Hari-hari berjalan lambat, seperti waktu sedang menahan napas. Laras berusaha untuk terus fokus pada kehidupannya yang baru, dan aku bisa melihat bahwa dia semakin tegar. Namun, aku juga tahu bahwa setiap langkah yang diambilnya semakin berat. Dika tidak pernah benar-benar pergi. Bayangannya masih mengintai di setiap sudut kehidupan Laras, seperti kabut yang tak bisa dihindari.
Aku tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kami berdua masih hidup di dunia yang penuh dengan ketidakpastian. Terkadang aku bertanya-tanya, apakah langkah kami ini sudah benar. Setiap malam sebelum tidur, aku merasakan kegelisahan yang tak pernah hilang, perasaan bahwa kami sedang berjalan di tepi jurang, dengan satu langkah yang bisa mengubah segalanya.
Hari itu, Laras datang ke rumahku dengan wajah yang tampak lebih lelah dari biasanya. Dia duduk di sofa, wajahnya tertunduk, dan tangannya menggenggam erat ponsel yang tidak pernah berhenti bergetar. Aku tahu ada sesuatu yang mengganggunya, meskipun dia berusaha untuk tidak menunjukkan perasaannya.
"Ada apa?" aku bertanya sambil duduk di sampingnya, menatapnya dengan penuh perhatian.
Laras menghela napas panjang, lalu menatapku dengan mata yang penuh kekhawatiran. "Aku... aku nggak tahu, Raka. Aku merasa semakin terjepit."
Aku tahu apa yang dia maksud. Dika semakin intens mencari cara untuk membawa Laras kembali ke dunia lama, dan dia menggunakan segala cara untuk menekan Laras. Aku bisa merasakan rasa takut yang ada di balik mata Laras—rasa takut akan kehilangan kendali atas hidupnya, rasa takut jika semuanya yang dia perjuangkan selama ini akan hancur begitu saja.
"Aku nggak bisa terus seperti ini," Laras berkata pelan, suaranya serak. "Dika nggak akan berhenti. Aku tahu itu."
Aku mengusap rambut Laras dengan lembut, mencoba memberikan sedikit kenyamanan. "Laras, kamu nggak harus sendirian. Aku di sini, kita akan hadapi ini bersama-sama."
Laras menatapku dengan tatapan yang sulit dijelaskan, seolah ada bagian dari dirinya yang masih ragu. "Aku nggak tahu berapa lama aku bisa bertahan, Raka. Dika... dia nggak akan membiarkan aku pergi begitu saja. Aku merasa terperangkap."
Aku menggenggam tangan Laras dengan erat. "Laras, kamu sudah memilih jalan yang benar. Kamu sudah berjuang untuk diri kamu sendiri, dan aku akan selalu ada untukmu. Jangan biarkan dia mengendalikan kamu."
Laras terdiam sejenak, tampak berpikir. Aku bisa melihat betapa beratnya keputusan ini baginya. Meninggalkan Dika berarti meninggalkan sebagian dari dirinya—meninggalkan dunia yang sudah begitu lama ia kenal. Tetapi di sisi lain, aku juga tahu bahwa dunia itu tidak membawa kebahagiaan baginya. Itu hanya membelenggunya, menghancurkan siapa dirinya sebenarnya.
Malam itu, kami pergi berjalan-jalan di sekitar kota. Suasana malam terasa lebih tenang dari sebelumnya, tetapi hati kami berdua dipenuhi oleh kekhawatiran. Laras masih ragu, dan meskipun dia tidak mengatakannya, aku bisa merasakannya. Kami berdua tahu bahwa Dika masih mengintai dari bayang-bayang. Waktu yang kami miliki untuk membuat keputusan semakin pendek, dan semakin lama, semakin banyak yang harus dipertaruhkan.
Saat kami melewati sebuah kafe kecil di sudut jalan, Laras berhenti dan menatapnya lama. Aku tahu apa yang dia pikirkan. Itu adalah tempat pertama mereka bertemu, tempat yang penuh dengan kenangan lama—kenangan yang baik dan buruk. Aku bisa melihat itu menggoreskan luka di hatinya, meskipun dia berusaha untuk tidak menunjukkan apa-apa.
"Raka," katanya dengan suara pelan. "Aku merasa nggak bisa melupakan semuanya. Setiap kali aku mencoba, dia selalu ada di sana. Aku nggak bisa berhenti memikirkan Dika, dan itu membuat aku takut."
Aku berhenti di sampingnya, menatapnya dengan lembut. "Laras, melupakan bukan berarti menghapus. Kamu nggak harus melupakan semuanya. Tapi kamu harus belajar untuk tidak membiarkan masa lalu itu mengendalikanmu. Kamu bisa maju, Laras. Kamu sudah cukup kuat untuk itu."
Laras menatapku, matanya sedikit berkaca-kaca. "Tapi bagaimana kalau aku gagal? Bagaimana kalau aku tidak bisa menghadapinya sendiri?"
Aku menggeser posisiku agar bisa lebih dekat dengannya. "Kamu tidak perlu takut gagal, Laras. Gagal itu bukan akhir dari segalanya. Justru di saat kamu merasa terjatuh, kamu akan tahu seberapa kuat kamu bangkit kembali. Dan aku ada di sini, aku akan selalu ada untuk kamu, apa pun yang terjadi."
Laras terdiam, dan aku bisa merasakan bahwa dia mulai menguatkan tekadnya. Dia masih ragu, tentu saja, tetapi ada ketegasan yang mulai tumbuh dalam dirinya. Aku tahu, meskipun dia merasa terjebak, dia tidak akan menyerah begitu saja.
Tiba-tiba, ponsel Laras bergetar, dan wajahnya langsung berubah. Aku bisa melihat perubahan yang begitu jelas, dari ketenangan yang mulai muncul hingga ketegangan yang kembali menguasainya.
"Ini dia," katanya, menatap layar ponselnya dengan cemas. "Dika."
Aku tahu betul bahwa Dika tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan. Aku bisa merasakan ketegangan yang mulai membakar suasana malam itu. Tetapi aku juga tahu bahwa Laras tidak bisa mundur lagi.
"Harus ada keputusan, Laras," aku berkata dengan suara tegas. "Kamu tidak bisa terus terjebak dalam permainan ini."
Laras menatapku lama, matanya penuh dengan keraguan dan kebingungan. "Aku... aku nggak tahu kalau aku cukup kuat untuk ini."
"Percaya pada dirimu sendiri, Laras," jawabku pelan. "Kami sudah sampai sejauh ini. Kamu sudah lebih kuat dari yang kamu kira."
Laras menatapku satu detik lagi, lalu akhirnya menghela napas panjang. "Oke. Aku akan bicara dengan Dika. Aku akan memberitahunya bahwa aku tidak akan kembali."
Aku mengangguk, meskipun aku tahu ini adalah langkah yang sangat besar. Ini adalah pertaruhan besar untuk Laras. Menghadapi Dika, berhadapan dengan masa lalunya, dan membiarkan semua itu pergi—itu bukan hal yang mudah.
Kami berjalan menuju tempat yang lebih sepi, tempat yang sering digunakan Dika untuk menemui Laras. Aku bisa merasakan ketegangan yang semakin mencekam. Tak lama, kami melihat sosok Dika, yang berdiri menunggu dengan tatapan dingin, seperti predator yang siap memangsa mangsanya.
"Laras," Dika berkata, suara penuh amarah. "Kamu nggak bisa lari dari aku. Aku sudah bilang, kamu akan kembali. Tidak ada jalan lain."
Laras berdiri tegak, menatap Dika dengan mata penuh ketegasan. "Aku nggak akan kembali, Dika. Aku sudah memutuskan untuk pergi. Aku tidak bisa hidup seperti ini lagi."
Dika mengerutkan kening, tatapannya semakin tajam. "Kamu akan menyesal, Laras. Kamu nggak bisa lari dari kenyataan. Dunia ini yang kamu kenal. Aku yang mengenalmu."
"Ini bukan tentang kamu," Laras berkata, suara sedikit bergetar, tapi penuh ketegasan. "Ini tentang aku. Aku harus memilih diriku sendiri."
Dika terdiam, menatap Laras dengan mata penuh kebingungan dan kebencian. Akhirnya, dia menghela napas panjang, lalu berbalik dan meninggalkan kami begitu saja.
Setelah Dika pergi, Laras dan aku berdiri dalam keheningan. Laras terlihat lelah, tetapi aku bisa melihat kedamaian yang mulai muncul di wajahnya. Mungkin tidak ada jaminan bahwa kami akan menang, tapi aku tahu satu hal—Laras sudah membuat keputusan yang paling penting dalam hidupnya. Keputusan untuk hidup menurut caranya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
FRAGMENTS OF US
Fiksi RemajaLaras selalu membawa beban masa lalu yang tak bisa ia lepaskan. Setelah patah hati yang membuatnya meragukan harga dirinya, ia berjuang untuk menemukan kedamaian di dunia yang terus dihantui oleh kenangan cinta yang telah pergi. Namun, ada Raka, tem...