Bab 16: Ketegangan yang Meningkat

1 0 0
                                    


Hari itu terasa sedikit lebih gelap dari biasanya. Mungkin karena langit yang mendung, atau mungkin karena perasaan di dalam hatiku yang mulai terasa lebih berat. Setiap kali aku memikirkan Laras, aku merasa seperti ada yang tidak selesai, ada yang belum bisa dia lepaskan. Meskipun aku tahu dia sudah mencoba untuk move on dari Dika, kadang aku bisa merasakan ada bagian dari dirinya yang masih terikat pada masa lalu itu.

Aku melihat Laras sedang duduk di beranda rumahku, menatap jauh ke luar jendela, seperti sedang berjuang melawan sesuatu yang hanya dia sendiri yang tahu. Wajahnya yang biasanya cerah kini tampak lebih serius, lebih tenang, tapi juga penuh dengan ketegangan yang tak bisa dia sembunyikan.

Aku duduk di sampingnya, mencoba untuk tidak mengganggu, tapi hatiku merasa semakin berat. Aku tahu Laras sudah berusaha keras, dan aku juga tahu, meskipun aku selalu berada di sampingnya, ada banyak hal yang tidak bisa aku selesaikan untuknya. Ada banyak hal yang harus dia hadapi sendiri.

"Apa kamu mikirin Dika lagi?" tanyaku pelan, mencoba membuka percakapan tanpa terkesan mendesak.

Laras mengangguk pelan, tanpa menoleh ke arahku. "Aku nggak tahu, Raka. Kadang, rasanya dia masih ada di sini, dalam hidupku, dalam setiap langkahku. Aku nggak bisa lepas dari dia, meskipun aku sudah berusaha."

Aku meraih tangannya, menggenggamnya dengan lembut. "Laras, kamu nggak harus terus berpikir tentang masa lalu itu. Kamu sudah cukup kuat untuk melepaskannya. Aku tahu itu nggak mudah, tapi aku yakin kamu bisa."

Laras menghela napas, terlihat sangat lelah. "Aku tahu, Raka. Tapi... kalau aku masih mikirin Dika, apa itu berarti aku nggak benar-benar move on? Apa aku masih terikat padanya?"

Aku terdiam sejenak. Tidak ada jawaban yang mudah untuk pertanyaan itu. Kadang, melepaskan seseorang yang sudah lama ada dalam hidupmu memang bukan hal yang bisa dilakukan dengan cepat. Tapi aku yakin, Laras bisa menemukan jalan keluarnya, meskipun itu membutuhkan waktu.

"Laras, move on itu bukan berarti kamu harus melupakan semua kenangan atau menghapus perasaan yang pernah ada. Itu lebih tentang memilih untuk tidak membiarkan masa lalu mengendalikan hidupmu. Kamu nggak sendirian. Aku ada di sini untuk kamu, dan aku akan bantu kamu melalui ini."

Laras menatapku, ada sedikit keraguan di matanya, tapi aku bisa melihat dia mulai merasa sedikit lebih tenang. "Aku cuma takut kalau aku nggak bisa keluar dari bayang-bayang itu. Takut kalau aku malah kembali ke sana."

Aku tersenyum lembut. "Itu yang membuatmu kuat, Laras. Kamu tahu apa yang terbaik untuk dirimu. Meskipun Dika ada di luar sana, kamu yang memegang kendali atas hidupmu sekarang."

Namun, meskipun kata-kataku terdengar meyakinkan, aku tahu Dika masih menjadi bayangan besar yang sulit dihapus begitu saja. Hari-hari berikutnya, aku semakin merasa bahwa ketegangan antara Laras dan masa lalunya semakin meningkat. Ada kalanya dia terlihat begitu terperangkap dalam pikirannya, dan aku tidak tahu bagaimana cara membantunya. Aku hanya bisa terus memberi dukungan, walaupun itu terasa kadang-kadang seperti tidak cukup.

Di tengah malam yang sunyi, ponsel Laras berdering. Aku yang sedang duduk di ruang tamu mendengar suara itu, lalu melihatnya terdiam. Laras menatap layar ponselnya, dan wajahnya tiba-tiba berubah. Aku tahu, pasti itu Dika. Aku tidak bisa menahan rasa cemas yang mulai menggelayuti pikiranku.

Dia mengambil napas dalam-dalam, lalu mengangkat telepon itu. Aku hanya duduk di tempatku, menunggu. Aku bisa merasakan ketegangan itu.

"Hallo?" Laras terdengar sedikit kaku. "Ada apa, Dika?"

Aku bisa mendengar suara Dika meskipun hanya samar. Laras terdiam beberapa detik, kemudian suaranya kembali terdengar, kali ini lebih tenang. "Aku nggak bisa balik ke sana, Dika. Itu sudah selesai."

Aku berusaha tidak mendengarkan percakapan mereka, tapi suara Laras yang sedikit gemetar membuat hatiku merasa khawatir. Aku tahu, percakapan ini akan menjadi ujian besar bagi Laras. Jika Dika masih menghubunginya, itu berarti dia belum benar-benar melepaskan Laras. Mungkin Dika masih berharap, atau mungkin dia hanya tidak bisa menerima kenyataan bahwa Laras sudah pergi.

Laras menutup teleponnya dengan pelan, dan aku bisa melihat ekspresi kebingungannya yang jelas di wajahnya. "Dia masih nggak bisa nerima, Raka. Dia bilang aku akan kembali lagi. Dia bilang nggak ada yang bisa ngelawan dia."

Aku mendekat, mencoba untuk menenangkan perasaan Laras. "Laras, itu semua cuma permainan dia. Dia nggak bisa mengendalikan hidupmu lagi. Kamu sudah memilih untuk hidupmu sendiri, dan itu yang paling penting."

Laras menunduk, menarik napas dalam-dalam. "Tapi kenapa masih terasa begitu sulit?"

Aku duduk di sebelahnya dan menggenggam tangannya lagi. "Karena itu bukan cuma tentang Dika. Ini juga tentang dirimu, tentang apa yang kamu rasakan, tentang masa depan yang kamu inginkan. Kamu sudah berusaha untuk melepaskan dia, dan itu sudah langkah yang besar. Kamu lebih kuat dari yang kamu kira."

Laras menatapku, matanya penuh dengan pertanyaan, penuh dengan kebingungan. Tapi aku tahu, di dalam hatinya, dia mulai menyadari bahwa jalan yang dia pilih adalah jalan yang benar.

Keesokan harinya, Laras menghilang. Aku tidak bisa menghubunginya, dan meskipun aku tahu dia mungkin cuma butuh waktu untuk dirinya sendiri, aku merasa cemas. Ini pertama kalinya aku merasa begitu terasing dari Laras. Terkadang, meskipun kita sudah dekat dengan seseorang, kita tetap merasa tidak tahu apa yang sebenarnya sedang mereka rasakan.

Aku mencoba menunggu, memberi dia ruang. Namun, semakin lama aku menunggu, semakin cemas perasaanku. Aku tahu Laras sedang berjuang, tapi aku juga tahu, dia tidak bisa melakukannya sendirian.

Akhirnya, sore itu Laras datang. Wajahnya terlihat lebih cerah, meskipun masih ada sedikit kerutan di dahinya. Dia duduk di sampingku tanpa berkata apa-apa. Aku menatapnya dengan penuh perhatian, menunggu dia untuk berbicara.

"Aku sudah memutuskan, Raka," kata Laras, akhirnya membuka pembicaraan. "Aku nggak akan terjebak lagi dalam bayang-bayang itu. Aku akan hidup untuk diriku sendiri."

Aku tersenyum lega mendengar kata-katanya. "Aku tahu kamu bisa, Laras."

"Terima kasih sudah selalu ada untuk aku," jawabnya dengan lembut.

Kami berdua terdiam, menikmati momen kebersamaan yang sederhana. Mungkin jalan yang kami pilih masih panjang, dan banyak tantangan yang harus kami hadapi, tetapi setidaknya, sekarang kami tahu bahwa kami bisa saling mendukung—apa pun yang terjadi.

FRAGMENTS OF USTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang