Pagi itu aku bangun lebih cepat dari biasanya. Entah kenapa, rasanya waktu bergerak begitu lambat—seperti menunggu sesuatu yang entah kapan akan datang. Begitu membuka jendela kamar, aku melihat langit yang masih tampak abu-abu, menandakan bahwa hujan mungkin akan turun nanti. Cuaca seperti itu selalu membuatku merasa sedikit lebih melankolis, dan pagi ini, aku merasa begitu. Mungkin karena semalam, Dika datang lagi—meski dia sudah pergi, jejak langkahnya masih terasa di udara, mengganggu ketenangan yang coba kami bangun.
Laras sudah memutuskan untuk tidak kembali ke dunia lama. Tapi aku tahu, meskipun dia tampak tegar, perasaan di dalam dirinya tidak semudah itu berubah. Kami berdua tahu, masa lalu tidak akan bisa begitu saja hilang. Begitu banyak kenangan yang mengikatnya pada dunia itu, dan meskipun dia memilih jalan baru, itu tidak membuat semuanya langsung berjalan mulus.
Aku duduk di meja makan, sarapan sambil berpikir tentang apa yang bisa kulakukan untuk mendukung Laras lebih jauh. Di satu sisi, aku merasa sangat bangga padanya—keputusan untuk melawan Dika dan keluar dari dunia yang selama ini mengekangnya bukan hal yang mudah. Tapi di sisi lain, aku tahu ini belum berakhir. Dika tidak akan membiarkannya pergi begitu saja.
Ponselku berbunyi, dan aku langsung melihat nama Laras muncul di layar. Seketika, hatiku sedikit lebih tenang. Aku mengangkat teleponnya.
"Halo?" suaraku sedikit terburu-buru.
"Aku di luar," suara Laras terdengar di ujung sana, agak terburu-buru. "Kamu keluar nggak?"
Aku tersenyum sedikit. "Iya, tunggu sebentar. Aku siap-siap dulu."
Aku cepat-cepat mengambil jaket dan keluar menuju pintu. Begitu sampai di luar, aku melihat Laras sedang berdiri di depan pagar, memandang ke arah jalan dengan tatapan kosong. Rambutnya yang panjang sedikit berantakan, dan matanya sedikit lebih lelah dari biasanya, tapi ada sesuatu dalam cara dia berdiri yang menunjukkan bahwa dia sedang memikirkan banyak hal.
"Kamu kelihatan capek," kataku, berjalan mendekatinya. "Ada apa?"
Laras mengangguk pelan. "Aku cuma... nggak tahu, Raka. Aku merasa kayak ada yang hilang dari diriku, tapi aku juga nggak bisa balik lagi ke Dika dan dunia itu. Semua jadi membingungkan."
Aku menghela napas, menatapnya dengan penuh pengertian. "Laras, kamu nggak perlu merasa bingung. Kamu sudah memilih jalan yang benar, dan walaupun sulit, kamu nggak sendiri. Aku ada di sini. Jangan lupa itu."
Laras menatapku, matanya mulai menatapku lebih dalam. "Aku takut, Raka. Takut nggak bisa bertahan, takut kalau nanti aku nggak bisa ngelakuin semua ini. Aku nggak tahu kalau aku siap untuk jadi orang yang baru."
Aku merasa hatiku sedikit sakit melihatnya seperti ini, tapi aku tahu Laras adalah orang yang kuat. Dia cuma butuh waktu untuk benar-benar merasa bahwa dia sudah membuat keputusan yang tepat. "Kamu sudah lebih kuat dari yang kamu kira, Laras. Prosesnya memang nggak gampang, tapi aku yakin kamu bisa. Kita akan hadapi ini bersama."
Laras terdiam, dan aku bisa melihat dia sedang berjuang melawan perasaan bingungnya. Terkadang, dalam hidup, kita memang perlu waktu untuk benar-benar menerima keputusan yang telah kita buat. Dan aku tahu, Laras sedang berada di titik itu.
"Ayo," kataku, menggenggam tangannya. "Hari ini, kita mulai langkah baru. Jangan terlalu pikirkan yang sudah lewat. Fokus sama yang ada di depan kita."
Kami berjalan menuju kafe kecil yang biasanya kami kunjungi. Tempat itu sudah menjadi semacam pelarian kecil bagi kami. Di tempat itu, kami bisa berbicara tentang apa saja tanpa gangguan, tanpa ada yang mengganggu. Aku tahu, tempat ini sudah sangat banyak meninggalkan kenangan—kenangan yang manis dan yang pahit. Tapi setidaknya, di sini, Laras bisa merasa sedikit lebih bebas.
Begitu kami duduk, pelayan yang biasa melayani kami menyapa dengan senyum, dan suasana di dalam kafe terasa hangat. Di luar, hujan mulai turun dengan perlahan. Suara hujan yang menenangkan itu sedikit membantu menenangkan pikiran kami yang masih kacau. Aku melihat Laras menatap secangkir kopi yang sudah terhidang di depan kami, wajahnya kembali tenggelam dalam pikirannya.
"Laras," aku mulai berbicara, mencoba membuka percakapan. "Tadi malam kamu kelihatan agak bingung. Ada yang ingin kamu ceritakan?"
Dia mengangkat wajahnya perlahan, lalu menghela napas. "Aku masih nggak tahu, Raka. Dika masih menghubungiku terus, walaupun dia udah bilang kalau aku nggak bakal bisa bebas. Aku cuma... nggak tahu apa yang harus aku lakukan lagi."
Aku menatapnya dengan penuh perhatian. "Laras, kamu harus sadar, apa yang Dika katakan nggak selalu benar. Kamu bukan milik dia lagi. Kamu punya hak untuk memilih hidupmu sendiri."
Laras terdiam, sejenak menatapku. "Iya, aku tahu. Tapi... Dika kan udah ada di hidupku sejak lama, Raka. Nggak gampang untuk benar-benar menghapus dia dari pikiranku. Kadang aku masih merasa dia bagian dari aku."
Aku tahu apa yang dirasakannya. Begitu banyak kenangan yang sulit dihapus, dan meskipun Laras sudah memilih untuk tidak kembali ke dunia itu, tetap saja ada bagian dari dirinya yang merasa terikat. Aku bisa merasakannya, karena aku tahu bagaimana rasanya berjuang untuk membebaskan diri dari masa lalu yang terus mengganggu.
"Tapi ingat, Laras," kataku pelan, "meskipun Dika ada di hidupmu selama ini, kamu bukan cuma bagian dari masa lalumu. Kamu lebih dari itu. Kamu punya masa depan, dan itu yang harus kamu kejar sekarang. Tidak ada yang lebih penting daripada itu."
Laras menatapku, matanya mulai berkaca-kaca, tetapi aku bisa melihat ketegasan yang mulai muncul di wajahnya. "Aku nggak akan balik lagi ke dia, Raka. Aku janji."
Aku tersenyum kecil. "Aku percaya padamu, Laras. Kamu nggak sendiri."
Setelah percakapan panjang itu, kami berdua pergi meninggalkan kafe, tetapi kali ini rasanya sedikit lebih ringan. Laras masih memiliki banyak hal yang harus dihadapi, tetapi aku bisa melihat perubahan kecil dalam dirinya. Dia tidak lagi terlalu terikat pada Dika, meskipun bayangannya masih ada. Itu adalah langkah kecil menuju kebebasan, langkah kecil menuju hidup yang baru.
Kami berjalan di bawah hujan, dan aku tahu bahwa perjalanan ini masih panjang. Tapi setidaknya, kami sudah mulai berjalan di arah yang benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
FRAGMENTS OF US
Teen FictionLaras selalu membawa beban masa lalu yang tak bisa ia lepaskan. Setelah patah hati yang membuatnya meragukan harga dirinya, ia berjuang untuk menemukan kedamaian di dunia yang terus dihantui oleh kenangan cinta yang telah pergi. Namun, ada Raka, tem...