Aku tak pernah menyangka bahwa hari biasa di sekolah bisa mengubah seluruh rutinitasku. Seperti hari pertama di kelas ini, saat Laras masuk. Aku ingat dengan jelas saat itu. Hari itu, suasana kelas tiba-tiba berubah. Semua mata tertuju pada satu sosok yang baru saja melangkah masuk—Laras. Itu adalah pertama kalinya aku melihatnya.
Dia tidak masuk dengan gaya yang mencolok, tidak seperti yang biasanya dilakukan orang baru. Laras hanya berjalan tenang, mengenakan seragam dengan potongan rambut rapi dan sepatu yang mengkilap. Tanpa berbicara sepatah kata pun pada siapapun, dia langsung melangkah ke bangku kosong di bagian belakang kelas. Itu membuat beberapa orang di kelas tercengang. Mereka tentu saja ingin tahu siapa dia. Tapi Laras tampaknya tidak peduli dengan perhatian orang lain. Matanya lurus menatap lantai, dan seolah-olah dunia ini hanyalah ruang hampa yang tak bisa mengganggu pikirannya.
Aku duduk di bagian belakang kelas, di dekat jendela. Aku bisa melihat semuanya dengan jelas. Laras duduk di tempat yang jauh dari keramaian. Semua orang pada mulanya ingin berbicara dengannya, tetapi mereka merasa ragu. Aku bisa merasakan itu. Orang-orang selalu ingin tahu lebih banyak tentang orang baru, tetapi Laras bukan orang yang mudah didekati. Bahkan aku pun merasa seperti itu—tertarik, tetapi bingung bagaimana harus mendekat.
Hari pertama berlalu begitu saja tanpa percakapan berarti antara kami. Aku hanya mengamatinya, melihatnya lebih banyak menyendiri daripada berbicara dengan orang lain. Tapi ada sesuatu yang menarik perhatianku, sesuatu yang lebih dari sekadar penampilan atau sikapnya. Laras memiliki ketenangan yang sulit dijelaskan, seolah-olah dia datang dari dunia yang jauh berbeda, dunia yang jauh dari hiruk-pikuk kehidupan sekolah.
Beberapa hari kemudian, aku mulai memperhatikan bahwa Laras selalu memilih untuk berada di tempat yang sepi. Di waktu istirahat, sementara yang lain berlarian ke kantin atau mengobrol di koridor, Laras lebih memilih untuk tetap di kelas atau berjalan ke taman belakang sekolah. Aku yang biasanya juga lebih suka berada di tempat yang sepi, mulai memperhatikan rutinitasnya.
Suatu hari, aku memutuskan untuk pergi ke taman belakang. Aku ingin menjauh dari keramaian dan mencari sedikit ketenangan. Taman belakang ini adalah tempat yang sangat jarang dikunjungi orang. Letaknya di belakang gedung sekolah, jauh dari kerumunan. Ada bangku kayu di bawah pohon besar yang rindang. Tempat itu menjadi tempat yang ideal untuk melarikan diri dari dunia luar yang kadang terasa berat.
Hari itu, aku pergi ke taman setelah bel istirahat berbunyi. Aku tidak sengaja memilih waktu yang sama dengan Laras, tetapi saat aku tiba di sana, aku melihat dia duduk di bangku yang selalu menjadi tempat favoritku. Laras duduk dengan buku tebal di tangannya, membacanya dengan sangat fokus. Sambil membaca, dia sesekali menatap ke luar, memandang langit yang tampak sedikit mendung. Aku berhenti sejenak di depan bangku itu, merasa agak canggung untuk mendekatinya. Tetapi, entah mengapa, aku merasa ada yang mendorongku untuk berbicara dengannya.
Aku duduk di bangku kayu di sebelahnya, mencoba untuk tidak mengganggu keheningannya. Kami berdua duduk dalam diam selama beberapa detik yang terasa lama. Suasana di taman itu tenang sekali, hanya terdengar suara daun yang bergesekan oleh angin. Aku memutuskan untuk memulai percakapan, meskipun aku tahu bahwa ini mungkin bukan hal yang mudah.
"Kenapa di sini?" tanyaku perlahan, mencoba memecahkan keheningan.
Laras menoleh sedikit, kemudian mengalihkan pandangannya kembali pada bukunya. "Di sini lebih tenang," jawabnya singkat.
Aku mengangguk, mencoba mengerti. Di sini memang lebih tenang, jauh dari suara riuh yang datang dari kantin atau koridor sekolah. Hanya ada suara angin dan dedaunan. Tidak ada keramaian, tidak ada kebisingan. Aku pun lebih suka tempat seperti ini—tempat yang memberi ruang untuk berpikir.
"Sering ke sini?" tanyaku lagi, berusaha untuk melanjutkan percakapan.
Laras menatapku sesaat, lalu mengangguk pelan. "Kadang," jawabnya datar. Sepertinya dia tidak terlalu tertarik untuk berbicara lebih banyak, tetapi aku merasa tidak perlu memaksanya.
Kami kembali terdiam, tetapi aku merasa tidak ada yang salah dengan keheningan itu. Ada kalanya kata-kata tidak lagi diperlukan. Aku melihat Laras, meresapi setiap detail dari dirinya—dari gerakannya yang tenang, hingga cara dia membaca buku tanpa terganggu oleh apapun di sekitarnya. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku merasa bahwa dia bukan orang yang mudah ditembus. Mungkin itulah yang membuatnya menarik.
Aku tidak bisa menahan rasa ingin tahuku. "Apa yang kamu baca?" tanyaku akhirnya, mencoba membuat percakapan sedikit lebih hidup.
Laras menoleh sebentar, dan matanya bertemu mataku sejenak. Ada keheningan yang terasa dalam tatapan itu, seperti dia sedang menilai apakah aku pantas untuk mengetahui apa yang ada di dalam pikirannya. "Hanya buku biasa," jawabnya pelan, kembali menunduk. "Cuma cerita."
Aku tidak tahu mengapa, tetapi aku merasa ada sesuatu yang berbeda dalam kata-katanya. Mungkin aku terlalu memikirkan hal-hal yang tidak penting, tetapi aku merasa bahwa Laras menyimpan banyak hal di dalam dirinya yang tidak ingin dia ungkapkan kepada orang lain.
Kami terus duduk dalam keheningan, dan aku menikmati saat-saat itu. Mungkin ini adalah salah satu alasan mengapa aku suka berada di tempat seperti ini—di mana tidak ada yang mengganggu, di mana aku bisa meresapi setiap detik tanpa terburu-buru. Aku tidak merasa perlu berbicara lebih banyak, karena aku tahu, kadang-kadang, keheningan adalah jawaban terbaik.
Setelah beberapa lama, Laras menutup bukunya, menghela napas ringan, dan memasukkannya ke dalam tasnya. Dia berdiri dengan sangat tenang, tanpa terburu-buru, seolah tidak ada yang penting di dunia ini. Aku hanya mengamati gerak-geriknya yang sangat terkontrol, hampir seperti dia tidak ingin meninggalkan tempat ini. Tetapi, akhirnya dia mulai berjalan pergi.
Sebelum dia pergi, Laras berhenti sejenak dan menoleh ke arahku. Senyum kecil muncul di wajahnya, tipis, hampir tak terlihat. Tapi senyum itu cukup untuk membuat hatiku berdebar. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya tersenyum kecil, lalu berbalik dan melangkah pergi. Aku tetap duduk di sana, masih memikirkan senyum itu. Ada sesuatu yang membuatku ingin berbicara lebih banyak, tetapi aku tahu bahwa Laras bukan tipe orang yang suka berbicara banyak.
Aku terdiam lama setelah dia pergi, meresapi setiap detik yang berlalu. Ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. Sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan, tetapi aku merasa itu adalah sesuatu yang penting. Aku ingin mengenal Laras lebih dalam, tetapi aku tahu itu tidak akan mudah. Dia bukan orang yang mudah terbuka.
Ketika aku kembali ke kelas, pikiranku masih tertinggal di taman itu. Aku tahu satu hal: Laras bukan orang yang mudah didekati, tetapi aku merasa bahwa aku ingin mengenalnya lebih jauh. Ada sesuatu dalam diri Laras yang membuatku merasa bahwa dia lebih dari sekadar gadis biasa.
Sejak hari itu, aku merasa bahwa kami memiliki koneksi, meskipun tidak pernah ada percakapan yang panjang. Keheningan yang kami bagi itu lebih bermakna daripada kata-kata yang bisa kami ucapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
FRAGMENTS OF US
Teen FictionLaras selalu membawa beban masa lalu yang tak bisa ia lepaskan. Setelah patah hati yang membuatnya meragukan harga dirinya, ia berjuang untuk menemukan kedamaian di dunia yang terus dihantui oleh kenangan cinta yang telah pergi. Namun, ada Raka, tem...