikBisa dibaca terpisah dari Welnusa School I; The Winter Found His Butterfly _______________________ Bagaimana jadinya kalau Sekretaris seorang anak konglomerat, justru mantan pasien Rumah Sakit Jiwa? Niel Bharta Kazuya tak pernah mengira bahwa Ayahn...